Warga binaan difabel mental menerima vaksin Covid-19 AstraZeneca dosis pertama di Yayasan Jambrud Biru, Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (4/8/2021). | Republika/Thoudy Badai

Opini

Difabel Mental dan Hukum

Salah satu tantangan serius ialah mengenali tingkat kesadaran tindakan difabel mental saat melakukan tindakan hukum.

M SYAFI'IE; Dosen FH UII, Peneliti Pusham UII dan SIGAB

Pandemi Covid-19 menghantui umat manusia. Ribuan orang meninggal.

Dampak lainnya bermunculan, salah satunya rasa cemas, takut, stres, dan depresi. Kemenkes mencatat, selama pandemi sampai Juni 2020, terdapat 277 ribu kasus kesehatan jiwa di Indonesia, meningkat dibanding pada 2019.

Pada 2021, WHO menjelang peringatan Hari Kesehatan Jiwa 10 Oktober merilis data, hampir 1 miliar orang atau satu dari tujuh manusia dunia terkena gangguan mental.

Data ini menggambarkan, pandemi dengan ragam masalahnya, seperti PHK, usaha ekonomi yang kolaps, informasi Covid-19 yang dramatis, dan beberapa kondisi eksternal lain mengakibatkan kekhawatiran berlebih.

Kondisi ini juga memperlihatkan, kesehatan jiwa menjadi penyebab membesarnya jumlah difabel mental. UU No 8 Tahun 2016 mendefinisikan, difabel mental sebagai orang yang terganggu fungsi pikir, emosi, dan perilakunya.

Antara lain, (a) psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian dan (b) disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, di antaranya autis dan hiperaktif.

 
Pada 2021, WHO menjelang peringatan Hari Kesehatan Jiwa 10 Oktober merilis data, hampir 1 miliar orang atau satu dari tujuh manusia dunia terkena gangguan mental.
 
 

Membesarnya jumlah difabel mental dengan ragam faktornya menjadi tantangan, khususnya bagaimana pemangku kebijakan memastikan interaksi sosial, partisipasi, layanan kesehatan, dan hak difabel mental terpenuhi.

Ada banyak sektor yang harus diperbaiki. Salah satu yang penulis ingin ulas ialah di bidang hukum. Saat difabel mental berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban, pelaku, dan atau saksi, proses hukum harapannya menjamin hak atas peradilan yang fair.

Tantangan hukum

Salah satu tantangan serius ialah mengenali tingkat kesadaran tindakan difabel mental saat melakukan tindakan hukum.

Difabel mental terkategori depresi dan bipolar mungkin mudah mengidentifikasi dan menilai pertanggungjawabannya, tetapi sulit kalau terkategori skizofrenia. Butuh ahli guna menilai tindakan seorang skizofrenia dalam kondisi relaps (kambuh) atau sadar.

Skizofrenia menurut ahli merupakan gangguan kejiwaan dalam jangka panjang, yang menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, delusi/wahana, kekacauan berpikir, dan memperlihatkan perubahan perilaku.

Saat relaps, penderita skizofrenia umumnya sulit membedakan kenyataan dengan pikiran lain yang menyelimutinya. Dalam kasus pidana, apakah seseorang yang skizofrenia bisa dimintai pertanggungjawaban hukum dan kapan bisa bertanggung jawab?

Pasal 44 ayat (1) KUHP berbunyi, “Tidak dapat dipidana barang siapa mengerjakan satu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.”

 
Tidak cukup jelas juga bagaimana mekanisme dan pengawasan pengampuan difabel mental, sehingga hak keperdataannya tidak tercederai.
 
 

Ketentuan ini dikenal dengan alasan pemaaf pelaku tindak pidana, karena dianggap kurang sempurna akalnya. Dalam kasus perdata, apakah seseorang skizofrenia, bipolar, anxietas, dan beberapa difabel mental lain dianggap cakap melakukan perbuatan hukum?

Merujuk Pasal 433 KUH Perdata yang berbunyi, “Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya...”

Bunyi pasal ini jelas menghilangkan kapasitas hukum difabel skizofrenia, bahkan difabel yang lebih luas. Tidak cukup jelas juga bagaimana mekanisme dan pengawasan pengampuan difabel mental, sehingga hak keperdataannya tidak tercederai.

Secara umum, substansi pasal KUHP dan KUH Perdata tidak selaras dengan UU No 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Dalam dua regulasi ini sangat tegas, difabel mental dengan ragam hambatannya memiliki legal capacity, diakui sebagai subjek hukum, harus diberlakukan setara di hadapan hukum, dan tidak boleh didiskriminasi dengan dasar disabilitasnya.

 
Dalam konteks kapasitas hukum, konsep yang dikembangkan saat ini ialah supported decision making, di mana difabel mental serta-merta dihilangkan kapasitas hukumnya, dengan jalan pengampuan yang tidak jelas kapan berakhirnya.
 
 

Pasal 12 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas menyatakan, negara wajib melangkah tepat menyediakan akses penyandang disabilitas terhadap bantuan, yang mungkin mereka perlukan dalam melaksanakan kapasitas hukum penyandang disabilitas.

Dalam konteks kapasitas hukum, konsep yang dikembangkan saat ini ialah supported decision making, di mana difabel mental serta-merta dihilangkan kapasitas hukumnya, dengan jalan pengampuan yang tidak jelas kapan berakhirnya.

Namun, difabel tersebut semestinya dibantu pihak tepercaya dalam membuat keputusan. Konsep supported decision making menjadi jalan keluar, di mana banyak difabel di Indonesia saat ini telah dimatikan hak-hak keperdataannya.

Tantangan lain saat difabel mental berhadapan dengan hukum ialah pada prosedur acaranya, di mana aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan harus memastikan pemenuhan akomodasi yang layak.

Persoalannya lanjutannya, bagaimana hukum acara yang diatur dalam peraturan pemerintah, harus dikembangkan ke dalam peraturan dan kebijakan internal institusi peradilan di Indonesia

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat