Guru SDN Tebet Timur 07 Arbanur Orbita melakukan kegiatan belajar mengajar secara daring pada kegiatan McClassroom di Jakarta, Selasa (23/11/2021). | Tahta Aidilla/Republika

Opini

Guru dan Tantangan Pedagogi Digital

Guru yang berhenti belajar hanya punya masa lalu, guru yang terus belajar akan menggenggam masa depan.

SATRIWAN SALIM, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Pengajar Labschool UNJ

Pandemi covid-19 mengubah cara masyarakat berkomunikasi dan bersosialisasi, tak terkecuali interaksi dalam pendidikan. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) menjadi solusi hampir dua tahun terakhir.

Meskipun begitu, intensitas upaya memulai pembelajaran tatap muka terbatas ditingkatkan di hampir seluruh daerah. Karakteristik pembelajaran masa pandemi, yaitu masifnya penggunaan teknologi digital dalam pembelajaran, membuat PJJ bergantung padanya.

Penggunaan teknologi digital menjadi kebutuhan pokok sekaligus solusi, yang “memaksa” guru, termasuk siswa dan orang tua, beradaptasi sehingga menjadi fakta kenormalan baru dunia pendidikan.

Metode pembelajaran guru berubah drastis selama PJJ, biasanya klasik di sekolah, diganti belajar dari rumah menggunakan teknologi. Secara umum, metode PJJ terbagi tiga: dalam jaringan (daring), luar jaringan (luring), dan kombinasi.

 
Metode pembelajaran guru berubah drastis selama PJJ, biasanya klasik di sekolah, diganti belajar dari rumah menggunakan teknologi.
 
 

Selama PJJ, mayoritas guru memilih metode PJJ daring yang mengandalkan infrastruktur digital, perangkat digital, kompetensi digital, dan keterlibatan. Infrastruktur digital, seperti jaringan internet dan base transceiver station (BTS), menentukan kualitas PJJ.

Namun, disparitas akses dan kualitas internet antardaerah tinggi. Kecepatan internet Indonesia pun masih rendah, di peringkat 121 untuk mobile internet dan peringkat 115 untuk fixed internet connection (Speedtest Global Index, 2021 & World Bank, 2020).

Ketersediaan perangkat digital, seperti komputer, laptop, dan gawai pintar termasuk kuota internet, menjadi faktor penyebab PJJ banyak kendala karena tak semua siswa (bahkan guru) punya, khususnya keluarga miskin.

Hasil survei menunjukkan, 20,1 persen siswa dan 22,8 persen guru belum memiliki perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) seperti di atas selama belajar daring (Kemendikbudristek, 2021).

Tuntutan keterlibatan orang tua siswa selama PJJ bukan perkara mudah. Apalagi, yang bekerja bertepatan waktu PJJ, menjadi buruh, berdagang, bertani, dan melaut. Mereka tak dibekali kemampuan pedagogi memadai mengajar anak sesuai  kurikulum sekolah.

 
Hasil survei menunjukkan, 20,1 persen siswa dan 22,8 persen guru belum memiliki perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) seperti di atas selama belajar daring.
 
 

Memahami pedagogi digital

Penggunaan teknologi digital dalam pembelajaran selama pandemi, bukan saja ditopang keterampilan mengoperasionalkan perangkat, melainkan lebih jauh dan penting membangun pemahaman guru mengenai pedagogi digital.

Pedagogi digital adalah paradigma pembelajaran berbasis teknologi digital, dengan tetap memperhatikan prinsip pedagogi sehingga siswa memperoleh pengalaman belajar meskipun belajar dari jarak jauh.

Dengan demikian, guru mampu menentukan kapan menggunakan alat-alat digital dan memperhatikan dampaknya dalam pembelajaran. Pedagogi digital memosisikan digital di bawah pedagogi, seperti dikatakan Liz Kolb, “learning first, technology second” (2017).

Kompetensi pedagogi digital artinya keterampilan guru, yang mampu mengelola proses pembelajaran atau interaksi dengan siswa melalui teknologi digital. Pedagogi digital merefleksikan penggunaan teknologi guna meningkatkan atau mengubah pengalaman pendidikan.

Fokusnya bukan pada alat digital, melainkan bagaimana membangun interaksi antara guru, siswa, dan ilmu pengetahuan melalui alat dan ruang digital. Guru harus memilih teknologi digital yang tepat dalam PJJ.

 
Paradigma pedagogi digital melalui skema PJJ daring akan menjadi kebutuhan masa depan, kapan pun katastrofe melanda Indonesia, kompetensi gurunya siap.
 
 

Perlu dicermati guru, beberapa karakteristik pedagogi digital, yakni menyatukan teori dan praktik, membuat dan berpikir; menumbuhkan kreativitas, permainan, dan pemecahan masalah; mendorong partisipasi, kolaborasi, dan keterikatan publik; bertujuan meningkatkan pemahaman kritis terhadap lingkungan digital (Lisa Spiro, 2013).

Tuntutan berikutnya, guru membuat strategi pengintegrasian pengetahuan tentang pengajaran (pedagogi), pengetahuan konten/materi, dan penggunaan teknologi. Kemampuan guru mengombinasikan ketiganya dalam pembelajaran akan menciptakan pembelajaran efektif, bermakna, dan berkualitas.

Paradigma pedagogi digital melalui skema PJJ daring akan menjadi kebutuhan masa depan, kapan pun katastrofe melanda Indonesia, kompetensi gurunya siap.

Sekurangnya empat alasan pedagogi digital perlu dipahami dan dikembangkan guru. Pertama, para siswa merupakan generasi “digital native”, yang terbiasa menggunakan perangkat digital dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sudah menjadi kebutuhan dan gaya hidup.

Kedua, akan meningkatkan motivasi belajar dan meningkatkan keterlibatan siswa selama proses pembelajaran. Alam digital adalah dunia mereka, apalagi partisipasi belajar tak lagi dibatasi ruang dan waktu dengan prinsip fleksibilitas.

 
Infrastruktur pendukung pembelajaran digital belum merata karena fakta kesenjangan seperti uraian di awal, sehingga pelaksanaan PJJ tak efektif. 
 
 

Siswa dapat berkomunikasi dengan guru via media sosial atau kirim pesan pribadi, terhubung kapan pun. Ketiga, membuat pekerjaan lebih cepat, efisien, dan paperless

Keempat, mendorong kemampuan berpikir kritis, sebab melalui teknologi digital, konsep rumit dan abstrak menjadi lebih mudah dieksplorasi mesin.

Tantangan guru

Namun, pengelolaan pembelajaran berbasis digital tak gampang diwujudkan. Lima tantangan objektif membangun pedagogi digital. 

Pertama, Bank Dunia (2020) menyebut anak-anak keluarga berpenghasilan rendah kehilangan lebih banyak waktu belajar, daripada anak-anak dari keluarga lebih kaya. Ditambah situasi PJJ, diprediksi hanya 30 persen siswa mencapai skor minimum kemampuan membaca.

Kedua, kesenjangan digital dan rendahnya budaya digital. Infrastruktur pendukung pembelajaran digital belum merata karena fakta kesenjangan seperti uraian di awal, sehingga pelaksanaan PJJ tak efektif. 

Ketiga, praktik PJJ selama pandemi lebih pada coba-coba, tanpa dasar epistemologi pedagogi. Dus, dibutuhkan cetak biru pedagogi digital di Indonesia. Keempat, angka perundungan siber yang mencemaskan.

Hasil riset UGM (2021) menunjukkan, 45,35 persen remaja yang menjadi reponden, mengaku menjadi korban perundungan siber dan 38,41 persen pernah menjadi pelaku. Tingginya angka kekerasan siber akibat meningkatnya penggunaan media digital dan internet di kalangan remaja. Guru melalui literasi digital belum mampu mencegah potensi perundungan siber di kalangan siswa.

 
Kemampuan digital guru sebagian besar masih pada level tahu dan bisa memakai teknologi TIK secara terbatas. Masih jauh dari level memproduksi konten pembelajaran digital, apalagi menjadi pelatih.
 
 

Kelima, rendahnya kompetensi pedagogi dan profesional guru. Nilai rata-rata Uji Kompetensi Guru (UKG) 2015 di bawah 60. Hasil survei pengetahuan guru di bidang bahasa Indonesia (literasi), matematika, dan pedagogi di bawah standar minimum.

Dua aspek pertama hasilnya rendah, sedangkan aspek terakhir nilainya sangat rendah (Bank Dunia, 2020). Fakta menyedihkan sekaligus mengkhawatirkan bagi penyiapan sumber daya manusia bermutu.

Kemampuan digital guru sebagian besar masih pada level tahu dan bisa memakai teknologi TIK secara terbatas. Masih jauh dari level memproduksi konten pembelajaran digital, apalagi menjadi pelatih.

Sebaliknya patut diapresiasi, kesadaran memanfaatkan teknologi ditunjukkan dengan terus meningkatnya partisipasi dalam pelatihan TIK guru, sejak 2017-2021 berturut-turut diikuti: 11 ribu, 20 ribu, 30 ribu, 70 ribu, dan 82 ribu guru (Pusdatin, 2021).

Menyiapkan guru yang adaptif sekaligus cerdas berteknologi digital tak mudah, menyangkut multiaspek, yaitu ekosistem belajar, kompetensi, tanggung jawab, dan pola pikir guru untuk terus belajar mengembangkan diri.

Dalam peringatan Hari Guru Nasional kali ini, penting mempertegas kembali: Guru yang berhenti belajar hanya punya masa lalu, guru yang terus belajar akan menggenggam masa depan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat