Petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mengevakuasi warga yang terjebak banjir di Clumprit, Degayu, Pekalongan, Jawa Tengah, Senin (15/11/2021). | ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/hp.

Opini

Siaga La Nina

Ada tujuh provinsi yang berperan besar dalam produksi komoditas pertanian memiliki indeks risiko bencana kategori tinggi.

PRIMA GANDHI, Sekretaris Pusat Studi Bencana (PSB) IPB

Isi berita berjudul “Waspadai Peningkatan Risiko Bencana” pada halaman pertama harian Republika (15 November 2021) patut menjadi perhatian serius masyarakat dan Pemerintah Indonesia dalam beberapa waktu ke depan.

Letak astronomis dan perubahan iklim global, ditengarai para ahli kebencanaan, menjadi penyebab Indonesia tak bisa terhindar dari bencana alam. Letak astronomis sifatnya /given, bukan sebuah pilihan.

Jika kita melihat data bencana yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) satu dekade ke belakang, dapat disimpulkan bahwa bencana alam meningkat dari tahun ke tahun. Lebih dari 19 ribu bencana alam terjadi di Indonesia dari 2010 hingga 2020.

Pada 2020, terjadi 2.925 kasus bencana alam dengan kontribusi terparah dari banjir 1.065 kasus, disusul angin beliung, tanah longsor, kebakaran hutan, gelombang pasang dan abrasi, kekeringan, gempa bumi, serta erupsi gunung api.

 

 
Jika kita melihat data bencana yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) satu dekade ke belakang, dapat disimpulkan bahwa bencana alam meningkat dari tahun ke tahun. 
 
 

 

Dari total bencana alam sepanjang 2020 menyebabkan korban meninggal 370 jiwa, 39 orang hilang, dan 536 jiwa luka-luka.

Pada awal November 2021, BMKG mengingatkan terkait cuaca ekstrem akibat La Nina dari November 2021 sampai Februari 2022. Belajar dari pengalaman, perlu disiagakan rencana mitigasi untuk mengurangi dampak bencana akibat La Nina tahun ini.

Beberapa rencana langkah mitigasi dimuat dalam dokumen Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB) 2020-2024. Renas PB dibuat BNPB sebagai amanat Pasal 36 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Selain membuat Renas PB, BNPB memiliki strategi manajemen bencana, merujuk Peraturan Kepala BNPB No 4 Tahun 2008. Dalam peraturan ini ada tiga tahap manajemen bencana.

Tahap pertama, prabencana. Terdiri atas pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan. Tahap kedua, tanggap darurat ketika bencana terjadi. Tahap ketiga, pascabencana meliputi rencana pemulihan untuk membangun kembali fasilitas dan infrastruktur yang rusak.

Dalam Renas PB 2020-2024, ada tujuh provinsi yang berperan besar dalam produksi komoditas pertanian memiliki indeks risiko bencana kategori tinggi, yakni Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Maluku.

 
Petani kerap menghadapi risiko ketidakpastian produksi akibat gagal panen, di antaranya karena bencana alam dan petani sendiri yang menanggung kerugian. 
 
 

Jika kita mengaitkan indeks tujuh provinsi di atas dengan tahapan manajemen bencana, prabencana menjadi tahapan yang harus dilakukan saat ini.

Kesiapsiagaan, mitigasi, dan pencegahan untuk menghindari kerusakan lahan usaha petani dan menjaga stok pangan daerah sudah harus dilakukan BNPB dan Kementerian Pertanian secara masif, restruktur, serta sistematis kepada petani juga kelompoknya.

Risiko petani

Petani kerap menghadapi risiko ketidakpastian produksi akibat gagal panen, di antaranya karena bencana alam dan petani sendiri yang menanggung kerugian. Maka itu, asuransi bagi lahan petani di daerah rawan bencana menjadi kewajiban pemerintah.

Dalam strategi manajemen bencana, pemberian asuransi di sentra penghasil pangan merupakan alternatif pilihan di tahap prabencana.

Pada tahap tanggap darurat, ketika kawasan sentra produksi pertanian terkena bencana akan berdampak pada stok pangan. Ini akan dirasakan korban bencana dan masyarakat yang biasa mendapat suplai dari sentra tersebut.

Dalam kondisi tanggap darurat, dibutuhkan sistem logistik pangan dan kemanusiaan mumpuni. Logistik pangan merupakan proses dan sistem yang mencakup mobilisasi pangan.

Sementara itu, logistik kemanusiaan adalah proses perencanaan, implementasi, pengendalian aliran barang, informasi, dan keuangan mulai dari titik awal sampai penerima akhir yang memenuhi persyaratan secara efektif juga efisien.

Selain saat tanggap darurat, logistik kemanusiaan dibutuhkan juga pada tahap pascabencana. Logistik kemanusiaan memiliki fokus pada bantuan bahan pangan pokok, alat-alat kesehatan, dan air bersih dalam jangka pendek.  

 
Dalam kondisi tanggap darurat, dibutuhkan sistem logistik pangan dan kemanusiaan mumpuni. Logistik pangan merupakan proses dan sistem yang mencakup mobilisasi pangan.
 
 

Korban bencana membutuhkan pusat pendistribusian dan pergudangan yang dikelola pemda untuk mengelola bantuan pangan. Hemat penulis, bank pangan di negara maju dapat dijadikan alternatif sebagai pusat distribusi dan pergudangan bahan pangan.

Bank pangan ini mayoritas merupakan organisasi nirlaba yang mengumpulkan, menyimpan, dan mendistribusikan makanan pokok ke lembaga bantuan. Bank pangan tidak memberikan makanan langsung kepada korban terdampak bencana, tetapi melalui relawan.

Di Indonesia, bank pangan bisa dibangun di wilayah yang masuk daftar risiko rawan bencana dalam Renas PB.

Indonesia sebenarnya memiliki modal kearifan lokal dalam membentuk bank pangan. Suku Baduy memiliki 'leuit' dan suku Minang memiliki 'rangkiang' sebagai tempat menyimpan stok pangan berupa padi.

Dengan bank pangan, strategi manajemen bencana pada tahap tanggap darurat dan pascabencana pada sektor pertanian serta pangan dapat berjalan optimal. Semoga cuaca ekstrem akibat La Nina tahun ini tak banyak menimbulkan bencana dan korban.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat