Taman Alun-alun Kota Bandung, kembali ramai pengunjung, Ahad (31/10). | Edi Yusuf/Republika

Resonansi

Sudan, Duh Sudan, 16 Kali Kudeta Militer

Sudan, duh Sudan. Sejak kemerdekaan, Sudan sedikitnya mengalami 16 kali kudeta milter.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Kasihan betul rakyat Sudan, sekira 42 juta jiwa. Negara mereka sebenarnya kaya. Ada minyak dan gas.

Tanah pertaniannya subur, terutama di daerah sepanjang Sungai Nil—dari hulu di perbatasan dengan Ethiopia (tenggara) hingga ke hilir di perbatasan dengan Mesir (utara).

Peternakan juga sangat potensial, khususnya unta (jenis sembelihan), diekspor ke negara-negara Arab, terutama ke Arab Saudi sebagai hewan kurban selama musim haji. Sayangnya, kekayaan itu tak bisa dikelola baik karena penguasa disibukkan perebutan kekuasaan.

Sejak merdeka dari Inggris tahun 1956, Sudan — berbatasan dengan Mesir di utara, Laut Merah di timur laut, Eritrea di timur, Ethiopia di tenggara, Afrika Tengah di barat daya, Chad di barat, Libia di barat laut, dan Sudan Selatan di selatan — diwarnai kudeta.

Sudan, duh Sudan. Sejak kemerdekaan, Sudan sedikitnya mengalami 16 kali kudeta milter. Kudeta, mengantarkan beberapa jenderal menjadi penguasa diktator-otoriter yang cukup lama.

Semisal, Jenderal Jaafar Nimeiri (1969–1985) dan Jenderal Omar Hasan Bashir (1989–2019). Bahkan kekuasaan Jenderal Bashir yang 30 tahun, bisa jadi lebih lama dari kekuasaan para raja di negara-negara Arab.

Kudeta terbaru, Senin (25/10/2021), dipimpin Jenderal Abdul Fattah Burhan, 61 tahun. Ia mengambil alih kekuasaan, membubarkan Dewan Kedaulatan Sipil dan pemerintahan PM Abdullah Hamdok, serta menetapkan keadaan darurat.

 
Sejak kemerdekaan, Sudan sedikitnya mengalami 16 kali kudeta milter. 
 
 

Jenderal Burhan sebenarnya pemimpin Dewan Kedaulatan Sipil yang merupakan pemimpin tertinggi negara selama periode transisi, setelah menggulingkan rezim Presiden Omar Bashir pada 2019.

Masa transisi berlaku 39 bulan sejak ditandatangani pada 20 Agustus 2021 hingga ada presiden baru hasil pemilihan umum. Sebelum memimpin kudeta, nama Jenderal Abdul Fattah Burhan sebenarnya sangat harum.

Jenderal kelahiran 1960 ini bisa dikatakan penyelamat Sudan selama masa krisis politik untuk mengakhiri kekuasaan 30 tahun Presiden Omar Bashir, setelah berbulan-bulan terjadi aksi unjuk rasa menentang kekuasaan rezim diktator otoriter itu.

Ia bersama beberapa jenderal membentuk Dewan Transisi Militer dan mengambil alih kekuasaan dari Presiden Bashir. Pembentukan Dewan Militer memunculkan kekhawatiran terutama tokoh demonstran yang menghendaki kepemimpinan sipil.

Mantan inspektur jenderal Angkatan Bersenjata dan Kepala Staf Angkatan Darat ini, memimpin perundingan dengan pemimpin demonstran dan tokoh oposisi. Pada 20 Agustus 2021, disepakati Dewan Kedaulatan Sipil sebagai pengganti Dewan Militer.

 
Dewan Kedaulatan Sipil pemegang kekuasaan tertinggi negara, beranggotakan 11 orang yakni lima militer dan enam sipil.
 
 

Dewan Kedaulatan Sipil pemegang kekuasaan tertinggi negara, beranggotakan 11 orang yakni lima militer dan enam sipil. Belakangan, 4 Februari 2021, anggota Dewan Sipil bertambah empat orang jadi 14 anggota.

Empat anggota ini dari ‘gerakan perjuangan bersenjata’ yang bergabung dengan pemerintah setelah menandatangani perjanjian damai pada 3 Oktober 2020. Anggota Dewan Sipil mewakili seluruh kelompok di Sudan, termasuk perempuan dan agama Kristen.

Untuk mejalankan pemerintahan, Dewan menunjuk PM lalu PM memilih 20 menteri. Menteri sipil disiapkan oposisi. Hanya menteri pertahanan dan dalam negeri yang harus dari militer. Dewan Sipil juga membentuk parlemen beranggotakan 300 orang.

Sebanyak 67 persen anggotanya dari kelompok oposisi, sisanya berbagai kekuatan politik tak terkait rezim terguling Presiden Omar Bashir. Dari jumlah itu, 40 persen untuk perempuan.

Dewan Kedaulatan Sipil menunjuk Abdullah Hamdok sebagai PM selama masa transisi. Ia dilantik pada 21 Agustus 2019. Pria kelahiran 1 Januari 1956 ini dikenal sebagai administrator publik andal.

 
Dewan Kedaulatan Sipil menunjuk Abdullah Hamdok sebagai PM selama masa transisi.
 
 

Dari November 2011 hingga Oktober 2018, ia Wakil Sekretaris Eksekutif UNECA (United Nations Economic Commission for Africa). Senin lalu, Hamdok ditangkap sekelompok orang berpakaian militer dan bersenjata.

Ini berbarengan dengan pengumuman pengambilalihan kekuasaan negara oleh militer. Dalam pengumuman berikutnya, Hamdok dipecat dan pemerintahannya dibubarkan.

Kini adu kekuatan berlangsung di Sudan, antara militer dan sipil yang tiap hari turun ke jalan berunjuk rasa. Sebenarnya wajar, akibat warisan buruk yang panjang dari rezim Jenderal Bashir, masyarakat Sudan berbeda pandangan di antara mereka sendiri.

Misalnya tentang pemerintahan Sudan ke depan. Pemerintahan PM Abdullah Hamdok dalam waktu singkat sebetulnya menunjukkan kemajuan pesat melebihi harapan. Baik dalam menangani sanksi internasional, utang negara, dan perang warisan rezim Bashir.

 
Kini adu kekuatan berlangsung di Sudan, antara militer dan sipil yang tiap hari turun ke jalan berunjuk rasa.
 
 

Sayangnya, transisi kekuasaan tak mulus. Militer dan sipil atau antarkelompok sipil diliputi kecurigaan.

Puncaknya, kudeta militer yang dipimpin Jenderal Burhan, sepekan lalu. Kelompok sipil tampaknya ingin terus memaksakan solusi politik dengan kekuatan massa di jalan-jalan. Sebaliknya, militer menghadapi kekuatan massa dengan bedil.

Kini, sudah lebih dari 10 warga meninggal dunia dan ratusan lainnya luka-luka diterjang peluruh militer. Lantas, kekuasaan itu sebenarnya untuk siapa? n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat