Aktivis yang tergabung dalam Gerak Perempuan menggelar aksi damai di depan kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Senin (10/2/2020). Mereka meminta Kemendikbud untuk menindak tegas pelaku kekerasan seksual dalam dunia pendidikan khususnya | SIGID KURNIAWAN/ANTARA FOTO

Opini

Menelisik Permendikbudristek No 30 Tahun 2021

Muatan permendikbudristen harus berbasis kebiasaan masyarakat berlandaskan nilai agama dan budaya luhur bangsa.

CECEP DARMAWAN; Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia dan Peneliti Hukum Pendidikan

Kemendikbudristek menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi (PT), yang diundangkan 3 September 2021. 

Maraknya kekerasan seksual, lemahnya perlindungan korban, dan lambannya penanganan kasus di PT merupakan sebagian alasan pentingnya permendikbudristek ini.

Kemendikbudristek sebenarnya memiliki niat baik sebagaimana tercantum dalam konsideran permendikbudristek itu, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pelindungan dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual.

Pada konsideran berikutnya, Kemendikbudristek menyadari meningkatnya kekerasan seksual di ranah komunitas termasuk PT, langsung atau tak langsung berdampak kurang optimalnya Tridharma Perguruan Tinggi dan menurunkan kualitas pendidikan tinggi.

 
Sayangnya, substansi yang baik permendikbudristek dicederai materi muatan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, dan m. Beberapa bentuk kekerasan seksual dalam Pasal 5 Ayat (2) memuat frasa “tanpa persetujuan korban”.
 
 

Sayangnya, substansi yang baik permendikbudristek dicederai materi muatan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, dan m. Beberapa bentuk kekerasan seksual dalam Pasal 5 Ayat (2) memuat frasa “tanpa persetujuan korban”.

Misalnya, kalimat memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban. Lalu, ada kalimat mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto, dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.

Berikutnya, mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban. Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.

Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui korban.

Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban. Membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban.

Muatan materi di atas, memicu kritik dan penolakan karena dianggap kental bernuansa paradigma seks bebas dengan dalih persetujuan (sexual consent).  

 
Muatan materi di atas, memicu kritik dan penolakan karena dianggap kental bernuansa paradigma seks bebas dengan dalih persetujuan (sexual consent).  
 
 

Adanya frasa “tanpa persetujuan korban”, seakan melegalisasi seks bebas dengan dalih mau sama mau atau suka sama suka dengan persetujuan dari masing-masing pihak. Ini sangat berbahaya karena standar perilaku demikian bukan berdasarkan nilai luhur bangsa kita.

Maka, materi muatan Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 oleh berbagai kalangan dinilai lebih bernuansa pemikiran liberal dan hedonis. Tentu, ini bertentangan dengan nilai Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa Indonesia.

Kritik tajam dilontarkan tokoh pendidikan, ulama, maupun organisasi keagamaan. Mereka menolak permendiburistek karena berpotensi melegalkan dan memfasilitasi perbuatan zina dan perilaku penyimpangan LGBT yang bertentangan dengan nilai Pancasila.

Tim penyusun permendikbudristek mungkin lupa amanat Pasal 31 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur UU.

Bagaimana keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia generasi muda bangsa terwujud jika materi muatan Pasal 5 ayat (2) huruf b,  f, g, h, l, dan m, seperti itu? Muatan itu juga bertentangan dengan hakikat pendidikan.

Dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan, pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai agama, kebudayaan nasional, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

 
Ke depan, alangkan baiknya, dalam penyusunan peraturan menteri, diundang ahli hukum, ahli pendidikan, tokoh agama, dan ahli lainnya. 
 
 

Elemen masyarakat mulai dari pendidik, tokoh agama, dan PT mendesak pemerintah mencabut dan membatalkan Pasal 5 ayat (2) huruf b,  f, g, h, l, dan m Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 karena membahayakan dunia pendidikan di Indonesia.

Sebelum ada upaya hukum dari para pihak melakukan uji materi muatan di atas pada Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, untuk dicabut dan dibatalkan, lebih baik Kemdendikbudristek mengkaji ulang dan revisi.

Ke depan, alangkan baiknya, dalam penyusunan peraturan menteri, diundang ahli hukum, ahli pendidikan, tokoh agama, dan ahli lainnya. Selain itu, adakan diskusi terbuka secara intens dengan berbagai kalangan untuk menampung aspirasi dalam pembentukan peraturan.

Publik sepakat, permendikbudristek di atas penting untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Namun, muatannya harus berbasis living law atau kebiasaan di masyarakat berlandaskan nilai agama dan budaya luhur bangsa.

Sehingga, peraturan yang diterbitkan mengakselerasi kebijakan pendidikan berkualitas, melahirkan legasi baik bagi generasi muda, menjaga moral bangsa, dan menjunjung muruah NKRI. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat