Warga memblokade jalan menuntut transisi ke pemerintahan sipil di Karthoum, Sudan, Senin (25/10/2021). Militer Sudan nekat kudeta karena DK PBB tak tegas menyikapi kudeta di berbagai negara. | AP Photo/NNS

Opini

Sudan Akhiri Arab Spring

Militer Sudan nekat kudeta karena DK PBB tak tegas menyikapi kudeta di berbagai negara.

SMITH ALHADAR, Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)

Persis tiga bulan setelah kudeta di Tunisia, negara Arab di Afrika Utara, pada 25 Oktober silam militer Sudan, negara Arab di Afrika timur laut, yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah al-Burhan mengudeta pemerintahan transisi di bawah perdana menteri sipil.

Dinamika politik di dua negara ini, mengakhiri cita-cita Arab Spring mendirikan sistem demokrasi di negara-negara Arab yang bermula di Tunisia pada 2011.

Revolusi musim semi di Tunisia, yang berujung kejatuhan rezim diktator pimpinan Presiden Zain El-Abidin Ben Ali, sempat menyapu beberapa negara Arab bagai angin puyuh. Rezim diktator di Mesir, Libya, dan Yaman pun bertumbangan.

Sedangkan rezim Suriah di bawah Presiden Bashar al-Assad harus menghadapi pemberontakan rakyat sampai hari ini.

 
Dinamika politik di dua negara ini, mengakhiri cita-cita Arab Spring mendirikan sistem demokrasi di negara-negara Arab yang bermula di Tunisia pada 2011.
 
 

Arab Spring di Sudan dimulai pada akhir 2018 ketika junta militer di bawah Presiden Omar al-Bashir yang korup menaikkan harga bahan pokok hingga tiga kali lipat saat negara kekurangan devisa, inflasi melejit hingga 70 persen, dan kemiskinan meningkat drastis.

Rakyat di berbagai kota turun ke jalan. Seiring waktu, rakyat menuntut pemakzulan al-Bashir dan reformasi menuju demokrasi. Melihat al-Bashir tak dapat dipertahankan dan demi meredakan demonstrasi, pada April 2019 militer mencopot diktator itu.

Langkah selanjutnya, membentuk Dewan Kedaulatan Transisi, beranggotakan 11 orang dari sipil dan militer, serta pendirian pemerintahan transisi di bawah perdana menteri sipil Abdalla Hamdok, sampai pemilu dilaksanakan pada Juli 2023.

Agar bisa ke luar dari sanksi AS demi mendapat bantuan ekonomi internasional, Dewan Kedaulatan Transisi pada 2020 memulihkan hubungan diplomatik dengan Israel – mengikuti UEA, Bahrain, dan Maroko -- dengan mediasi AS di bawah pemerintahan Donald Trump.

Trump mencabut Sudan dari daftar negara sponsor terorisme untuk memungkinkan bantuan ekonomi diberikan. Namun, pertikaian politik antara militer dan sipil di Sudan terus berlangsung dan memuncak pada pekan-pekan terakhir ini.

 
Trump mencabut Sudan dari daftar negara sponsor terorisme untuk memungkinkan bantuan ekonomi diberikan. Namun, pertikaian politik antara militer dan sipil di Sudan terus berlangsung dan memuncak pada pekan-pekan terakhir ini.
 
 

Pertikaian terutama pada arah dan kecepatan transisi. Pada saat sama, ketegangan Kekuatan untuk Kebebasan dan Perubahan atau FFC (aliansi kelompok yang mengorganisasikan demonstrasi melawan rezim al-Bashir) memuncak.

Beberapa faksi ke luar dari koalisi dan menyatukan kekuatan untuk membentuk Piagam Kesepakatan Nasional yang baru. Anggota yang keluar dari FFC mengeluh tentang marginalisasi terhadap mereka dan kekuasaan dimonopoli partai politik utama.

Yakni, Partai Kongres Sudan, Partai Umma, Partai Baath Sosialis Arab, serta Region Sudan dan Perkumpulan Federal. Gerakan Tentara Pembebasan Sudan Mini Minawi dari Darfur, kelompok membelot, merasa empat partai itu mengambil segalanya dari mereka.

Faksi yang membelot itu dan pendukungnya termasuk kaum Islamis dan loyalis al-Bashir – yang diduga kuat disponsori militer -- menuntut pembubabaran pemerintahan dan pembentukan pemerintahan baru pimpinan para teknokrat.

Selain itu, ada ketidaksetujuan mereka dengan FFC tentang Komite untuk Membongkar Rezim 30 Juni 1989 dan Pengusutan Dana Publik, gugus tugas yang didirikan untuk mendapatkan kembali aset-aset yang mengalir ke al-Bashir dan sejawatnya.    

 
Alasan lebih masuk akal adalah ketidakrelaan militer menerapkan sistem demokrasi. Alasan lain militer Sudan melancarkan kudeta adalah sikap lunak komunitas internasional terhadap kudeta di Tunisia.
 
 

Saat krisis inilah militer melancarkan kudeta. Al-Burhan beralasan, demi menyelamatkan Sudan dari potensi perang saudara. Tapi alasan ini sulit diterima karena yang mendukung kudeta adalah organisasi-organisasi yang tidak populer.

Alasan lebih masuk akal adalah ketidakrelaan militer menerapkan sistem demokrasi. Alasan lain militer Sudan melancarkan kudeta adalah sikap lunak komunitas internasional terhadap kudeta di Tunisia.

Pada 25 Juli silam, Presiden Tunisia Kais Saied mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan demokratis dengan menahan perdana menterinya, membubarkan parlemen, dan mencabut kekebalan anggotanya.

Memang pada awalnya komunitas internasional, khususnya AS, Uni Eropa, Inggris, dan Uni Afrika, prihatin atas kudeta itu. Mereka menuntut Saied kembali ke sistem demokrasi tetapi tak disertai sanksi kendati Saied tak menggubris tuntutan mereka.

Di Mesir pada 2013 Arab Spring juga tak membawa hasil sesuai harapan rakyat ketika militer di bawah Jenderal Abdel Fattah el-Sisi mengudeta pemerintahan Presiden Mohammad Mursi dari Ikhwanul Muslimin hasil pemilu demokratis pascajatuhnya Husni Mubarak.

 
Kudeta di Mesir tak berdampak apa-apa. Malah, diam-diam Barat mendukungnya.
 
 

Kudeta di Mesir tak berdampak apa-apa. Malah, diam-diam Barat mendukungnya.

Sekjen PBB Antonio Guterres melihat, militer Sudan nekat kudeta karena DK PBB tak tegas menyikapi kudeta di berbagai negara di masa pandemi ini, seperti di Myanmar, Mali, dan Tunisia.

Bagaimanapun, kudeta di Sudan mendapat kecaman dari komunitas internasionaldisertai sanksi ekonomi dari AS, IMF, dan Bank Dunia menutup akses untuk Sudan. Maka, militer Sudan menggali lubang untuk menjerumuskan bangsanya sendiri.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat