ILUSTRASI Wayang merupakan kesenian yang juga digunakan untuk syiar Islam oleh Wali Songo. | DOK WIKIPEDIA

Geni

Mengajak Anak Muda Mencintai Wayang 

Desa Wisata Wayang Butuh hendak mengedukasi wayang kulit serta mengenalkan produk kerajinan wayang.

Sejumlah remaja terlihat asyik mewarnai pola kulit kerbau yang sudah dihaluskan dan digambar pola tertentu di Desa Wisata Wayang Butuh, Klaten, Jawa Tengah, Ahad (19/12). Ada beragam pola, mulai dari tokoh pewayangan hingga karakter animasi. 

Di sana, pengunjung mendapat edukasi mengenai pembuatan wayang kulit, mulai dari tahap berupa kulit mentah hingga menjadi wayang siap pakai. Di salah satu rumah warga, terdapat beberapa lembaran kulit kerbau mentah sebagai bahan baku pembuatan wayang. Kulit-kulit tersebut kebanyakan didatangkan dari Nusa Tenggara Barat (NTB).

Awalnya, lembaran kulit tersebut direndam selama 1,5 hari di kolam berisi air. Lalu, kulit dibentangkan dan ditali menggunakan senar pada bambu. Selanjutnya, kulit dijemur di panas matahari sampai benar-benar kering.

Setelah itu, proses pengerokan secara bolak-balik sampai tipis, pengerokan bisa tiga kali atau lebih tergantung ketebalan kulit. “Biasanya proses pengerokan satu lembar kulit bisa selesai satu setengah hari," ujar pengelola bahan baku wayang di Dukuh Butuh, Hasan, kepada Republika, pada Ahad (19/12).

Setelah dikerok, lembaran kulit direndam lagi sekitar lima jam, kemudian diangin-anginkan. Setelah kering, lembaran kulit tersebut siap untuk digambar pola. Sedangkan, bagian pinggir lembaran kulit bisa dijadikan krecek untuk sayur. Sementara bagian sisa-sisa pengerokan yang bersih juga bisa untuk sayur atau camilan.

Seorang pengunjung, Ipang (22 tahun), mengetahui aktivitas pembuatan wayang ini dari internet. Dia lalu mengajak temannya untuk mengikutinya. 

Menurut mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Solo itu, konsep kegiatan tersebut cukup menarik. Sebab, bisa mengedukasi masyarakat tentang pembuatan wayang kulit.

"Saya jadi tahu proses pembuatan wayang kulit, ternyata cukup rumit," kata mahasiswa asal Tangerang ini.

Salah satu koordinator Desa Wisata Wayang Butuh, Sunardi Baron, menjelaskan, pihak pengelola hendak memberikan edukasi wayang kulit kepada masyarakat luas serta mengenalkan produk-produk kerajinan wayang.

"Harapan kami, hasil dari edukasi bisa dinikmati para pengunjung. Kami berharap, Dukuh Butuh tidak kalah dengan kampung-kampung lain," kata dia.

Sunardi bercerita, awalnya, pada 1960-an di Dukuh Butuh terdapar sesepuh perajin wayang bernama Mbah Hadi Kasimo. Sesepuh itu lantas mengajari warga lainnya agar bisa membuat wayang untuk dipentaskan maupun hiasan dinding.

Kemudian, pada 2009, Sunardi bersama warga lainnya berinisiatif mendirikan Kelompok Usaha Bersama (Kube) Bima yang mewadahi para perajin wayang di Dukuh Butuh. Awalnya, Kube Bima hanya beranggotakan 11 orang, kemudian menjadi delapan, dan turun lagi hanya enam orang. Namun, mereka tak menyerah. 

Kube Bima terus mengembangkan empat pilar meliputi pendidikan, kesehatan, wirausaha, dan lingkungan. Kini, anggota Kube Bima sudah mencapai 40 orang.

"Kami mendidik anak-anak supaya mencintai budaya wayang. Anak-anak digembleng agar budaya wayang tidak termakan zaman," kata Sunardi.

Saat ini, di Dukuh Butuh sudah ada 80 perajin wayang kulit dengan berbagai produk. Produk-produk tersebut dipasarkan di Jawa Tengah, hingga Papua, bahkan sampai Jepang dan Korea Selatan. Selain itu, sejumlah kalangan mulai dari ISI, SMK, pedalangan, dan dosen-dosen juga telah mengunjungi Dukuh Butuh.

"Semoga, setelah pandemi ini kegiatan kami kembali lagi seperti semula, perekonomian dan pemasaran bisa lancar," ujar Sunardi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat