Warga membeli sembako di Kios Segoro Amarta, Pasar Kranggan, Yogyakarta, Kamis (13/1). Kios pengendali harga pasar ini merupakan kerjasama dari Bulog dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Yogyakarta. Fungsi kios ini untuk menjaga inflasi daerah di bawa | Wihdan Hidayat / Republika

Tajuk

Ironi Harga Minyak Goreng

Bukan saatnya lagi hanya memainkan operasi pasar untuk menurunkan harga minyak goreng.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan upaya penyaluran 11 juta liter minyak goreng seharga Rp 14 ribu per liter akan terus dilanjutkan. Program pemerintah untuk menekan tingginya harga minyak goreng di pasaran tersebut rencananya dengan memasok sebanyak 11 juta liter ke pasar.

Sampai awal pekan ini, penyaluran minyak goreng tersebut telah mencapai 4,5 juta. Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), secara nasional harga minyak goreng curah pada 29 Desember 2021 Rp 18.400 per kilogram.

Pada awal pekan ini harga sekitar Rp 18.550/kg. Sedangkan harga minyak goreng kemasan bermerek 1 pada 30 Desember 2021 sebesar Rp 20.600/kg. Sementara awal pekan ini menjadi Rp 20.800/kg. Begitu juga minyak goreng kemasan bermerek 2, pada 30 Desember masih Rp 20.030/kg, awal pekan ini menjadi Rp 20.300/kg.

Ketidakmampuan operasi pasar minyak goreng seharga Rp 14 ribu per liter dalam menurunkan harga seperti menggarami air laut. Sampai saat ini, harga minyak goreng di pasaran masih sangat tinggi. Padahal kenaikan harga minyak goreng sudah terjadi dalam dua bulan terakhir ini.

Tidak hanya soal harga tinggi yang dikeluhkan masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang kesulitan menemukan tempat membeli minyak goreng subsidi Rp 14 ribu liter tersebut.  Alhasil, program harga minyak goreng subsidi akhirnya hanya bisa dinikmati sebagian kecil masyarakat.

 
Tidak sedikit masyarakat yang kesulitan menemukan tempat membeli minyak goreng subsidi Rp 14 ribu liter.
 
 

Belum lagi, kebijakan pemerintah dalam mengatasi kenaikan harga minyak goreng dengan mekanisme operasi pasar dikatagorikan masih sangat tradisional. Tak heran bila gelontoran minyak goreng dengan harga Rp 14 ribu per liter belum memberi pengaruhi yang berarti terhadap penurunan harga.

Bagi Indonesia, harga minyak goreng  yang melambung tinggi sesungguhnya sangat ironis. Sebagai negara nomor satu penghasil minyak sawit mentah (CPO) --yang menjadi bahan baku produksi minyak goreng-- di dunia, tidak berdayanya pemerintah menahan laju kenaikan harga minyak goreng sangat disayangkan. Karena bahan baku pembuat minyak goreng semuanya ada di dalam negeri. 

Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, pada 2020 produksi CPO Indonesia mencapai 46 juta ton. Dari jumlah itu, 43 persen di antaranya untuk konsumsi dalam negeri, sisanya diekspor. Dari angka ini, 8,6 juta ton untuk pangan dalam negeri dan 18,4 juta ton untuk pangan ekspor. Sementara untuk energi (biodiesel), 10,5 juta ton buat dalam negeri dan 0,5 juta ton ekspor. Sisanya untuk industri lain, seperti oleochemical.


Kita ketahui persoalan utamanya saat ini adalah meski Indonesia eksportir CPO terbesar di dunia, tapi terkait harga CPO justru didikte Rotterdam untuk pasar spot dan Kuala Lumpur untuk harga kontrak berjangka. Itulah kenapa Indonesia seakan tidak tidak berdaya terhadap adanya kenaikan CPO sebagai bahan baku minyak goreng.

 
Itulah kenapa Indonesia seakan tidak tidak berdaya terhadap adanya kenaikan CPO sebagai bahan baku minyak goreng.
 
 

Selama ini, pabrik-pabrik minyak goreng berbasis sawit di Indonesia membeli CPO di pasar lelang di Dumai yang terkoneksi dengan harga di Rotterdam, Belanda. Ketika harga CPO di pasar lelang Rotterdam melonjak, dengan sendirinya di pasar lelang Dumai pun harganya mengikuti.

Belakangan ini harga CPO berada di level tinggi. Dari November 2020 hingga November 2021, harga CPO di pasar global naik 52,23 persen. Bahkan, harga lelang CPO November 2021 sempat menyentuh di atas 1.400 dolar AS per ton.

Harga CPO yang tinggi tersebut menjadi biang keladi kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri. Karena itu, bukan saatnya lagi pemerintah hanya memainkan instrumen tradisional dengan operasi pasar untuk menurunkan harga minyak goreng.

Sebab, potensi kenaikan harga CPO masih terjadi seiring penurunan produksi CPO di pasar global dan jalur distribusi masih belum selancar seperti sebelum pandemi. Pemerintah harus memainkan perannya lebih besar dalam komoditas CPO sehingga dapat ikut mendikte pasar bukan hanya seperti penonton seperti saat ini.

Kalau masih hanya mengandalkan instrumen menjual minyak goreng dengan harga murah yang volumenya hanya sebagian kecil dari kebutuhan minyak goreng nasional, maka masyarakat akan terus dihadapkan dengan harga minyak goreng yang tinggi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Tata Niaga Minyak Sawit Dalam Negeri Diperlukan

Pemerintah diharapkan mengatur tata niaga minyak sawit yang dikhususkan untuk dalam negeri.

SELENGKAPNYA

Warga Berburu Minyak Goreng Murah

Operasi pasar minyak goreng murah mulai digencarkan sejumlah pemerintah daerah.

SELENGKAPNYA