Azyumardi Azra | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Literatur Islam Indonesia: Wasathiyah

Sikap wasathiyah Islam ini perlu senantiasa diperkuat dan diberdayakan.

Oleh AZYUMARDI AZRA

OLEH AZYUMARDI AZRA

Literatur Islam Indonesia, seperti juga terungkap dalam Simposium tentang Warisan Literatur Keagamaan/Islage III, LKKMO Puslitbang Kemenag (30 November-1 Desember), terwujud dalam rentangan waktu panjang selama berabad-abad.

Khazanah literatur ini sangat kaya dan memiliki peran penting dalam konsolidasi dan dinamika tradisi ‘umatan wasathan’ (QS al-Baqarah 2: 143), yang secara organik mewujudkan wasathiyah Islam.

Meski nomenklatur paradigma Qur’anik tentang ‘wasath’ diperkenalkan Alquran 14 abad lalu, penggunaan secara luas baru terjadi belakangan ini. Nomenklatur dan konsep Wasathiyah Islam lebih pas dibandingkan istilah ‘moderasi beragama’.

 
Jelas ada kalangan Muslim Indonesia yang keberatan dengan istilah dan konsep ‘moderasi beragama’ (atau moderasi Islam atau moderasi umat Muslimin).
 
 

Diadopsi Kementerian Agama dalam beberapa tahun terakhir, ‘moderasi beragama’ kemudian menjadi kebijakan resmi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.

Jelas ada kalangan Muslim Indonesia yang keberatan dengan istilah dan konsep ‘moderasi beragama’ (atau moderasi Islam atau moderasi umat Muslimin).

Wasathiyah Islam menemukan momentum dalam warisan literatur Islam kepulauan nusantara, terutama sejak abad ke-17 dan berlanjut pada masa sesudahnya.

Meski sudah menjadi khazanah, Wasathiyah Islam tetap masih relevan, kontekstual, dan sangat dibutuhkan, baik secara internal Muslimin maupun eksternal dalam hubungan banyak umat beragama lain, seperti pada tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional lebih luas.

Namun, khazanah literatur Islam kepulauan nusantara tentang Wasathiyah Islam perlu dikaji lebih intens. Masih banyak substansi khazanah literatur Islam dalam aspek ini yang belum diteliti, ditahqik, dan dijelaskan dalam konteks perkembangan dan tantangan masa kini.

 
Wasathiyah Islam seperti terlihat dalam khazanah pemikiran ulama kepulauan nusantara menawarkan paradigma, ajaran, konsep, pemahaman, dan praksis tengahan.
 
 

Substansi dan karakter Wasathiyah yang ditampilkan Islam Indonesia kini menjadi harapan dunia dan masyarakat internasional. Harapan ini terkait kenyataan dalam dua dasawarsa terakhir banyak bagian dunia—termasuk kawasan Muslim--mengalami kekacauan, konflik, dan perang.

Keadaan tidak kondusif ini berganda dengan meningkatnya disrupsi sosial-politik, ekonom, budaya, dan agama akibat liberalisasi politik dan ekonomi serta kemajuan teknologi.

Wasathiyah Islam seperti terlihat dalam khazanah pemikiran ulama kepulauan nusantara menawarkan paradigma, ajaran, konsep, pemahaman, dan praksis tengahan.

Dalam kajian nomenklatur dan kajian Islam sekarang, Wasathiyah Islam disebut ‘justly-balanced' atau ‘middle path’ Islam. Wasathiyah Islam mengambil posisi ‘tengahan’; tidak ekstrem ke kiri atau ke kanan, atau ke atas atau ke bawah (al-qhuluw wa al-taqsir).

Dalam kaitan itu, penting dicatat Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendekiawan Dunia Muslim, yang diselenggarakan di Bogor (1-3 Mei 2018). Konsultasi Tingkat Tinggi ini merumuskan karakter Wasatiyah Islam: tawasuth (tengahan), tawazun (berkeseimbangan), i’tidal (adil, lurus, tegas), tasamuh (toleran), musawah (setara), syura (konsultatif), islah (reformis), awlawiyah (mendahulukan prioritas), tatawwur wa al-ibtikar (inovatif), tahaddhur (berkeadaban), dan muwathanah (cinta tanah air).

 
Boleh jadi kebanyakan Muslim Indonesia tidak terlalu menyadari kepengikutan pada kalam Asy’ariyah; tetapi pemahaman dan praksis keIslaman sehari-hari cukup mencerminkan.
 
 

Tradisi Wasathiyah Islam seperti terkandung dalam banyak literatur Islam terdiri atas tiga aspek. Ketiganya merupakan ‘tradisi besar’ yang mencakup banyak ‘tradisi kecil berupa ‘tradisi lokal’; ketiganya juga menjadi ‘ortodoksi Islam’ kepulauan nusantara—yaitu pemahaman dan praktik Islam yang telah disepakati jumhur ulama otoritatif sebagai sahih.

Ortodoksi Wasathiyah Islam kepulauan nusantara yang sejak usai Perang Dunia II dan kemerdekaan sebagian besar wilayahnya menjadi Republik Indonesia mencakup tiga aspek utama. Masing-masing aspek itu secara jelas mencerminkan posisi tengahan.

Pertama adalah kalam (teologi) Asy’ariyah yang berkombinasi dengan kalam Maturidiyah dan Jabarariyah. Teologi Asy’ariyah berada di tengah di antara kalam Khawarij yang literal-ekstrem dengan teologi Mu’tazilah yang rasional-liberal.

Boleh jadi kebanyakan Muslim Indonesia tidak terlalu menyadari kepengikutan pada kalam Asy’ariyah; tetapi pemahaman dan praksis keIslaman sehari-hari cukup mencerminkan.

Aspek kedua, mazhab fikih Syafi’i yang berada di tengah di antara fikih mazhab Zhahiri dan Hanbali yang literal di satu sisi dengan fikih mazhab Hanafi yang lebih rasional dan kontekstual di sisi lain.

 
Aspek kedua, mazhab fikih Syafi’i yang berada di tengah di antara fikih mazhab Zhahiri dan Hanbali yang literal di satu sisi dengan fikih mazhab Hanafi yang lebih rasional dan kontekstual di sisi lain.
 
 

Namun, dalam perkembangan sekitar empat dasawarsa terakhir, sedikit banyak terjadi konvergensi (talfiq) di antara berbagai mazhab fikih Sunni.

Aspek ketiga adalah Sufisme atau tasawuf al-Ghazali dan Junayd al- Baghdadi yang menekankan tasawuf akhlaqi atau tasawuf amali. Aspek tasawuf seperti ini berada di tengah di antara tasawuf ‘antinomian’ eksesif pada satu pihak dengan tasawuf falsafi spekulatif dan teoretis pada segi lain.

Ketiga aspek ortodoksi ini secara jelas memperlihatkan, Wasathiyah Islam kepulauan nusantara yang terus berlanjut sampai sekarang.

Memandang berbagai perkembangan dan tantangan, Wasathiyah Islam ini perlu senantiasa diperkuat dan diberdayakan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat