Oni Sahroni | Daan Yahya | Republika

Konsultasi Syariah

Hak Belanja Istri

Istri memiliki hak belanja istri yang harus dipenuhi oleh suami.

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Bagaimana Islam mengatur nafkah yang menjadi kewajiban suami? Apakah seorang istri ada hak belanja untuk kebutuhan pribadinya? Mohon penjelasan ustaz! -- Zahra, Bogor

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Pertama, istri memiliki hak belanja istri (uang saku istri) yang harus dipenuhi oleh suami saat mampu memenuhinya dan setelah kebutuhan dasar keluarga terpenuhi. Hal ini sebagaimana tuntunan Alquran, hadis Rasulullah SAW, dan pandangan ahli hadis.

Di antaranya firman Allah SWT, “...dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf...”. (QS al-Baqarah: 233).

Selain itu, terdapat hadis Rasulullah SAW, “...dan hak mereka (istri-istri) atas kalian adalah menafkahi mereka dan menyandangi mereka dengan cara-cara yang baik”. (HR Muslim).

Nafkah dalam kedua nash tersebut bersifat umum meliputi kebutuhan asasi keluarga dan kebutuhan istri dan suami sebagai personal. Sudah menjadi kelaziman, hak belanja dan uang saku istri bagian dari kebutuhannya.

Kedua, tidak ada angka minimal dan spesifik besaran uang saku istri yang harus disediakan. Hal tersebut merujuk pada kemampuan dan kelaziman masyarakat. Sebagaimana tuntunan nash, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang Allah berikan kepadanya...” (QS ath-Thalaq : 7).

Ma’ruf dalam nash tersebut adalah tradisi/kelaziman yang mungkin berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya, tak terkecuali dengan besaran hak belanja istri.

Sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah Az-Zuhayli, “Istri memiliki hak atas materi berupa mahar dan nafkah; dan hak nonmateri berupa perlakuan yang baik, interaksi yang menyenangkan, dan keadilan.” (Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuh, 7/327).

Sebagaimana regulasi terkait, “Suami memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.” (UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 34, ayat 1 dan 2).

Peraturan perundang-undangan menjelaskan lebih detail, “Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak, serta biaya pendidikan bagi anak.” (KHI Pasal 80 ayat 2 dan 4).

Ketiga, bermusyawarah. Apa saja daftar kebutuhan asasi yang harus dipenuhi, apakah uang saku pribadi istri itu termasuk dalam komponen kebutuhan mendesak, berapa alokasi uang belanja untuk kebutuhan pribadi istri, semua itu didasarkan pada musyawarah antar suami dan istri.

Saling memahami dan saling merelakan antar suami dan istri untuk menentukan kebutuhan finansial itu menjadi adab terbaik seorang suami dan istri.

Keempat, dalam kondisi tertentu dan bagi sebagian orang, menemukan kondisi ideal sesuai keinginan tidak mudah dilakukan. Begitu pula pada praktiknya, apakah istri berhak atas uang belanja pribadi atau tidak itu sangat terkait dengan penganggaran dan kemampuan suami. Jika alokasi anggaran dan dananya tersedia serta suami mampu menyediakannya, maka ada diskusi apakah istri berhak atas uang belanja pribadi atau tidak.

Tetapi jika anggaran dan dananya tidak tersedia atau jika suami tidak bisa memenuhi kebutuhan finansial tersebut, baik karena keterbatasan pendapatan atau besarnya tanggung jawab nafkah, maka sesungguhnya Allah SWT tidak membebani hambanya di luar kemampuannya selama telah berikhtiar maksimal.

Kelima, qanaah dan syukur. Dalam kondisi di mana kemampuan suami atau kemampuan suami dan ihsan (istri) dalam menyediakan nafkah keluarga itu terbatas, tetapi sudah ditunaikan dengan maksimal dan proporsional, maka istri dan suami menerima nafkah itu dengan penuh rasa syukur.

Dengan memenuhi kewajiban secara maksimal, tapi lapang dada dan merelakan hak agar tepat dan adil itu menjadi pilihan utama. Wallahu a’lam.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat