IMAN SUGEMA | Daan Yahya | Republika

Analisis

Setelah Pandemi Usai

Yang jadi masalah adalah kapan dan bagaimana cara mengakhiri pandemi Covid-19 ini.

Oleh IMAN SUGEMA

OLEH IMAN SUGEMA

Selama beberapa bulan terakhir ini akademisi dari berbagai disiplin ilmu banyak memperbincangkan tentang bagaimana kehidupan kita setelah pandemi Covid-19 berakhir. Pandemi baik secara alamiah maupun dengan upaya maksimal dari umat manusia hampir bisa dipastikan akan berakhir suatu saat.

Yang jadi masalah adalah kapan dan bagaimana cara mengakhirinya. Itulah yang selalu menjadi pemikiran kita selama ini, mencari jalan terbaik untuk mengakhiri pandemi Covid-19.

Mengenai masalah ini, ada beberapa catatan penting yang harus kita pahami sebelum kita bicara tentang bagaimana cara mengakhiri pandemi ini. Catatan ini berisi dua hal, yakni apa yang sudah kita ketahui dan apa yang belum kita ketahui tentang Covid-19.

Pertama, kita tahu bahwa virus flu akan selalu bermutasi. Dalam jangka panjang, mutasi ini akan cenderung mengarah pada varian yang lebih menguntungkan bagi kehidupan manusia, yakni varian yang lebih lemah walaupun dengan daya sebar yang lebih tinggi. Akan tetapi, dalam jangka menengah dan pendek banyak hal yang tidak kita ketahui.

Dalam masa transisi, kita belum tahu persis apakah Covid-19 akan menjadi virus yang lebih ganas atau tidak. Jadi kita tahu bahwa suatu saat pandemi ini akan berakhir, tapi proses menuju itu belum kita ketahui secara persis.

Situasi seperti ini dalam kamus ilmu ekonomi biasanya dirumuskan sebagai masalah pengambilan keputusan dalam ketidakpastian atau decision making under uncertainty. Yang bisa kita lakukan paling banter adalah merumuskan berbagai skenario tentang apa yang akan terjadi. Dengan kata lain kita sebagai sebuah kesatuan masyarakat harus menyusun rencana kontingensi.

 
Dalam masa transisi, kita belum tahu persis apakah Covid-19 akan menjadi virus yang lebih ganas atau tidak.
 
 

Tentunya tidak semua orang harus terlibat dalam menyusun rencana kontingensi ini. Rencana ini cukup dirumuskan oleh pemerintah pusat bersama para ahli. Contoh yang paling sederhana adalah kontingensi tentang status kedaruratan.

Kita cukup beruntung karena sudah memiliki PPKM multilevel yang memberikan arahan kepada pemerintah daerah dan seluruh masyarakat tentang apa yang harus dilakukan dalam situasi yang berbeda. Tentu saja berbagai langkah tersebut kelak harus kita perbaiki sesuai dengan respons masyarakat. Di dalamnya harus terdapat proses belajar yang dilakukan oleh para pengambil keputusan karena situasi dan respons masyarakat sangatlah dinamis.

Kedua, kita tahu bahwa vaksin belum sepenuhnya memberikan perlindungan kepada masyarakat. Di negara-negara yang tingkat vaksinasinya sudah melebihi ambang dua pertiga jumlah penduduk masih saja terjadi ledakan jumlah kasus harian. Kita tahu juga bahwa vaksin yang ada sekarang ini mampu mengurangi risiko kematian dan mengurangi keparahan penularan. Vaksin akan mengurangi beban pelayanan rumah sakit dan tenaga medis.

Kita belum tahu sepenuhnya kapan vaksin yang dapat memberikan perlindungan 100 persen akan tercipta. Karena itu, untuk meningkatkan daya imun tubuh kita masih memerlukan booster secara berkala. Paling telat mungkin setahun sekali.

Dunia medis-epidemis baru mampu menciptakan solusi sampai sebatas itu. Sementara ini kita masih harus mengandalkan non pharmaceutical instrument (NPI) untuk mengendalikan pandemi. Artinya, berbagai pembatasan sosial masih harus dilakukan untuk mencegah risiko penularan yang terlalu tinggi.

 
Berbagai pembatasan sosial masih harus dilakukan untuk mencegah risiko penularan yang terlalu tinggi.
 
 

Ketiga, dari berbagai pengalaman di negara yang sudah mengalami gelombang ketiga, kita tahu persis bahwa pelonggaran terhadap pembatasan sosial akan meningkatkan risiko penularan walaupun tingkat vaksinasi sudah melebihi angka 70 persen. Berarti kita harus selalu siap bahwa pandemi ini akan berlangsung secara bergelombang sampai ditemukan vaksin yang betul-betul cespleng atau sampai mutasi virusnya stabil.

Yang belum kita ketahui adalah akan ada berapa gelombang yang harus kita lalui. Semakin kita abai, semakin besar peluang untuk menempuh lebih banyak gelombang. Kewaspadaan masyarakat menjadi kunci untuk menghindari gelombang yang akan datang.

Keempat, kita tahu virus Covid-19 menyebar dari sebuah tempat ke seluruh dunia. Konsekuensinya, selama virus tersebut masih bermutasi dan berkembang biak di suatu wilayah sekecil apapun semua umat manusia di dunia masih akan menghadapi risiko ledakan pandemi tanpa diketahui secara dini.

Ini juga berarti bahwa pengakhiran pandemi harus terjadi secara menyeluruh di seluruh dunia. Kegagalan di sebuah negara akan membawa risiko global. Karena itu menjadi sangat penting bagi semua negara untuk saling berkolaborasi. Tanpa itu, hanya jalan panjang pandemi yang harus kita lalui bersama.

 
Selama virus tersebut masih bermutasi di suatu wilayah sekecil apapun, semua umat manusia di dunia masih akan menghadapi risiko ledakan pandemi tanpa diketahui secara dini.
 
 

Dalam konteks Indonesia, tidak boleh ada satu wilayah di dalam NKRI ini yang kita tinggalkan. Vaksinasi harus kita lakukan secara merata di semua wilayah, baik desa maupun kota, baik wilayah terpencil ataupun wilayah yang banyak penduduknya. Ketersediaan tenaga dan fasilitas medis juga harus kita siapkan secara merata. Tanpa itu, risiko terjadinya ledakan kasus masih terus terbuka.

Sebagai penutup, tampaknya masih terlalu dini kita membicarakan tentang kapan pandemi ini akan berakhir. Masih terlalu banyak hal yang belum kita ketahui tentang apa yang akan terjadi berikutnya.

Modal kita untuk menghadapinya hanyalah kewaspadaan dan kesiapan dalam menghadapi gelombang Covid-19 berikutnya yang mungkin akan terjadi. Semoga kita siap untuk mengahadapinya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat