Pedagang melakukan transaksi jual beli di pasar hewan di Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (15/7/2020). Terkadang penjual meminta down payment kepada pembeli saat transaksi. | ADENG BUSTOMI/ANTARA FOTO

Kabar Utama

Hukum Down Payment dalam Jual Beli

Dalam beberapa transaksi jual beli terkadang penjual meminta down payment kepada pembeli.

 

OLEH ANDRIAN SAPUTRA

Dalam beberapa transaksi jual beli terkadang penjual meminta uang muka (down payment) kepada pembeli, dengan perjanjian jika transaksi batal maka uang muka atau DP tersebut tidak bisa diminta lagi oleh pembeli. Bagaimana hukum DP dalam Islam?

Pakar fikih Muamalah yang juga founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq Al Jawi menjelaskan, jual beli dengan uang muka dalam fikih disebut dengan bai' al 'urbuun.

Syekh Rawwas Qal'ah Jie dalam kitab Mu'jam Lyghah al-Fuqaha halaman 85 mendefinisikan bai' al 'urbuun adalah jual beli ketika pembeli membayar kepada penjual sebagian dari harga barang dengan ketentuan jika pembeli mengambil barang maka apa yang dibayarkan itu dihitung sebagai bagian dari harga. Namun, jika pembeli membatalkan pembelian maka apa yang dibayarkan itu menjadi hak penjual. 

Kiai Shiddiq mencontohkan, seorang akan membeli ruko senilai Rp 1 miliar, lalu pemilik ruko meminta membayar DP Rp 300 juta dengan ketentuan bila jual beli terjadi maka uang Rp 300 juta itu dihitung sebagai bagian dari harga, sehingga pembeli tinggal membayar sisanya sebesar Rp 700 juta.

Namun, jika pembeli membatalkan transaksi maka uang Rp 300 juta itu hangus atau tidak bisa diminta lagi atau telah menjadi haknya penjual. Tentang hukum bai' al 'urbuun, menurut Kiai Shiddiq terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama.

"Ada khilafiyah di kalangan ulama. Pendapat pertama adalah mengharamkan, ini pendapat jumhur ulama dari fukaha Hanafiyah, Syafi'iyah, dan Malikiyah. Pendapat kedua membolehkan, ini pendapat para ulama Hanabilah," kata Kiai Shiddiq dalam kajian virtual yang ditayangkan kanal Ngaji Subuh beberapa waktu lalu.

photo
Pedagang menawarkan sapi kepada calon pembeli di pasar hewan di Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (15/7/2020). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/agr/foc. - (ADENG BUSTOMI/ANTARA FOTO)

Para ulama yang berpendapat bahwa bai' al 'urbuun hukumnya haram, berpijak pada hadis Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya: Nabi SAW telah melarang jual beli dengan uang muka ('urbun) (HR Ahmad, an-Nasa'i, Abu Dawud, dan Malik dalam al-Muwatha).

Sementara itu, ulama yang berpendapat bai' al urbuun hukum boleh dilakukan berpijak pada beberapa argumentasi. Di antaranya yaitu para ulama berpendapat hadis riwayat Amr bin Syuaib tentang larangan 'urbuun dinilai lemah (dhaif) kerena sanadnya munqathi (terputus). Imam Syaukani dalam Nailul Authar menjelaskan bahwa ada perawi yang tak disebutkan namanya.

Selain itu, ulama yang membolehkan 'urbuun berpijak pada pendapat Umar bin Khattab yang membolehkan 'urbuun. Ada riwayat dari Nafi' bin Abdul Harits bahwa dia membeli untuk Umar rumah tahanan dari Shafwan bin Umayyah seharga 4.000 dirham. Jika Umar ridha maka jual belinya terjadi. Sebaliknya, jika Umar tidak ridha maka Shafwan berhak mendapatkan 400 dirham.

Para ulama juga bersandar pada hadis yang membolehkan 'urbuun, yaitu hadis dari Zaid bin Aslam, seorang tabiin senior. Dari Zaid bin Aslam bahwa dia bertanya kepada Rasulullah mengenai 'urbuun dalam jual beli, maka Nabi SAW telah menghalalkan uang muka ('urbuun) dalam jual beli (HR Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Mushannaf Ibnu Abi Syaibah).

Kiai Shiddiq menjelaskan bahwa kedudukan hadis tersebut mursal karena Zaid bin Aslam bukan generasi sahabat, melainkan generasi tabiin dan tidak pernah bertemu langsung dengan Rasulullah. Ulama berbeda pendapat apakah hadis mursal bisa dijadikan hujah atau tidak. Sebagian ulama berpendapat tidak bisa sebab hadis terputus karena Zaid tidak bertemu Nabi. 

Namun, sebagian ulama lainnya berpendapat hadis mursal itu dapat menjadi hujah. Sebagaimana dijelaskan Taqiyuddin an-Nabhani bahwa dalam hadis mursal tersebut yang tidak diketahui rawinya adalah generasi sahabat, tetapi itu tetap dapat dipastikan adalah sahabat. Semua sahabat Nabi memiliki kredibilitas dalam periwayatan. 

Para ulama yang membolehkan 'urbuun juga berlandaskan pada hadis yang membolehkan persyaratan secara umum, termasuk syarat ’urbuun. Maka dari itu, jual beli ’urbuun dibolehkan karena tidak terdapat dalil yang sahih yang mengharamkannya.

Sebagaimana disebutkan, kaidah kaum Muslim itu sesuai syarat di antara mereka kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau yang mengharamkan yang halal.

"Dari dua pendapat di atas, pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat ulama yang membolehkan 'urbuun (jual beli dengan uang muka)," katanya.

Akan tetapi, Kiai Shiddiq menjelaskan ada dua catatan dalam transaksi 'urbuun. Pertama, wajib ditetapkan waktu tunggu tertentu, semisal satu pekan atau satu bulan bagi pembeli untuk mengambil keputusan, apakah jual belinya itu diteruskan atau dibatalkan.

Kedua, uang muka tidak dibolehkan pada akad-akad tertentu yang mewajibkan pembayaran kontan atau di muka (di majelis akad) misalnya akad bai ussalam (jual beli pesan), sharf (pertukaran mata uang) dan jual beli emas dan perak.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat