Mujadid
KH Ma’shum Sufyan, Sang Pendidik dari Gresik
Pakar ilmu tahfiz Alquran ini merupakan pendiri Pondok Pesantren Ihyaul Ulum.
OLEH MUHYIDDIN
Gresik merupakan salah satu daerah yang kuat akar keislamannya di Indonesia. Kabupaten di Jawa Timur itu memunculkan banyak alim ulama, setidaknya sejak era Maulana Malik Ibrahim alias Sunan Gresik, seorang Wali Songo. Dakwah yang mereka lakukan menguatkan syiar Islam di tengah masyarakat setempat.
Pada abad ke-20, salah seorang mubaligh kenamaan dari Gresik ialah KH Ma’shum Sufyan. Tidak hanya bergiat dalam aktivitas dakwah dan pendidikan. Pendiri Pondok Pesantren Ihyaul Ulum itu juga terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bahkan, namanya dikenang sebagai ahli strategi di berbagai pertempuran dalam melawan penjajah.
Tokoh ini lahir di Desa Dukunanyar, Kecamatan Dukun, Gresik, Jawa Timur, pada 1334 H/1913 M. Kiai Ma’shum Sufyan berasal dari keluarga yang alim dan hidup bersahaja. Ayahnya adalah Haji Muhammad Sufyan.
Adapun ibunya bernama Hajjah Amnah. Dari kedua orang tuanya, nasabnya sampai hingga sang pendiri Kerajaan Pajang, Joko Tingkir, yakni melalui Mbah Kiai Onggoyudo
Sejak masih kecil, Ma’shum sudah dikenal sebagai anak yang tekun dalam belajar. Saat berusia enam tahun, ia sudah fasih membaca Alquran. Dalam mengaji, dirinya mendapatkan bimbingan dari sejumlah guru, termasuk kakeknya sendiri yang bernama Kiai Amari.
Ma’shum kecil sangat senang mengkaji ilmu-ilmu agama. Karena itu, ia amat senang begitu kedua orang tuanya mendaftarkannya ke Madrasah Islamiyah. Lembaga itu dipimpin KH Faqih Abdul Jabbar, yang juga pendiri Pondok Pesantren Maskumambang, Dukun, Gresik.
Saat berusia enam tahun, ia sudah fasih membaca Alquran.
Di luar sekolah, Ma’shum juga terus mengaji kepada kakeknya. Didikan Kiai Amari membuatnya lebih mencintai Alquran. Karena itu, semangatnya untuk mendalami ulumul qur’an juga kian meningkat.
Saat berusia 12 tahun, Ma’shum berangkat ke daerah Sidayu. Tujuannya untuk menemui dan berguru langsung kepada KH Munawwar. Di seluruh Gresik, kiai tersebut dikenal luas sebagai seorang tahfiz Alquran. Hanya dalam kurun waktu tiga bulan, anak ini telah hafal Alquran dengan fasih.
Prestasinya itu membuat nama Ma’shum muda melambung tinggi. Banyak kawan sebayanya sesama santri memujinya. Begitu pula dengan masyarakat lingkungan tempat tinggalnya. Bagaimanapun, ia tetap bersikap tawaduk. Pelbagai sanjungan tidak lantas membuatnya sombong.
Sejak saat itu, remaja ini diminta Kiai Munawwar untuk menetap di pondok pesantren asuhannya. Bahkan, dia diangkat sebagai asisten sang kiai dalam mengajarkan ilmu menghafal Alquran kepada para santri. Kesempatan ini juga dimanfaatkannya untuk memperlancar hafalannya.
Tujuh tahun lamanya ia menekuni ilmu tahfiz. Ma’shum kemudian berpamitan kepada Kiai Munawwar. Sebab, dia ingin meneruskan rihlah keilmuan di tempat lain. Saat itu, ia tertarik untuk mengaji kepada seorang ulama dari Madura, yaitu KH M Sa’id Sampang.
Kiai Munawwar lalu mengizinkannya. Maka berangkatlah remaja itu ke Sampang, Madura. Di sana, ia belajar dengan tekun kepada Kiai M Sa’id. Hanya dalam waktu tiga bulan, ia mampu mengkhatamkan beberapa kitab.
Ia lalu belajar dengan tekun kepada Kiai M Sa’id. Hanya dalam waktu tiga bulan, ia mampu mengkhatamkan beberapa kitab.
Setelah itu, barulah dirinya kembali pulang ke Gresik. Namun, kepulangannya itu tidak berarti berhenti dari mengaji. Sebab, ia masih dahaga akan ilmu-ilmu agama. Di kampung halaman, ia berguru lagi kepada Kiai Faqih. Lima tahun lamanya Ma’shum muda belajar kepada dai yang juga putra Haji Abdul Jabbar Maskumambang itu.
Kemudian, Ma’shum melanjutkan perjalanannya ke Rembang. Di sana, ia menuntut ilmu kepada Kiai Kholil. Ulama karismatik ini merupakan pengasuh Pondok Pesantren Kasingan. Saat itu, di pesantren tersebut juga ada santri muda bernama Mahrus Ali.
Di kemudian hari, pemuda itu menjadi pimpinan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Dimulailah perkenalan antara Ma’shum dan Mahrus Ali. Bahkan, ikatan persahabatan di antara keduanya terjalin sangat erat hingga tua.
Di Rembang, Ma’shum hanya belajar selama satu setengah tahun. Setelah itu, ia kembali nyantri kepada KH Faqih bin Abdul Jabbar. Dalam usia muda, dirinya sudah menjalani perjalanan ke banyak tempat dan menemui banyak guru untuk mendalami Islam.
Saat usianya menginjak 17 tahun, Ma’shum kemudian menikah dengan Masrifah. Perempuan itu merupakan putri Haji M Rusdi. Begitu berumah tangga, dia sempat tinggal di kediaman mertua.
Dari pernikahannya ini, Kiai Ma’shum dikaruniai 13 anak. Mereka adalah Mahfud Ma’shum, Ma’mun Ma’shum, Mahfudz Ma’shum, dan Sakinah Ma’shum. Selain itu, ada Afif Ma’shum, Robbach Ma’shum, Muhammad Ma’shum, dan Sa’dan Maftuh Ma’shum. Kemudian, Sakinah Ma’shum, Robi’ah Ma’shum, Ahmad Mulaqqob, Maziyah Ma’shum, serta Wafiroh Ma’shum.
Dirikan pesantren
Pondok Pesantren Ihyaul Ulum (PPIU) bukanlah pesantren pertama di Kabupaten Gresik. Sebab, sebelumnya sudah ada Pondok Pesantren Maskumambang. Pendirinya ialah guru Kiai Ma’shum Sufyan, yakni KH Faqih Abdul Jabbar.
Selain Ponpes Maskumambang, ada pula pesantren yang diasuh oleh Kiai Ahyat. Ulama itu merupakan paman Kiai Ma’shum Sufyan. Di sana pula, ia mengamalkan ilmunya dengan cara mengajar kepada para santri setempat.
Pada 1942, wilayah Kecamatan Dukun, Gresik, dilanda musibah banjir bandang. Area pondok pesantren tempat Kiai Ahyat mengajar juga ikut terdampak bencana itu. Begitu pula dengan Pondok Pesantren Maskumambang. Sejak saat itu, kedua lembaga pendidikan ini semakin menurun reputasinya.
Melihat keadaan itu, Kiai Ma’shum tak tinggal diam. Pantang baginya untuk berpatang arang. Dengan penuh tekad, dirinya mematangkan rencana untuk mendirikan sebuah pondok pesantren di sana.
Setelah berkomunikasi dengan pelbagai pihak, rencana itu lantas diwujudkan. Beberapa waktu berselang, berdirilah lembaga yang didambakan itu. Namanya ialah Pondok Pesantren Ihyaul Ulum. Dari tahun ke tahun, pesantren itu terus mengalami perkembangan, bahkan hingga kini.
Pendirian pesantren ini berawal saat Kiai Ma’shum baru pulang menuntut ilmu dari Rembang sekitar tahun 1950. Saat itu ia mulai mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam di rumahnya sendiri. Kebetulan, kediamannya cukup besar dan luas. Kegiatan belajar-mengajar pun dilaksanakan di bagian atas rumah sekaligus menjadi asrama santri.
Perjuangan Kiai Ma’shum membuahkan hasil. Dakwahnya diterima banyak kalangan. Banyak orang berdatangan untuk menimba ilmu.
Seiring berjalannya waktu, perjuangan Kiai Ma’shum membuahkan hasil. Dakwahnya diterima banyak kalangan. Banyak orang berdatangan untuk menimba ilmu darinya. Maka dari itu, rumah yang semula dijadikannya tempat belajar lama kelamaan tidak muat lagi. Beruntung, mertuanya kemudian membelikannya sebuah rumah untuk dijadikan sebagai tempat tinggal santri.
Dengan bantuan masyarakat, dibangunlah sebuah pondok pesantren pada 1 Januari 1951. Itulah cikal-bakal PPIU. Nama Ihyaul Ulum berasal dari ide Kiai Ma’shum sendiri, yang terinspirasi dari karya monumental Imam Ghazali, Ihya Ulum ad-Din. Ia mengharapkan, pesantren tersebut bisa menghidupkan kembali pengajaran dan pendidikan ilmu-ilmu agama di wilayah Dukun.
Cita-cita yang luhur ini mendapat sambutan serta dukungan dari masyarakat. Wujud dukungan tersebut berupa mempercayakan putra-putrinya untuk dididik di pondok pesantren yang baru didirikan tersebut.
Seperti pondok-pondok pesantren umumnya, sistem belajar yang berlaku di PPIU pun adalah weton dan sorogan. Kiai Ma’shum mengajar santri-santrinya ba’da ashar dengan mengaji kitab Riyadh ash-Shalihin. Adapun sesudah waktu maghrib, pengajian kitab Alfiyah Ibnu Malik.
Tak hanya mendirikan pondok pesantren, komitmen Kiai Ma’shum kepada pendidikan agama juga terwujud pada pengembangan pendidikan formal. Pada 1955, dirinya membangun Madrasah Ibtidaiyah. Sekolah ini dijadikan sebagai bagian dari perkembangan luas PPIU.
Tak hanya mendirikan pondok pesantren, komitmen Kiai Ma’shum kepada pendidikan agama juga terwujud pada pengembangan pendidikan formal.
Pada 1965, Kiai Mahfudz, yakni putra tertua Kiai Ma’shum, membangun pondok pesantren khusus putri. Lembaga ini menjadi bagian dari keseluruhan PPIU. Peminat pesantren khusus putri tersebut ternyata sangat banyak.
Dengan demikan, bertambahlah tanggung jawab yang dipikul oleh PPIU. Sementara, fasilitas yang ada semakin tidak memadai untuk menampung bertambahnya jumlah santri. Maka pada 8 Desember 1968 dibangunlah sebuah gedung berlantai dua sebagai sarana belajar.
Pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren Ihyaul Ulum juga mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan zaman. Namun, pesantren masih berpegang teguh pada visi dan misi utamanya. Yakni, sebagai tempat penggemblengan kader dai, baik lelaki maupun perempuan.
Tingginya minat belajar dari warga luar Kecamatan Dukun juga mendorong perkembangan PPIU. Pada 1998, berdirilah Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam (STAI) Ihyaul Ulum pada 1998. Sampai saat ini, ada tiga fakultas yang diselenggarakan yaitu Fakultas Hukum Islam, Fakultas Ekonomi Syariah, dan Fakultas Pendidikan.
Sosok Pejuang dan Teladan
Hingga akhir hayatnya, KH Ma’shum Sufyan tidak hanya aktif dalam dunia dakwah dan pendidikan, tetapi juga pergerakan. Ia berkiprah melalui organisasi Nahdhatul Ulama (NU). Pada masa penjajahan dan revolusi nasional, sang alim pun turut serta mengorbankan pikiran, tenaga, dan hartanya di jalan jihad.
Diceritakan bahwa suatu waktu tersiar kabar. Pasukan kolonial Belanda sudah memasuki wilayah Desa Sembayat, Manyar, Gresik. Para tokoh daerah setempat pun mengadakan musyawarah kilat. Mereka berembuk untuk menyepakati cara menghadapi musuh.
Kiai Ma’shum pun menyarankan, para laskar dan gerilyawan agar terus mempertahankan daerah Sembayat. Pertahanan terbaik, lanjutnya, ialah dengan jalan menyerang gerilya. Usulan itu diterima seluruh hadirin.
Setelah itu, Kiai Ma’shum mengumpulkan para pemuda yang siap bergerilya. Di antara mereka ialah M Ali dan Fadlun. Namun, sayangnya tidak banyak catatan sejarah yang menjelaskan tentang detail peristiwa tersebut.
Kiai Ma’shum mengumpulkan para pemuda yang siap bergerilya.
Kiai Ma’shum memang termasuk kiai yang memiliki karisma luar biasa. Ia merupakan salah seorang konseptor perjuangan Islam yang memberikan corak kehidupan masyarakat sampai akhir hidupnya. Pada Ahad Kliwon 25 Rabiul Awwal 1411 H/14 Oktober 1990, tokoh ini berpulang ke rahmatullah.
Jalan kehidupannya patut menjadi cermin bagi kaum Muslimin kini. Kepribadiannya bersahaja. Sebagai pendidik umat, dirinya berwawasan luas dan memiliki kedalaman ilmu. Dengan konsisten, Kiai Ma’shum mendidik para santrinya agar menjadi generasi yang terpelajar.
Sebagai seorang kiai pemimpin pesantren, Kiai Ma’shum bukan hanya sebagai guru agama yang pintar dalam ilmu-ilmu, tetapi juga teladan. Oleh karena itu, masyarakat banyak yang meminta petuah serta nasihatnya tentang berbagai persoalan hidup.
Kepada para santrinya, Kiai Ma’shum sering berpesan, hendaknya mereka hidup bagaikan beras. Maknanya, dibutuhkan semua orang. Kalau tidak bisa begitu, maka hiduplah seperti obat. Adanya memang terkadang saja dibutuhkan, tetapi sekalinya diperlukan maka sifatnya genting.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.