RAKHMAD ZAILANI KIKI; Ketua PW Rabithah Maahid Islamiyah (RMI) | Istimewa

Opini

Mewaspadai Pseudo Pesantren

Terhadap pseudo pesantren ini masyarakat harus waspada, harus jeli, dan tahu ciri-cirinya

RAKHMAD ZAILANI KIKI; Ketua PW Rabithah Ma`ahid Islamiyah (RMI), Asosiasi Pesantren NU DKI Jakarta

Kasus si predator Herry Wirawan (HW) yang memperkosa belasan anak di bawah umur menjadi sorotan dan polemik di masyarakat yang minimal terpolarisasi dalam dua kubu.

Kubu pertama menyatakan, diakui saja bahwa pelakunya (HW) adalah pengasuh pesantren dan kehadiannya di pesantren. Sedangkan kubu kedua menyatakan bahwa si pelaku bukan pengasuh pesantren, tetapi pemimpin sebuah boarding school, namanya Madani Boarding School yang juga menjadi tempat kejadian perkara. Dan saya berada di kubu kedua ini.

Alasan kubu kedua ini yang sudah saya buatkan rilis beritanya atas nama Ketua PW RMI-NU DKI Jakarta dan diviralkan oleh banyak media online, sangat jelas karena memang nama yayasan dan tulisan papan nama dari lembaga pendidikan yang dipimpin HW ini tidak mencantumkan kata pesantren, tetapi boarding school. Tidak juga ditulis Islamic boarding school yang bisa saja disama-samakan dengan pesantren atau pondok pesantren.

Jika alasan dari kubu pertama bahwa, konon, lembaga pendidikan yang dipimpin HW ini ada izin operasionalnya dari Kementerian Agama setempat sebagai pesantren, maka itu maladministrasi, kekhilafan dari Kementerian Agama setempat yang sudah dicabut izin operasionalnya. Jika si predator HW ini terbukti aktif di sebuah organisasi pesantren, maka dia adalah oknum, penyusup yang merusak organisasi pesantren dan nama baik pesantren.

Sesederhana itu memahami dan menjelaskannya bahwa lembaga pendidikan yang dipimpin HW bukan pesantren. Saya mengistilahkannya dengan pseudo pesantren.

Kata pseudo berasal dari kata bahasa Yunani, pseudes, artinya berbohong atau salah. Kata pseudo digunakan untuk menandai sesuatu yang secara dangkal tampak dan atau berperilaku seperti hal lain, tapi bukan hal lain itu.

Secara istilah, pseudo berarti berarti kebetulan, tiruan, penipuan yang disengaja atau kombinasi dari semua itu. Maka, pseudo pesantren saya artikan dengan pesantren palsu.

 
Terhadap pseudo pesantren atau pesantren palsu inilah masyarakat harus waspada, harus jeli, dan tahu ciri-cirinya.
 
 

Terhadap pseudo pesantren atau pesantren palsu inilah masyarakat harus waspada, harus jeli, dan tahu ciri-cirinya yang membedakan dengan pesantren yang sebenarnya sehingga tidak memasukkan anaknya, saudaranya atau orang lain ke pseudo pesantren atau pesantern palsu ini. Dan pihak-pihak terkait, seperti Kementerian Agama, bisa menindaknya dengan tidak memberikan izin operasional atau jika sudah telanjur memberikan izin, izinnya dicabut, memberikan sanksi, dan lain-lain. 

Pseudo pesantren atau pesantren palsu yang saya maksud bukan hanya seperti lembaga pendidikan milik si predator HW yang di papan namanya tertulis boarding school. Namun juga lembaga pendidikan mana saja yang mencantum nama pesantren atau pondok pesantren di dalam akte yayasannya atau papan namanya, tapi dalam konsep dan praktiknya bukan pesantren yang sebenarnya. 

KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam sebuah tulisannya menjelaskan tentang pengertian, konsep, dari pesantren yang sebenarnya. Menurut Gus Dur, pesantren adalah subkultur (asli Nusantara) yang selama ini mampu mempertahankan diri dari serangan kultural yang silih berganti, sebagaian besar dapat dicari sumbernya pada karisma yang cukup fleksibel untuk mengadakan inovasi pada waktunya.

Kemampuan ini dimiliki pesantren karena adanya dua penunjang kehidupannya yang utama, yaitu: warga pesantren dan warga masyarakat luar yang mempunyai hubungan erat dengan pesantren. 

Menurut Gus Dur, yang termasuk dalam warga pesantren adalah kiai (ajengan, nun, atau bendara) yang menjadi pengasuh, para guru (ustaz, bentuk ganda asatidz) dan para santri. Kepengurusan pesantren adakalanya berbentuk sederhana. Di mana kiai memegang pimpinan mutlak dalam segala hal.

Sedangkan kepemimpnanya itu seringkali diwakilkan kepada seorang ustaz senior selaku lurah pondok. Seorang kiai dan para pembantunya merupakan hierarki kekuasaan satu-satunya yang secara eksplisit diakui di dalam pesantren.

 
Demikian besar kekuasaan seorang kiai atas santrinya, sehingga seorang santri untuk seumur hidup akan senantiasa merasa terikat dengan kainya.
 
 

Demikian besar kekuasaan seorang kiai atas santrinya, sehingga seorang santri untuk seumur hidup akan senantiasa merasa terikat dengan kainya, minimal sebagai sumber inspirasi dan penunjang moril dalam kehidupannya.

Adapun kedudukan ustaz memiliki dua fungsi pokok: sebagai latihan penumbuhan kemampuan untuk menjadi kiai di kemudian hari, dan sebagai pembantu kiai dalam mendidik para santri. Dan yang dimaksud dengan santri adalah siswa yang tinggal di pesantren guna menyerahkan diri. Ini merupakan persyaratan mutlak untuk memungkinkan dirinya menjadi anak didik kiai sepenuhnya.

Sedangkan yang dimaksud masyarakat luar adalah sebuah kelompok masyarakat yang dinamai “golongan santri” (dikenal juga dengan sebutan “masyarakat kaum”, sedangkan daerah tempat tinggal mereka biasa disebut “kauman”). Golongan masyarakat kauman inilah yang ikut memelihara pesantren dengan memberikan dukungan meteril dan menyediakan calon santri yang akan belajar di pesantren.

 
Dan yang jelas ustaz atau kiai tidak tinggal bersama santriwati-santriwati putrinya dalam satu rumah seperti si predator HW.
 
 

Yang dijelaskan Gus Dur di atas merupakan ciri-ciri pesantren yang sebenarnya yang menurut saya tidak dimiliki oleh pseudo pesantren atau pesantren palsu. Dan ciri lainnya yang tidak kalah penting yang tidak dimiliki pseudo pesantren adalah di pesantren sebenarnya santri perempuan atau santriwati diajarkan atau ada yang diasuh khusus oleh ustazah atau bu nyai.

Jika ada ustaz atau kiai yang mengajar, maka adabnya sangat dijaga, seperti memakai tabir atau tirai sehingga ustaz atau kiai tidak dapat menatap langsung santriwati-santriwatinya dan cara lainnya. Dan yang jelas ustaz atau kiai tidak tinggal bersama santriwati-santriwati putrinya dalam satu rumah seperti si predator HW.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat