Jamaah haji menjaga jarak saat melaksanakan tawaf di Masjidil Haram, 2020. | Reuters

Opini

Investasi BPKH

Kepercayaan publik dibutuhkan bagi penguatan BPKH, terutama dalam membangun kepercayaan berinvestasi.

A ISKANDAR ZULKARNAINAnggota Badan Pelaksana BPKH

 

 

Sebagai lembaga yang relatif baru, wajar bila setiap kebijakan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menjadi perhatian publik. Terlebih, sesuai UU, BPKH dipercaya mengelola dana milik para calon jamaah haji.

Perhatian tersebut, termasuk terhadap pengembangan keuangan haji melalui penempatan di bank dan investasi. Ini agar penempatan dana dan investasi BPKH dilakukan hati-hati serta bermanfaat bagi kepentingan jamaah haji.

BPKH dituntun regulasi yang cukup ketat. BPKH tunduk pada UU No 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, Perpres No 110/2017 tentang BPKH dan PP No 5/2018 tentang Pelaksanaan UU No 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.

Dalam pelaksanaan regulasi, BPKH menerbitkan berbagai peraturan. Ketentuan Pasal 48 UU No 34/2014 menyebutkan, penempatan dan/atau investasi keuangan haji bisa dalam bentuk produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung dan lainnya.

PP No 5/2018 memberikan batasan pengalokasian bagi penempatan dan investasi keuangan haji. Pertama, selama tiga tahun sejak BPKH terbentuk, penempatan keuangan haji pada produk perbankan syariah paling banyak 50 persen dari total penempatan dan investasi.

Kedua, untuk selanjutnya, penempatan pada produk perbankan syariah paling banyak 30 persen dari total penempatan dan investasi. Ketiga, sisa dari penempatan keuangan haji dialokasikan untuk investasi.

 
Tiga tahun sejak BPKH terbentuk, penempatan keuangan haji pada produk perbankan syariah paling banyak 50 persen dari total penempatan dan investasi.
 
 

PP No. 5/2018 juga mengatur alokasi investasi. Pertama, investasi dalam bentuk emas maksimal lima persen dari total penempatan dan investasi. Kedua, investasi langsung maksimal 20 persen dari total penempatan dan investasi.

Ketiga, investasi lainnya maksimal 10 persen dari total penempatan dan investasi. Keempat, investasi surat berharga syariah sisa dari total penempatan keuangan haji dikurangi besaran investasi dalam bentuk emas, investasi langsung, dan investasi lainnya.

Berdasarkan ketentuan di atas, BPKH memiliki ruang luas berinvestasi tetapi tak berarti mengeksekusinya hingga maksimal sesuai batasan regulasi. Ini mengingat aspek keamanan, kehati-hatian, manfaat, likuiditas, dan pengelolaan risiko.

Misalnya, BPKH memiliki ruang berinvestasi langsung hingga 20 persen, di antaranya memiliki usaha sendiri, penyertaan modal, kerja sama investasi. Namun BPKH tetap mempertimbangkan kemampuan menyerap risiko atau risk appetite.

Beberapa waktu lalu, ramai diskursus kemungkinan keuangan haji untuk membiayai proyek infrastruktur pemerintah. Pihak yang pro berargumen, infrastruktur proyek strategis sekaligus menjadi sumber penerimaan, terutama dalam jangka panjang bila proyek itu sukses.

Sedangkan yang kontra, dilandasi perhatiannya pada likuiditas BPKH. Mengingat, proyek infrastruktur waktu pengembalian investasinya lama sehingga bila tak dikalkulasi dengan pendekatan asset management liability terukur berpotensi mengganggu arus kas.

 
Proyek infrastruktur waktu pengembalian investasinya lama sehingga bila tak dikalkulasi dengan pendekatan asset management liability terukur berpotensi mengganggu arus kas.
 
 

Investasi pada proyek infrastruktur bisa dengan berbagai pendekatan. Pertama, investasi tak langsung yaitu membeli surat berharga syariah negara (SBSN). Pemerintah lantas menggunakan dana hasil penjualan SBSN untuk membiayai proyek infrastruktur.

Melalui pembelian SBSN ini, pemerintah yang menanggung risiko sehingga posisi BPKH relatif aman. Kedua, investasi langsung, misalnya seperti BUMN, baik melalui penyertaan modal maupun kerja sama investasi. Risiko terbagi di antara pihak yang terlibat.

Sejauh ini, BPKH belum terlibat proyek infrastruktur melalui investasi langsung. Pertimbangannya, kemampuan BPKH menyerap risiko.

Saat ini, terdapat diskursus masuknya BPKH sebagai pemegang saham pengendali di Bank Muamalat Indonesia (BMI) setelah menerima hibah saham sebesar 78 persen dari pemegang saham sebelumnya.

Salah satu diskusinya, mengapa BPKH masuk perbankan yang notabene industri ini relatif high capital intensive? Keterlibatan BPKH dilandasi adanya potensi sinergi BPKH dengan BMI. BMI adalah bank yang memiliki loyalitas nasabah sangat kuat.

 
Sejauh ini, BPKH belum terlibat proyek infrastruktur melalui investasi langsung. Pertimbangannya, kemampuan BPKH menyerap risiko.
 
 

Itu terlihat dari kinerja dana pihak ketiga yang konsisten tumbuh. Sebagai bank syariah, BMI juga sudah menjadi Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPS BPIH).

Jadi, BPKH dapat memaksimalkan nilai tambah BMI sebagai BPS BPIH maupun untuk penempatan dana kelolaan BPKH dan investasinya. BPKH juga telah mempertimbangkan risk appetite.

BPKH, BMI, dan PT Perusahaan Pengelola Aset menjalin master restructuring agreement dalam pengelolaan aset pembiayaan berkualitas rendah milik BMI, termasuk kerja sama penerbitan dan pembelian instrumen berbasis syariah.

Bagi BPKH, perbaikan kualitas aset BMI menekan kebutuhan injeksi modal, juga memaksimalkan nilai manfaat investasi dan penempatan dana BPKH di BMI.

Sebagai lembaga relatif baru, kinerja investasi BPKH relatif lebih baik dan meningkat. Namun, BPKH tetap perlu “kawalan” berbagai pihak. Kepercayaan publik dibutuhkan bagi penguatan BPKH, terutama dalam membangun kepercayaan berinvestasi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat