Hakim MK menjalankan sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (23/9/2021). | ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/hp.

Nasional

Tolak Gugatan UU ITE, Hakim MK Beda Pendapat

Pasal 40 ayat 2b UU ITE dinilai merugikan jurnalis dan perusahaan media siber.

JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (UU ITE). Gugatan ini diajukan warga Jayapura, Papua, bernama Arnolds Belau dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) terhadap pasal 40 ayat 2b mengenai pemutusan internet.

"Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan perkara nomor 81/PUU-XVIII/2020, Rabu (27/10).

Pasal 40 ayat 2b UU ITE berbunyi, "Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum."

Dalam pertimbangannya, MK menolak dalil pemohon yang menyebut pasal pemutusan internet di UU ITE bertentangan dengan prinsip negara hukum. MK berpendapat, pemerintah berwenang melakukan hal itu sebagai bentuk pencegahan atas penyebarluasan dan penggunaan informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan dilarang sesuai ketentuan perundangan-undangan.

MK juga menyatakan dalil pemohon yang menyebutkan pemutusan akses tanpa didahului dengan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) secara tertulis merugikan hak konstitusional untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum.

Menurut MK, tidak mungkin bagi pemerintah untuk menerbitkan KTUN sebelum pemutusan akses karena konten dalam internet tersebar dengan cepat di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja.

Namun, dua hakim MK yakni Suhartoyo dan Saldi Isra memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion perihal pengujian UU ITE tersebut. Saldi menuturkan, prosedur pemutusan akses dan/atau memerintahkan pemutusan akses harus memperhatikan hak-hak atas informasi setiap warga negara sebagai salah satu hak asasi manusia (HAM).

Dalam konteks itu meski memiliki wewenang, prosedur yang mesti ditempuh pemerintah dalam melakukan pemutusan akses harus pula diatur secara pasti. Hal ini demi mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang.

Saldi mengatakan, dalam norma pasal 40 ayat 2b UU ITE sama sekali tidak termuat adanya prosedur yang harus dilakukan pemerintah dalam melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan pemutusan akses. Padahal dalam batas penalaran yang wajar, wewenang yang diberikan dalam norma tersebut kepada pemerintah adalah menyangkut atau berdampak pada pembatasan HAM atau hak konstitusional warga negara sehingga seharusnya juga diatur secara jelas.

Saldi pun menuturkan, seharusnya MK menyatakan pasal 40 ayat 2b UU ITE adalah konstitusional sepanjang dimaknai, "Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum setelah mengeluarkan atau disertai penjelasan tertulis atau digital."

"Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas seharusnya permohonan pemohon dinyatakan beralasan menurut hukum untuk sebagian," kata Saldi.

photo
Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) melakukan aksi kritisi Kabinet Indonesia Maju bertajuk September Hitam di Titik Nol Km, Yogyakarta, Kamis (30/9/2021). Dalam aksi itu mereka menuntut Kabinet Indonesia Maju agar segera menerbitkan PERPPU KPK dan membatalkan asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), menghentikan pelanggaran HAM terhadap massa aksi, dan menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, serta mencabut pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE yang mengancam kebebasan bereskpresi dan berpendapat. - (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim mengaku masih mempelajari putusan MK yang menolak permohonan uji materi UU ITE. Di sisi lain, menurut dia, adanya dissenting opinion atau pendapat berbeda dua hakim menjadi bukti adanya persoalan ketentuan Pasal 40 ayat 2b UU ITE.

"Dua pendapat hakim yang berbeda Pak Saldi Isra dan Pak Suhartoyo itu membuktikan memang ada persoalan dalam Pasal 40 ayat 2b UU ITE yang AJI gugat ke MK," ujar Sasmito dalam konferensi pers daring, Rabu (27/10).

Menurut AJI, selaku salah satu pemohon, pelaksanaan ketentuan Pasal 40 ayat 2b UU ITE belum jelas. Dalam dalil gugatannya, para pemohon meminta pemerintah memberi penjelasan tertulis berupa KTUN sebelum melakukan pemutusan akses dan/atau perintah pemutusan akses informasi elektronik.

Sasmito mengatakan, KTUN tersebut menjelaskan secara pasti dasar-dasar dari pemblokiran konten internet yang dimaksud. Pemerintah justru tidak bisa menjawab latar belakang pemblokiran konten dan alasan dasar konten itu dianggap bermuatan negatif.

"Tidak hanya notifikasi atau pemberitahuan, bahkan notifikasi saja enggak ada," kata Sasmito.

Dia menjelaskan, hal ini tentu merugikan bagi jurnalis dan perusahaan media terutama siber. Pemblokiran konten tanpa penjelasan yang masuk akal dan transparansi terhadap Suara Papua beberapa waktu lalu, bisa saja dialami media massa lainnya di kemudian hari. "Ini sangat rentan disalahgunakan kewenangannya," tutur Sasmito.  

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat