IKHWANUL KIRAM MASHURI | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Tunisia: Akademisi Versus Politisi

Sepanjang sejarah Tunisia dan negara-negara Arab, ini kali pertama perempuan memimpin pemerintahan.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Presiden Tunisia Kais Saied pekan ini (29/9) kembali bikin kejutan. Ia menunjuk perempuan menjadi perdana menteri (PM), Najla Boudin Ramadan. Sepanjang sejarah Tunisia dan negara-negara Arab, Najla adalah perempuan pertama yang memimpin pemerintahan.

Di kancah perpolitikan Tunisia, Najla, 63 tahun, bukan siapa-siapa. Namanya tak populer di publik. Ia ahli geologi kelahiran Kairouan, kota budaya Islam dan pusat ahli fikih di Tunisia. Profesinya dosen dan profesor di National School of Engineers.

Di Kementerian Pendidikan Tinggi Tunisia, Najla pernah menjabat ketua satuan peningkatan mutu pendidikan, direktur yang bertanggung jawab pada kualitas pendidikan, hingga kepala kantor kementerian.

Terakhir ia ditunjuk mengawasi implementasi program Bank Dunia di Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset Ilmiah, sebelum diminta Presiden Kais menjadi PM. Najla tidak berafiliasi atau dekat partai politik mana pun.

 
Sepanjang sejarah Tunisia dan negara-negara Arab, Najla adalah perempuan pertama yang memimpin pemerintahan.
 
 

Selama hidupnya, ia lebih dikenal sebagai akademisi. Maka itu, Tunisia kini dikendalikan dua akademisi, Presiden Kais dan PM Najla, yang kebetulan sama-sama lahir pada 1958. Serupa Najla, Kais sebelum jadi presiden adalah akademisi. Ia profesor hukum konstitusi.

Sejak jadi presiden pada Oktober 2019, tarik ulur kekuasaan terjadi, antara presiden yang akademisi dan parlemen yang diisi politisi partai. Bahkan, sering diwarnai saling menuduh dan menyalahkan.

Terutama dengan Ketua Parlemen Rached Ghannouchi, yang partainya, An Nahdla, menang pemilu di lembaga perwakilan rakyat (DPR) itu. Puncaknya, dua bulan lalu (25/7) ketika sang presiden mengambil alih kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Ia juga membekukan kewenangan parlemen dan mencabut kekebalan para anggotanya selama 30 hari dan bisa diperpanjang. Ia memecat PM dan sejumlah pejabat tinggi penting lainnya. Ia menjalankan pemerintahan, dibantu seorang PM yang ia tunjuk.

Ia juga akan memimpin penuntutan terhadap mereka yang diduga melakukan korupsi. Tarik ulur perebutan kekuasaan antara presiden dan parlemen (DPR) sebenarnya buntut dari sistem politik di Tunisia yang tidak tegas: tidak presidensial dan tidak parlementer.

 
Tarik ulur perebutan kekuasaan antara presiden dan parlemen (DPR) sebenarnya buntut dari sistem politik di Tunisia yang tidak tegas: tidak presidensial dan tidak parlementer.
 
 

Misalnya, seperti termaktub dalam sistem politik di Tunisia, presiden adalah simbol persatuan bangsa, dengan kewenangan kebijakan politik luar negeri, keamanan nasional, dan pertahanan. Artinya, polisi dan tentara berada di bawah kendali presiden.

Sementara itu, urusan ekonomi dan domestik lainnya menjadi kewenangan PM. Yang terakhir ini, dipilih dan bertanggung jawab kepada parlemen. Anggota parlemen basisnya partai politik. Namun, yang harus digarisbawahi, PM dan menterinya dilantik presiden.

Ini bermakna, kalau presiden tidak setuju dengan PM dan menteri, ia bisa menolak melantik mereka. Ini terjadi selama hampir dua tahun ini. Dalam pertikaian politik ini, siapa yang memegang senjata —mengendalikan tentara dan polisi —, maka merekalah pemenangnya.

Apalagi, bila didukung rakyat. Dalam kasus di Tunisia, Presiden Kais Saied pemenangnya. Presiden Kais memperpanjang pembekuan kewenangan parlemen dan pencabutan kekebalan para anggotanya, hingga waktu yang tidak ditentukan.

Namun, kejutan besar terjadi ketika ia menunjuk Najla Boudin, sebagai PM. Menurut Presiden Kais, ia sengaja memilih Najla sebagai ‘kepala staf tentaranya’ dalam pertempurannya melawan korupsi, yang ia katakan merusak semua sendi kehidupan bernegara.

 
Selain masalah korupsi dan kisruh politik, banyak hal mendesak lain yang harus segera dibenahi pemerintah. Terutama masalah ekonomi. Wabah Covid-19 yang telah merenggut lebih dari 20 ribu nyawa hingga sekarang belum tertangani.
 
 

Ia merujuk survei bahwa lembaga yang dipimpin perempuan tidak banyak terjadi korupsi. Pernyataan Presiden Kais tentang korupsi tampaknya diarahkan kepada lawan politiknya di parlemen.

Ia memerintahkan para jaksa memeriksa pendanaan partai-partai politik dan keuangan para tokoh partai. Termasuk kepala komisi pemberantasan korupsi yang kini justru dikenai tahanan rumah. Pesaingnya dalam pemilihan presiden lalu, Nabil Karoui, ditangkap.

Kini, tugas berat menanti PM perempuan pertama ini. Ia membantu presiden yang memiliki pandangan sendiri tentang sistem politik di Tunisia. Sang presiden, sedang menyiapkan rancangan amendemen konstitusi negara dan undang-undang pemilu yang baru.

Selain masalah korupsi dan kisruh politik, banyak hal mendesak lain yang harus segera dibenahi pemerintah. Terutama masalah ekonomi. Wabah Covid-19 yang telah merenggut lebih dari 20 ribu nyawa hingga sekarang belum tertangani.

Pariwisata, salah satu sektor penyumbang devisa negara, kini praktis berhenti. Kemiskinan dan pengangguran meningkat tajam, sementara kebutuhan sehari-hari semakin langka dan harganya naik tajam.

Di lain sisi, lawan politik Presiden Kais di parlemen juga tidak berhenti bergerilya. Mereka menggerakkan massanya turun ke jalan. Mereka mengadakan pertemuan Zoom dan media sosial lainnya karena gedung parlemen telah lama digembok dan dijaga polisi.

Kedua belah pihak, masing-masing mempunyai logika dan argumentasinya sendiri. Maka itu, tema paling panas di Tunisia sekarang ini adalah dua orang akademisi versus politisi, dan yang kalah adalah rakyat. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat