Ketua DPR Puan Maharani (kedua dari kanan) memberikan keterangan pers terkait surpres tentang Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) di Media Center DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/9/2021). | ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Nasional

Panja RUU IKN Dinilai Abaikan Poin Krusial

Pemindahan IKN butuhkan biaya persiapan infrastruktur hampir Rp 500 triliun.

JAKARTA—Dua fraksi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Demokrat, menyayangkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) dibawa ke tim perumus (Timus).

Menurut kedua fraksi, masih ada sejumlah poin yang seharusnya tetap menjadi pembahasan panitia kerja (panja). Sebab, Timus hanya akan membahas redaksional draf RUU IKN.

Anggota Pansus RUU IKN dari Fraksi PKS, Hamid Noor Yasin, mengaku masih ada sejumlah poin yang masih jadi perdebatan di panja yang belum disepakati. Salah satunya terkait peraturan presiden (perpres) pemindahan ibu kota negara. Pemindahan IKN sendiri ditargetkan dilakukan pada semester I atau Maret 2024.

"Kemarin di panja juga dipersoalkan masalah itu, tapi mungkin belum putus juga akhirnya terjadi perdebatan juga terkait dengan perpres terkait peraturan pemerintah dan lain sebagianya. Ini masih terjadi dinamisasi pembahasan di panja dan pansus kemarin," tutur Hamid, Jumat (17/12).

Fraksi PKS juga mempersoalkan diterbitkannya Keputusan Menteri Nomor 1419/kpts/M/2021 tentang Pembentukan Satgas Pembangunan Ibu Kota Negara pada tanggal 15 November. PKS menilai ada ketergesaan dalam pembahasan RUU IKN dan peraturan yang terkait dengannya. Sebab, sampai saat ini RUU IKN baru dibahas.

"Ini kan kaya uber-uberan sehingga saya tadi katakan seperti kebat keliwat nututi sana nututi sini dan sebagainya, itu persoalannya, sehingga kayak tidak terstruktur dengan baik tertata rapi, semua kaya tergesa-gesa," tegasnya.

Fraksi PKS tetap memandang pemindahan ibu kota tidak urgen dilakukan saat ini. Hamid mengungkapkan utang yang dimiliki Indonesia masih di angka Rp 6.687,28 triliun. Sementara pemindahan IKN membutuhkan biaya persiapan infrastruktur hampir Rp 500 triliun.

"Saya rasa itu sangat berat sekali. Jadi memang kita harus proporsional, memandang persoalan yang berat itu jangan digampangkan, jangan disepelekan," tutur Hamid.

Anggota pansus dari Fraksi Demokrat Hinca Panjaitan juga mengkritik ketergesaan pembahasan RUU IKN. Ia mengingatkan agar RUU IKN tak bernasib seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

"Masa undang-undang yang sepenting itu begitu (dibahas buru-buru), masih ingat Undang-Undang Cipta Kerja kan. Kan begitu (pembahasannya)," ujar Hinca.

Ia menjelaskan target pemerintah yang ingin pemindahan ibu kota yang harus dilakukan pada semester I tahun 2024 dinilai terburu-buru. "Ini soal yang penting, belum lagi kita ngomongin yang lain-lain ya dampaknya dan seterusnya, belum lagi sisiran tabrakannya dengan UU yang lain kalau pindahkan ibu kota itu bagaimana status Jakarta, gimana pusat perabadan dan seterusnya, banyaklah kita butuh waktu yang panjang untuk mendiskusikannya agar matang," jelasnya.

Wakil Ketua panitia khusus (Pansus) RUU IKN Saan Mustopa mengeklaim, jika ada substansi yang belum disetujui, tetapi sudah masuk pembahasan di Timus, maka pembahasannya dikembalikan ke tingkat panja.

"Dengan catatan, kalau nanti di timus belum selesai hal-hal yang dianggap sebagai substansi, nanti kita akan bawa ke panja kembali, jadi gitu," ujar Saan.

 
Utang yang dimiliki Indonesia saat ini masih di angka Rp 6.687,28 triliun.
 
 

Kepentingan elite

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mengkritik sangat cepatnya pembahasan RUU IKN yang sudah masuk tahap Timus. Namun, hal itu dipandangnya lazim, karena RUU tersebut merupakan kepentingan elite bukan untuk rakyat.

Ia menilai, DPR tak belajar dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Di mana saat itu, pembahasan regulasi sapu jagat itu juga dikebut dan minim partisipasi publik. "Partisipasi ini tidak sekadar formalitas, tetapi harus benar-benar disediakan waktu dan mekanisme bagi publik untuk terlibat dalam proses pembahasan," ujar Lucius.

Menurut Lucius, DPR juga semakin memperlihatkan sikapnya dalam mengulur pembahasan RUU yang bukan kepentingan kelompoknya. "Selain RUU TPKS, RUU PDP, RUU Penanggulangan Bencana, merupakan RUU yang sudah lama dibahas, sekaligus ditunggu oleh publik. Banyak alasan mereka sampaikan untuk menutupi kemalasan dan kelambanan mereka mempersembahkan regulasi yang urgen bagi publik," ujar Lucius.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat