Menghabiskan hari dengan membaca buku. | DOK PXFUEL

Opini

Menyegarkan dan Menyemarakkan Perbukuan

Tokoh masyarakat harus menjadi pembaca dan mengajak orang banyak akrab dengan buku.

Jika mengakses sejumlah portal internet, akan ada banyak pengulas dan kritikus produk. Namun tak banyak orang menjadi kritikus dan pengulas buku. Kalau pun ada, konten berisikan kritik terhadap buku atau ulasan tentang hal itu tidak sampai ratusan ribu, apalagi jutaan viewer. Sudah pasti KO bila dihadapkan dengan konten pengulas atau pengkritik film, video musik, dan kuliner.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan konten ulasan buku tak begitu menarik. Pertama adalah tampilannya yang monoton. Audio visual yang ditampilkan kurang heboh, sehingga peselancar dunia maya kurang tertarik menyaksikannya.

Kedua, ulasan buku tidak menjadi sasaran pembuatan konten para tokoh dan selebritis. Mereka lebih mengedepankan konten gaya hidup, prank, kuliner, fesyen, dan pergaulan.

Faktor ketiga, bisa jadi disebabkan karena minat baca masyarakat Indonesia rendah berdasarkan riset yang sudah dilakukan. Meskipun riset itu hanya menggambarkan secuil fenomena perbukuan di negeri ini. Dan bisa jadi, riset semacam ini tidak seirama dengan data penjualan buku yang dipegang para penerbit. Mereka tumbuh dengan penjualan produk yang luar biasa banyak. 

Sebagai gambaran, pada era 2000-an, dunia perbukuan dihebohkan dengan Ayat - Ayat Cinta karangan Habiburrahman Syairazi (Kang Abik). Ini adalah novel yang luar biasa menjadi pembicaraan di banyak kalangan. Bahkan saat mengantre mandi pun, banyak santri di berbagai pesantren yang membaca buku tersebut. Ini adalah novel bergenre keislaman yang mendadak membetot perhatian publik. Mungkin karena locus yang diceritakan adalah Mesir, negeri para penguasa kuno dan basis banyak budaya, sehingga menjadi menarik.

Novel dengan genre yang sama sudah terbit beberapa dekade sebelumnya, yaitu Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, karya Hamka, yang menceritakan pengembaraan Zainudin. Tapi buku ini tak seheboh Ayat - Ayat Cinta

Buku La Tahzan karangan Aidh al-Qarni juga menjadi ulasan di banyak media massa. Juga menjadi bacaan banyak orang. Juga memuat cerita dan nasihat motivasi yang menyentuh hati. Hadir di tengah kehidupan masyarakat yang dijejali dengan banyak hal keduniaan sehingga bosan, bahkan cemas. Dalam konteks ini, La Tahzan mendapatkan momentumnya: menjadi oase di tengah kegersangan motivasi keagamaan, sehingga banyak dicari.

Sekarang ini sebenarnya ada banyak buku yang menarik dibaca. Penulis fiksi terkenal seperti Tere Liye, Asma Nadia, dan lainnya, selalu menghasilkan karya yang menarik. Namun ulasan tentang buku-buku terkini, seperti yang mereka hasilkan, tidak menjadi perhatian media arus utama. Di media sosial, pembicaraan seputar buku berlangsung terbatas. Tidak sampai menjadi isu panas. 

Ini diperparah dengan kebiasaan baru masyarakat untuk menikmati konten audio visual dan membaca konten digital dangkal yang tersebar di banyak portal internet. Dalam kesempatan tertentu, interaksi keluarga pun menjadi berkurang, meski orang tua dan anak sudah duduk dan bertemu di satu meja, karena keasyikan mengakses media sosial. 

Kalau terus dibiarkan, maka bangsa ini akan semakin jauh dari buku. Berpikirnya dangkal: gagal memahami segala hal secara holistik. Ilmu pengetahuan semakin jauh dari kehidupan: tak ada inovasi dan kreasi berharga untuk kemajuan. Masyarakat tidak produktif, tapi malah konsumtif, karena gagal mengambil ibrah dari masa lalu yang banyak tertulis dalam lembaran buku. 

Idealisme menjadi mati. Tak ada cita-cita luhur, sehingga kehidupan hanya dijalankan seadanya. Apabila kondisi demikian terjadi, maka bangsa ini akan tak mendapatkan tempat di mata dunia: terpinggirkan, terkucilkan, bahkan keberadaannya tak dianggap.

Untuk mencegah kehancuran semacam itu, harus ada upaya penguatan ekosistem perbukuan. Di dalamnya terdapat penulis yang menuangkan pemikirannya dalam lembaran ilmu. Kemudian ada penerbit yang memastikan buku memang layak diedarkan. Penerbit memoles suatu karya menjadi lebih enak dibaca, kemudian disebarluaskan. Ada agen buku atau reseller yang memainkan gimik menarik dalam penjualan buku, seperti mengumbar diskon, membuat diskusi buku, dan menyediakan aksesoris gratis bagi pembeli buku.

Berikutnya adalah komunitas buku. Di dalamnya ada pembaca, pengulas, dan pengkritik buku. Ini jumlahnya belum banyak. Mereka memerlukan dukungan banyak pihak agar buku menjadi pembicaraan dan diskusi mulai dari warung kopi, angkringan, kafe, ballroom hotel, kantor kementerian, sampai Istana Negara. 

Presiden dan para pembantunya harus tampil sebagai teladan pembaca buku. Sempatkan diri untuk membaca buku, meski hanya sepuluh menit sebelum memulai aktivitas kenegaraan. Atau kalau tidak sempat membaca, paling tidak membawa buku ketika rapat kabinet atau kunjungan kerja ke masyarakat. Kemudian tunjukkan buku yang dibawa, sebentar saja berbicara tentang itu.

“Sebelum memulai rapat, saya ingin menunjukkan buku ini...saya dapat buku ini dari seorang teman yang banyak berbicara tentang ekonomi dunia yang mengalami disrupsi begitu luar biasa. Buku ini mengupas solusi jitu menghadapi disrupsi semacam itu.” Begitu misalkan pembicaraan yang terlontar sehingga memotivasi banyak orang, mulai dari menteri, staf kepresidenan, paspampres, sampai masyarakat luas. 

Mahmud Ahmadinejad, Presiden Iran 2005-2013 adalah contoh pemimpin yang gemar membaca buku. Kalau menghadiri kunjungan kenegaraan, dia akan datang dengan membaur, menyapa, berbicara, dan membuat kesepakatan. Setelah itu, dia akan menyempatkan diri berkumpul dalam ruangan tertutup untuk berbicara tentang falsafah berdasarkan hasil bacaannya.

Barrack Obama, Presiden Amerika Serikat ke-44 menghabiskan setidaknya satu jam untuk membaca buku sebelum tidur. Selepas lelah menjalankan aktivitas kepresidenan, aktivitas yang asyik menurutnya adalah membaca buku, karena mencas ‘energi’ pikiran dengan pengetahuan yang segar.

Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16 adalah penikmat buku. Salah satu lukisan tentangnya mengilustrasikan Lincoln membaca buku dan menjelaskan isinya kepada seorang anak. “Kenikmatan membaca buku membukakan jalan baru kepada kita, yaitu jalan yang dilewati orang-orang hebat,” kata dia.

Presiden Sukarno, proklamator Indonesia adalah pembaca buku yang hebat. Pada 2020 koleksi bukunya dipamerkan kepada khalayak. Di antara buku yang dibacanya adalah Der Weg Zur Macht (Jalan Menuju Kekuasaan) karya tokoh kiri Jerman, Karl Kautsky. Lainnya adalah Geschiedenis van het Moderne Imperialisme yang ditulis Jan Steffen Bartstra

Kepala daerah, pebisnis, pimpinan perusahaan, kepala sekolah, ketua RT/RW, juga harus tampil sebagai pembaca buku. Bawa dan baca buku di depan publik, sehingga warga termotivasi untuk membaca karya orang-orang hebat.

Belum lama ini, sekelompok kecil penikmat buku berkumpul dalam forum Jakarta Book Review (JBR). Ini adalah wadah berkumpulnya para pemangku kepentingan buku: mulai dari penulis, penerbit, editor, penjual, dan pembaca buku. Forum ini mengharapkan banyak orang menikmati dan terinspirasi dari buku, seperti para pemimpin dunia di atas. Banyak orang menjadi suka membaca buku: membicarakan isi buku dalam banyak perbincangan di banyak kesempatan.

Seperti itulah ikhtiar untuk melestarikan ekosistem perbukuan, memasok ilmu dan inspirasi yang merupakan nafas bangsa dan peradaban. Sebuah ikhtiar idaman, yang harus berkesinambungan dan dikembangkan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat