Buruh dari berbagai organisasi melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Jumat (19/11/2021). Mereka menuntut kepada Pemerintah untuk menaikan upah mininum sebesar 10 persen pada tahun 2022 dan segera mencabut Surat Ed | ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

Tajuk

Menimbang Upah Buruh 2022

Memutuskan upah minimum provinsi bukanlah perkara mudah.

Bagaimana perasaan kawan-kawan buruh hari-hari ini? Setelah mereka melihat besaran nilai Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022 yang diumumkan oleh beberapa kepala daerah akhir pekan lalu, atau sepanjang pekan lalu.

Apakah ada kenaikan UMP? Ya, memang naik. Apakah kenaikan UMP sesuai keinginan kawan-kawan buruh? Bisa dipastikan tidak memenuhi aspirasi mereka. Perbaikan kehidupan apa yang bisa mereka lakukan dengan kenaikan UMP, katakanlah sekitar Rp 20-40 ribu setahun ke depan? 

Memutuskan UMP bukanlah perkara mudah. Karena ada banyak pihak yang terlibat di situ. Di setiap daerah, UMP pasti akan melibatkan dewan pengupahan. Di dalamnya ada perwakilan buruh, perwakilan pengusaha, dan perwakilan pemerintah.

Karena itu, akan selalu terjadi tarik-menarik. Buruh ingin upahnya selalu naik di atas inflasi. Atau minimal 10 persen saban tahun. Pengusaha setuju ada kenaikan upah, tetapi umumnya tidak akan setinggi yang diminta buruh, dengan berbagai alasan.

Lalu datanglah wabah Covid-19. Menghantam ketiga pihak yang berwenang memutus upah buruh. Covid-19 menghajar buruh amat keras. Buruh kehilangan pekerjaan karena perusahaan, tempatnya bekerja, bangkrut atau harus menurunkan kapasitas produksinya. Ini terlihat dari lonjakan angka pengangguran yang terjadi dalam dua tahun terakhir. 

 
Di negara kaya, negara berkembang, dan apalagi di negara miskin. Covid-19 menjungkalkan pengusaha dengan cepat.
 
 

Fenomena tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga seluruh dunia. Di negara kaya, negara berkembang, dan apalagi di negara miskin. Covid-19 menjungkalkan pengusaha dengan cepat. Dalam hitungan pekan, permintaan merosot. Pemerintah membatasi mobilitas.

Tiba-tiba tidak ada lagi pembeli produk. Sementara bahan baku sudah telanjur dipesan dan harus dibayar. Kredit bank menunggu cicilan. Tagihan listrik dan operasional lainnya tetap harus dibayar, sementara pemasukan minim bahkan minus. 

Dua tahun terakhir bagi pengusaha bisa dibilang sebagai tahun-tahun pembelajaran terberat mereka. Tidak sedikit pengusaha yang gulung tikar. Bukan cuma pengusaha UMKM, melainkan juga pengusaha besar. Tentu ini bukan apologia terkait UMP. 

Namun, dengan konteks Covid-19 tersebut di atas, kita bisa melihat bahwa situasi sekarang ini bukanlah situasi yang mudah bagi buruh, pengusaha, ataupun pemerintah untuk memutus upah baru. Bisalah kita bilang ini pil pahit bagi semuanya. 

Pemerintah dengan demikian harus menegaskan berdiri di posisi mana. Apakah pemerintah condong ke buruh? Atau sudah terlihat condong ke pengusaha? Kita bisa menilai sendiri pada saat ini keberpihakan pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wapres KH Ma’ruf Amin kepada siapa.

 
Ketidakmampuan pemerintah untuk mendongkrak naiknya upah buruh sesuai aspirasi harus kita kritisi.
 
 

Kita tahu pemerintah sudah menggelontorkan berbagai paket bantuan sosial ataupun tunai untuk kelompok pekerja yang jadi korban PHK. Kita juga tahu pemerintah sudah begitu banyak memberikan keringanan dan insentif kepada pengusaha. Pebisnis mendapat bantuan restrukturisasi pinjaman, insentif pajak, insentif produksi, insentif listrik, dan lain sebagainya. 

Ketidakmampuan pemerintah untuk mendongkrak naiknya upah buruh sesuai aspirasi harus kita kritisi. Upah bukanlah satu-satunya alat kesejahteraan buruh. Salah satu yang utama, memang benar. Tapi pemerintah punya berbagai alat lain, dan kebijakan untuk bisa menjamin buruh hidup sejahtera dengan upahnya per saat ini. 

Dan pemerintah harus memastikan jaminan pekerja ini berjalan dan diterima dengan baik. Pemerintah harus memastikan jaminan kesehatan, jaminan berorganisasi dan berserikat, jaminan sosial, jaminan hari tua pekerja, jaminan transportasi umum, jaminan pendidikan, dan akses jaringan finansial dan usaha kepada kelompok buruh. Berbagai jaminan ini memang sudah ada di atas kertas. 

Namun, penyelenggaraannya di berbagai daerah amat berbeda dan tidak menyeluruh. Inilah yang kemudian membuat kelompok buruh lebih menekankan tuntutan mereka pada faktor kenaikan upah. Karena mereka masih diliputi kekhawatiran hak-hak mereka di atas belum terpenuhi. 

Inilah yang harus diperbaiki oleh koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Sering kali apa yang diputuskan di pusat, di daerah tidak mampu atau tidak mau menjalankannya, dengan berbagai faktor. Kawan-kawan buruh masih harus hidup dengan tingkat ketidakpastian ini.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat