H Mohammad Amal, sosok yang turut merintis perkembangan Muhammadiyah di Maluku Utara. | DOK REPRO Buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Me

Mujadid

H Mohammad Amal, Pelopor Muhammadiyah di Maluku Utara

Gerakan Muhammadiyah dan IPOT itu akhirnya menciutkan misi zending di Maluku Utara.

OLEH MUHYIDDIN

Sejak 1912, Persyarikatan Muhammadiyah terus tumbuh menjadi sebuah organisasi masyarakat (ormas) Islam yang berkemajuan. Pada 1920-an, ormas tersebut telah melebarkan pengaruhnya hingga ke luar Yogyakarta dan bahkan pulau-pulau selain Jawa.

Di Maluku Utara (Malut), perkembangannya didukung sejumlah ulama lokal. Seorang di antaranya ialah Haji Mohammad Amal. Tokoh tersebut lahir pada 1885 di Tobelo—yang kini termasuk wilayah Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Malut.

Kedua orang tuanya merupakan penduduk asli daerah setempat. Mereka mendidik putra tercinta dengan penuh kasih sayang.

Sejak kecil, Mohammad Amal sudah memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Minat belajarnya pun tampak sedari dini. Saat berusia tujuh tahun, dia mulai menempuh pendidikan dasar di sekolah zending yang berlokasi di Galela, pesisir bagian utara Pulau Halmahera. Dari sana, lelaki yang gemar membaca itu mendapatkan pelbagai ilmu pengetahuan umum.

Seperti dinukil dari buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi (2014), Amal terpaksa putus sekolah saat dirinya duduk di bangku kelas tiga. Bagaimanapun, kondisi itu tidak membuatnya patah arang. Ia tetap semangat menimba ilmu di manapun berada.

Saat berusia 10 tahun, Amal memulai perjalanan dalam menuntut ilmu-ilmu agama Islam. Ia mendatangi sejumlah ustaz atau ulama di sekitar tempat tinggalnya.

 
Saat berusia 10 tahun, Amal memulai perjalanan dalam menuntut ilmu-ilmu agama Islam.
 
 

Sebelum akil baligh, dirinya pun sudah pandai membaca Alquran. Beberapa kitab juga sudah dihafalkannya. Begitu pula dengan penguasaan bahasa Arab. Tidak ada waktu terlewat begitu saja tanpa meningkatkan kemampuannya dalam menguasai bahasa tersebut. Bahkan, bahasa Belanda pun dipelajarinya sehingga tidak ada lagi kendala dalam mencerna buku-buku umum saat itu.

Sebagai seorang autodidak, pustaka menjadi kawan setianya. Ia sangat rajin membaca. Buku-buku yang ditelaahnya terdiri atas ragam bahasa, yakni Melayu, Belanda, Arab, Inggris, dan lain-lain. Dia sangat menikmati waktu-waktu yang larut dalam menyelami ilmu dan informasi dari banyak kitab.

Para guru Amal juga kerap memuji semangat belajarnya. Akhirnya, ia tumbuh menjadi remaja yang berilmu dan berakhlak baik. Lantas, sebuah kesempatan datang kepadanya. Putra daerah Tobelo itu dapat berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima.

 
Sebuah kesempatan datang kepadanya. Putra daerah Tobelo itu dapat berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima.
 
 

Peluang itu tidak hanya dimanfaatkannya untuk berhaji. Amal memang sudah berniat untuk belajar ilmu-ilmu agama langsung di pusat dunia Islam, yakni Makkah dan Madinah. Saat berumur 20 tahun, dirinya pun bertolak dari Maluku ke Arab. Perjalanan laut itu ditempuh dalam waktu berbulan-bulan.

Sesudah tuntas menunaikan haji, Amal lebih berfokus pada pelajarannya di Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi. Selama kira-kira dua tahun, pemuda itu terus memperluas cakrawala pengetahuan keislamannya.

Pada 1907, ia pun memutuskan kembali ke kampung halaman. Niatnya besar dalam mengamalkan ilmu-ilmu yang selama ini diperolehnya kepada masyarakat Maluku.

 
Pada 1907, ia pun memutuskan kembali ke kampung halaman. Niatnya besar dalam mengamalkan ilmu-ilmu yang selama ini diperolehnya kepada masyarakat Maluku.
 
 

Tekun berdakwah

Sejak pulang ke Tanah Air, Haji Mohammad Amal mulai meneguhkan dirinya sebagai seorang mubaligh panutan. Di Halmahera, kala itu sedang gencar-gencarnya penyebaran misi para pendeta agama non-Islam.

Setidaknya, sejak 1877 pergerakan yang ditaja orang-orang Eropa itu cukup masif. Menghadapi fenomena tersebut, ia berupaya menandinginya dengan terus mengintensifkan dakwah Islam.

Untuk lebih memasifkan syiar Islam, Amal mendirikan sebuah organisasi, Persatuan Kaum Muda Islam Galela (PKMIG). Dengan perkumpulan itu, ia hendak mendidik kaum muda Muslimin setempat. Mereka ditempa agar cakap dalam mendakwahkan Islam serta menjadi teladan di tengah masyarakat.

Dalam perkembangannya kemudian, PKMIG juga menginspirasi terbentuknya pesantren di Halmahera. Melalui institusi tersebut, alumnus Makkah-Madinah tersebut berusaha meyiapkan generasi calon ulama dan pemimpin Muslim.

Buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi memuat data. Pada 1907, jumlah umat Islam di Galela, Maluku Utara, mencapai 10 persen dari total populasi. Umat Kristen sebesar dua persen dari keseluruhan masyaakat. Selebihnya diisi orang-orang yang masih tanpa agama. Dari sekitar 20 ribu penduduk Galela waktu itu, yang Muslim sekitar 2.000 orang. Pemeluk Kristen berjumlah sekitar 600 atau 700 orang.

 
Pada 1918, H Amal diangkat menjadi imam Distrik Galela. Tugasnya ialah memperluas cakupan syiar Islam, terutama di tengah masyarakat Galela.
 
 

Pada 1918, H Amal diangkat menjadi imam Distrik Galela. Tugasnya ialah memperluas cakupan syiar Islam, terutama di tengah masyarakat Galela.

Para pendeta merasa tidak nyaman akan gerakan-gerakan dakwah yang dilakukan sang haji. Mereka lalu berupaya merumuskan strategi. Bahkan, pemerintah kolonial Belanda juga bekerja sama, walaupun barangkali secara tak resmi, dengan pihak zending. Imbasnya, otoritas setempat sempat melarang Amal untuk berdakwah ke luar Galela selama beberapa tahun.

Kendati demikian, H Amal tidak patah semangat. Para muridnya yang sudah mahir berdakwah ditugaskannya untuk menyebarkan syiar Islam hingga ke daerah-daerah pelosok Kepulauan Maluku. Strateginya itu ternyata cukup berhasil dijalankan oleh santri-santrinya.

Dengan adanya pembatasan itu, Amal kian berfokus pada upaya-upaya memajukan umat Islam di Galela. Setelah Islam di daerah tersebut berkembang dengan pesat, barulah ia menyusun strategi untuk dakwah luar Maluku.

Berbekal hal itu, ia pun turut pergi bersama para dai muda didikannya ke luar daerah. Menerobos kampung-kampung yang sebenarnya dilarang untuk didatanginya.

 
Pada 1921, jumlah penduduk Islam di daerah tersebut kian meningkat. Bahkan, persentase mereka menjadi 60 persen dari keseluruhan warga
 
 

Atas perjuangan Amal dan para mubalighnya, cahaya Islam pun menerangi 22 kampung. Tiap desa tersebut itu sudah berhasil mendirikan surau-surau. Pada 1921, jumlah penduduk Islam di daerah tersebut kian meningkat. Bahkan, persentase mereka menjadi 60 persen dari keseluruhan warga. Surau-surau telah bertebaran di kampung-kampung.

Tidak hanya itu, Amal kemudian juga berencana mendirikan sebuah masjid besar di Galela. Dengan adanya fasilitas tersebut, kaderisasi dakwah akan kian lancar. Dan, masyarakat Muslimin lokal mendukung gagasan sang dai. Setelah melalui pelbagai ikhtiar, pada 1930 akhirnya masjid yang dicita-citakan bersama itu bisa berdiri. Secara keseluruhan, proyek pembangunan menelan dana hingga 12 ribu gulden.

Ikut Muhammadiyah

Perkembangan yang terjadi di Jawa juga berpengaruh hingga ke Maluku. Sejak 18 November 1912, Persyarikatan Muhammadiyah terbentuk di Yogyakarta. Pendirinya, KH Ahmad Dahlan, merupakan seorang mubaligh yang berhaluan modernis. Sama seperti H Mohammad Amal, sosok yang bernama asli Muhammad Darwisy itu merupakan seorang lulusan Hijaz.

Dari para sahabatnya yang sempat pergi atau merantau ke Jawa, H Amal pun memperoleh informasi tentang organisasi masyarakat (ormas) Islam tersebut. Ia pun merenung, pergerakan dakwah yang selama ini dilakukan dirinya serta para dai di Maluku Utara memerlukan wahana yang lebih besar.

Lalu, Muhammadiyah adalah sarana yang sangat tepat untuk mengoptimalkan syiar Islam di daerah kepulauan ini, khususnya Halmahera dan sekitarnya.

Pada Mei 1928, H Amal mendeklarasikan berdirinya Muhammadiyah Cabang Distrik Galela. Waktu itu, beberapa daerah di Maluku Utara juga telah menerima kabar tentang Muhammadiyah yang dirintis Kiai Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Maka, sejumlah tokoh setempat pun mengikuti inisiatif H Amal.

 
Pada Mei 1928, H Amal mendeklarasikan berdirinya Muhammadiyah Cabang Distrik Galela.
 
 

Haji Abdullah Tjan mendirikan Muhammadiyah Cabang Tobelo. Sebelumnya, mubaligh yang beretnis Tionghoa itu sempat duduk di kepengurusan Muhammadiyah Galela. Selain Tjan, ada pula Humar Djama dan Amly Sidik. Masing-masing merintis Muhammadiyah cabang Morotai dan Kao.

Untuk konsolidasi dakwah, pada 1938 para mubaligh tersebut membentuk forum Imam Permusyawaratan Onderafdeling Tobelo (IPOT). Dengan begitu, syiar Islam di daerah Tobelo, Galela, Kao dan Morotai dapat lebih terorganisasi. Gerakan Muhammadiyah dan IPOT itu akhirnya menciutkan misi-misi zending di Maluku Utara.

Tentu, tidak mudah bagi para tokoh tersebut untuk memulai pergerakan dakwah Muhammadiyah. Sejak 1928, pemerintah kolonial tidak juga mengeluarkan izin pendirian cabang ormas Islam itu di wilayah Halmahera. H Amal tidak menyerah begitu saja.

Ia lantas berkorespondensi dengan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Yogyakarta. Dalam surat balasan, hoofdbestuur Muhammadiyah menyarankan agar usaha-usaha pendirian Muhammadiyah di Tobelo dan sekitarnya dapat diteruskan tanpa perlu menunggu pengakuan legal dari pemerintah.

Barulah pada 1930, otoritas setempat menerbitkan izin untuk Muhammadiyah di Maluku Utara. Setidaknya, hingga awal 1940 dinamika organisasi tersebut kian pesat.

 
Barulah pada 1930, otoritas setempat menerbitkan izin untuk Muhammadiyah di Maluku Utara. Setidaknya, hingga awal 1940 dinamika organisasi tersebut kian pesat.
 
 

Satu per satu, sekolah-sekolah Muhammadiyah berdiri di Galela, Tobelo, Weda, dan Ternate. Kepanduan Muhammadiyah, Hizbul Wathan, juga terbentuk.

H Amal mengikuti arahan PP Muhammadiyah, yakni mengundang para dai dan guru agama dari kawasan lain Hindia Belanda apabila jumlah mubaligh setempat tidak mencukupi. Untuk daerah Galela dan Tobelo, pihaknya mendatangkan sejumlah ulama dari Padang dan Padang Panjang, Sumatra Barat.

Setelah Indonesia meraih kemerdekaan, Haji Mohammad Amal terus melanjutkan kiprahnya. Bahkan, perjuangannya kian meluas. Jika dahulu hanya bergerak dalam bidang dakwah dan pendidikan, pada masa Indonesia merdeka dirinya juga aktif di ranah politik. 

Berjuang di Jalur Politik

 

Bagi tokoh Muhammadiyah Haji Mohammad Amal, segala bidang kehidupan merupakan jalan syiar Islam di dunia ini. Maka, ranah politik pun semestinya juga diisi semangat menerapkan amar ma’ruf nahi munkar. Itu pun dilakukannya tatkala mulai terjun sebagai seorang politisi.

Haji Amal aktif di Partai Indonesia (PI) yang dipimpin oleh Arnold Mununutu. Sejak 1952, dirinya ke wahana yang berbeda, yakni dengan ikut mendirikan Partai Masyumi. Di partai politik tersebut, perintis Muhammadiyah Cabang Galela, Maluku Utara, itu sempat mengepalai Majelis Syuro.

Dalam kapasitasnya sebagai figur Masyumi, H Amal sering bertukar pikiran dengan sejumlah pemimpin nasional dan keislaman di Jawa. Sebut saja, A Hasan, KH Mas Mansur, Haji Agus Salim, H Sulaiman Daeng Muntu, dan lain-lain.

 
Dalam kapasitasnya sebagai figur Masyumi, H Amal sering bertukar pikiran dengan sejumlah pemimpin nasional dan keislaman di Jawa.
 
 

Pada awal masa revolusi, Maluku Utara turut terdampak efek dari Perang Dunia II. Di Morotai, H Amal mendeteksi adanya gejala-gejala demoralisasi masyarakat, khususnya di kamp-kamp tentara dan sipil. Ia pun mengadakan safari dakwah ke sana. Ikhtiar tersebut berjalan dengan cukup baik dan lancar.

Bahkan, H Amal berhasil mendirikan sebuah masjid darurat di dalam Kamp NNGPM, sebuah perusahaan minyak yang dahulu dimiliki pemerintah kolonial Belanda. Di masjid itulah, untuk pertama kalinya shalat Jumat digelar di kawasan Morotai pasca-Indonesia merdeka. Ibadah berjamaah itu diikuti umat Islam setempat dari berbagai suku.

Selama berjuang, H Amal kerap membaca banyak buku, termasuk yang diterbitkan oleh Pustaka Muhammadiyah. Ia juga berjasa besar dalam menyebarkan literatur Islam, khususnya di Maluku Utara. Pernah dirinya menjadi agen berbagai surat kabar, seperti Siasat, Republiken, Menara Merdeka.

Setelah membaktikan seluruh seluruh hidupnya untuk agama dan bangsa ini, Haji Mohammad Amal berpulang ke rahmatullah. Ia wafat di Galela pada 29 April 1960 dalam usia 75 tahun.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat