Petugas melayani warga yang membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di loket bergerak di Kantor Kelurahan Ujuna, Palu, Selatan, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (25/8/2021). | ANTARA FOTO/Basri Marzuki/hp.

Opini

Integrasi NIK dan NPWP

Perluasan basis data melalui integrasi NIK dan NPWP ini menjadi penting. Mengingat, masih tingginya ekonomi bayangan.

JOHANA LANJAR WIBOWO, Pemeriksa Pajak Pertama Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar 

Integrasi nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor pokok wajib pajak (NPWP) bukan lagi sekadar wacana.

Ini menjadi salah satu poin Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang paripurna, Kamis (7/10), untuk menjadi UU.

Beleid tersebut mengatur, NPWP  bagi wajib pajak (WP) orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan NIK.

Lebih lanjut, dalam rangka penggunaan NIK sebagai NPWP, menteri dalam negeri memberikan data kependudukan dan data balikan dari pengguna kepada menteri keuangan, untuk diintegrasikan dengan basis data perpajakan.

Integrasi basis data NIK dan NPWP pada dasarnya, bertujuan untuk memberikan kemudahan WP orang pribadi melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan.

Beleid ini memperkuat kebijakan pencantuman NIK dan/atau NPWP sebagai persyaratan dalam setiap penyelenggaraan pelayanan publik.

Hasil integrasi keduanya, dapat dibagipakaikan dan dimanfaatkan untuk pelbagai kepentingan, salah satunya perpajakan. Tujuannya, yakni mendukung kebijakan satu data Indonesia. Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2021.

Sebetulnya, UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) telah mengatur integrasi data tersebut. Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada otoritas pajak.

Basis perpajakan

Perluasan basis data melalui integrasi NIK dan NPWP ini menjadi penting. Mengingat, masih tingginya shadow economy (ekonomi bayangan) atau underground economy (ekonomi bawah tanah).

Edgar L Feige (1990) mengelompokkannya menjadi empat, yaitu illegal economy (ekonomi ilegal), unreported economy (ekonomi tidak dilaporkan), unrecorded economy (ekonomi tidak terekam), dan  informal economy (ekonomi informal). 

 

 
Dalam praktiknya, banyak pelaku shadow economy yang belum teregistrasi atau memiliki NPWP.
 
 

 

Dalam praktiknya, banyak pelaku shadow economy yang belum teregistrasi atau memiliki NPWP.

Belum lagi, masih ada juga pelaku usaha yang telah memiliki NPWP, tetapi tidak melaporkan penghasilan atas kegiatan usahanya, untuk menghindari pajak, baik pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), maupun pajak lainnya.

Tak hanya itu, perkembangan ekonomi digital, baik secara global maupun nasional, selama periode pandemi Covid-19 semakin kuat. Beberapa bentuknya berupa perdagangan secara elektronik (e-commerce) dan penggunaan uang elektronik (e-cash dan koin digital) secara anonim.

Sementara itu, menurut Scheneider (2012), sektor underground economy ini luput dari otoritas publik. Instrumen pengawasan otoritas pajak atas sektor  ini masih kurang.

Ini menjadi penyebab, shadow economy menjadi sektor yang sulit dipajaki (hard-to-tax sector). Kondisi ini merupakan salah satu risiko pendapatan negara. Melalui integrasi NIK dan NPWP, pemerintah memitigasi risiko tersebut.

Konsolidasi fiskal

Hadirnya UU HPP dalam rangka konsolidasi fiskal. Pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap melemahnya perekonomian global dan nasional. Pun, hal ini diikuti dengan penurunan penerimaan pajak dan pelebaran defisit anggaran.

Pendapatan negara dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2022 ditargetkan Rp 1.846,1 triliun. Sedangkan target belanja negara Rp 2.714,2 triliun, sehingga defisit Rp 868 triliun atau 4,85 persen dari PDB. Secara bertahap, angka ini terus ditekan.

 
UU HPP hadir sebagai sarana mitigasi perbaikan atas kapasitas administrasi dan kebijakan yang saat ini terbatas.
 
 

Pada 2020, defisit APBN 6,14 persen dari PDB. Sedangkan, pada 2021, direncanakan turun menjadi 5,7 persen dari PDB. Lalu, pada 2022, diupayakan turun menjadi 4,85 persen. APBN 2022 menjadi fundamental membawa defisit di bawah 3 persen pada tahun depan.

UU HPP hadir sebagai sarana mitigasi perbaikan atas kapasitas administrasi dan kebijakan yang saat ini terbatas. Harapannya, UU HPP bisa meningkatkan pertumbuhan perekonomian berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian.

Selain itu, mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.

Di sisi lain, ini bagian dari reformasi perpajakan, yang meliputi administrasi dan kebijakan. Ujungnya, mewujudkan sistem perpajakan lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, serta meningkatkan kepatuhan sukarela WP.

Tujuannya, menjamin kepastian hukum dan keadilan serta mendorong kepatuhan sukarela. Muaranya pada peningkatan penerimaan pajak berkesinambungan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat