Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Saat Merah Putih tak Berkibar

Mengapa begitu sulit bertindak tanpa menanti peristiwa buruk yang memakan korban terjadi?

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Seorang sahabat mengomentari jalan berlubang di dekat rumahnya yang bertahun-tahun tidak diperbaiki.

“Kalau belum ada korban, begitulah.”

 Seolah pengurus ruang publik tidak berminat menjalankan prinsip kehati-hatian. Walau kenyataannya, seolah demikian.  

Lubang selokan di belokan tajam di jalan utama rumahnya,  awalnya tak seberapa namun kian lama kian menganga. Uniknya setelah  terlantar berkepanjangan, suatu hari kami menemukan lubang tersebut mendadak tertutup rapat. Usut punya usut  sehari sebelumnya  roda depan sebuah truk masuk,  dan menimbulkan kemacetan berjam-jam. Untung  saja tidak memakan korban.

Sahabat saya langsung mengukuhkan kesimpulannya, 

“Harus ada kejadian dulu, kan?”

Sulit untuk tidak bersepakat sebab kenyataannya di beberapa tempat, di mana terdapat kerusakan jalan, perbaikan spontan dilakukan begitu terjadi kecelakaan dan korban jatuh.

 
Menunggu ada pengemudi  lengah yang  menabrak tiang, sebelum melakukan tindakan? Semoga tidak. Tapi ketika hal ini saya utarakan, sahabat saya menghela napas panjang.
 
 

Lubang hanya satu contoh.  Jika saya menempuh perjalanan dari rumah menuju  pusat kota, ada hal lain yang mendetakkan keheranan. Sebuah tiang besi yang berada setengah meter di tengah jalan. Awalnya posisi tiang berada dipinggir, tapi pelebaran jalan yang dilakukan beberapa tahun membuat tiang tersebut kini tegak agak ke tengah. Entah kenapa hanya tiang itu sendiri yang hingga tiga atau mungkin lima tahun keberadaannya- tidak kunjung digeser atau dipindah. 

Menunggu ada pengemudi  lengah yang  menabrak tiang, sebelum melakukan tindakan? Semoga tidak. Tapi ketika hal ini saya utarakan, sahabat saya menghela napas panjang.

Sebelum tiang, saya pernah menemukan selokan yang menjorok setengah meter ke tengah jalan hingga jika ada pengendara motor lalai, sangat mungkin roda motornya masuk yang berakibat  pengendaranya akan terpental. 

Sampai saat ini memang belum—terjadi—sekali lagi berdoa, semoga tidak. Namun, membiarkan celah yang membuka ruang bahaya bagi pengguna jalan jelas satu kesalahan. Apalagi sebuah peristiwa nahas tidak seharusnya menjadi sesuatu yang ditunggu.

Seringnya menemukan hal-hal seperti ini membuat saya tercenung. Berharap kebiasaan membiarkan saat seharusnya bersegera melakukan sesuatu- tidak mencerminkan wajah masyarakat kita keseluruhan. 

Mengapa begitu sulit bertindak tanpa menanti peristiwa buruk yang memakan korban terjadi? Jika ini terus berlangsung, lalu bagaimana membangun semangat dan kemampuan untuk mengantisipasi atau memprediksi sesuatu jauh-jauh hari?

Padahal pelajaran hebat tersemat pada bilangan waktu yang berlintasan. Seperti pernah terjadi saat bendungan retak. Kebiasaan menunda, dan membiarkan- tidak gegas memperbaiki - kemudian menimbulkan musibah dahsyat. Bendungan  jebol dan memakan nyawa tak sedikit. Setelahnya pihak terkait baru panik dan bergerak cepat memeriksa semua bendungan yang ada.  

 
Mengapa begitu sulit bertindak tanpa menanti peristiwa buruk yang memakan korban terjadi? 
 
 

Pola menanti  korban jatuh dulu baru bertindak,  sudah merupakan  kesalahan. Namun ada yang lebih fatal. Tak jarang, meski hal buruk sudah terjadi pun,  penanggungjawab publik tidak kunjung mengambil pelajaran.

Seperti saat seorang tokoh nasional meninggal akibat motornya masuk ke lubang yang dalam di Jawa Timur. Bertahun-tahun setelah kejadian, masih banyak lubang bertebaran. Saking banyaknya tercetus julukan jalan seribu lubang. 

Sebelum pandemi, hampir tiap tahun marak berita tentang pelajar atau mahasiswa yang menjadi korban kekerasan saat  penerimaan siswa atau mahasiswa, namun dari tahun ke tahun tidak banyak perubahan. Hanya dua tahun terakhir, nihil korban dari ‘budaya’ ini – sebab siswa dan mahasiswa baru seluruhnya ditatar secara daring. 

Baru-baru ini, belasan siswi tewas saat melakukan kegiatan susur sungai. Padahal berita banjir bandang dan pelajar yang menjemput ajal saat melakukan kegiatan serupa telah berkali kali jatuh. Terbayang kesedihan belasan keluarga; ayah, bunda, saudara, dan keluarga besar yang kehilangan. 

Peristiwa duka lain terkait TKI yang diperlakukan semena-mena di negeri orang. Termasuk ABK yang menjemput ajal di kapal asing menjadi fenomena  memilukan yang sering diberitakan.

Apakah begitu bebalnya anak bangsa saat ini hingga tidak belajar? Tidak juga tergerak memberikan perlindungan yang dibutuhkan, meski nyawa berjatuhan?  Sampai kapan?

Seolah tak henti berita tak mengenakan hingga berbau duka mengalir, hanya karena sikap santai, abai dan kecenderungan membiarkan.

 
Seolah tak henti berita tak mengenakan hingga berbau duka mengalir, hanya karena sikap santai, abai  dan kecenderungan membiarkan.
 
 

Terbaru, insiden yang justru terjadi di tengah  perayaan. Setelah 19 tahun menunggu, rakyat dengan bangga akhirnya menyaksikan kemenangan putra bangsa memboyong piala Thomas. Bangga menyaksikan bendera merah putih berkibar lagi. 

Merah putih berkibar di kancah internasional?  Seharusnya, begitu.  Tetapi   kenyataannya  sang merah putih dilarang berkibar di Ceres Arena, Aarhus, Denmark, sekalipun Indonesia menyabet  juara pertama. 

Badan Antidoping Dunia (WADA) melarang Indonesia mengibarkan bendera di ajang internasional akibat kelalaian lembaga antidoping nasional. Celakanya, teguran buat Indonesia  bukan pertama kali. Mantan Ketua LADI (Lembaga Anti Doping Indonesia) Zaini Khadafi Saragih menyatakan pada 2013 sebetulnya masalah seperti ini sudah muncul, tapi tidak seramai sekarang.

Mantan menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo menyebut World Antidoping Agency juga pernah mengirimkan peringatan ke Indonesia pada tahun 2017 atau empat tahun lalu menjelang Asian Games. 

Sedihnya, alih-alih memperbaiki diri, kita menunggu hingga terjadi insiden memilukan kalau tidak ingin disebut memalukan. Tiba tiba saja saya teringat sebuah kalimat bijak: Orang bodoh, tidak belajar dari kesalahan. Orang pintar belajar dari kesalahan. Orang bijak belajar dari kesalahan orang lain. 

Jawab sendiri di mana posisi kita saat ini.  

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat