Halaman muka Islam Digest membahas mengenai Imam Abu Hanifah | Islam Digest/Republika

Tema Utama

Warna Fikih Imam Hanafi

Dalam mengajarkan ilmunya, Imam Hanafi selalu menggunakan metode dialog dan diskusi.

OLEH HASANUL RIZQA 

Salah satu imam mazhab fikih yang diikuti kalangan ahlus sunnah waljama’ah (aswaja) ialah Nu'man bin Tsabit bin Zauti bin Marzuban. Mujtahid itu populer dengan nama Abu Hanifah atau Imam Hanafi. Ia lahir pada 2 Rajab 80 Hijriyah atau bertepatan dengan 5 September 699 M.

Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang alasan tokoh itu disebut Abu Hanifah. Sang mujtahid dikatakan memiliki seorang anak, Hanifah. Dalam bahasa Arab, julukan (kunyah) tersebut berarti ‘ayah dari si Hanifah.’ Ada pula yang menduga, hanifah berasal dari bahasa Persia yang berarti ‘tinta'. Memang, ahli ijtihad itu memiliki kebiasaan membawa tinta pena ke manapun pergi.

Akan tetapi, hanifah boleh jadi merujuk pada kata sifat, bukan nama subjek tertentu. Karena itu, beberapa penulis biografi meyakini, Nu’man bin Tsabit dipanggil dengan kunyah Abu Hanifah karena kealiman dan keteladanannya. Kaum Muslimin pada masanya memandang tokoh tersebut sebagai pribadi yang lurus (hanif) dalam menerapkan dan menyebarkan ilmu-ilmu agama.

Imam Hanafi hidup pada masa transisi dua kekuasaan politik Islam, yakni Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Ulama kelahiran Kota Kufah, Irak, itu disebut-sebut pernah berjumpa langsung dengan sejumlah sahabat Nabi Muhammad SAW, semisal Anas bin Malik, Zaid bin Ali, Ja’far ash-Shadiq, serta para pejuang Badar. Karena itu, banyak penulis menggolongkannya sebagai generasi tabiin atau setidaknya tabiit tabiin.

Sumbangsih Imam Hanafi tidak hanya pada ilmu fikih, tetapi juga hadis. Dalam disiplin hadis, kedudukannya mungkin tidak sepopuler tiga imam mazhab lainnya. Sebagai gambaran, sanad hadis yang bersumber dari Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Hambali diakui luas sebagai “rantai emas riwayat hadis” (silsilah dzahabiyyah). Masing-masing karya ketiganya, yakni Muwattha’, Musnad asy-Syafii, dan Musnad Ahmad pun tergolong rujukan induk dalam pengkajian hadis.

Padahal, di sepanjang hayatnya Imam Hanafi juga mengambil sanad hadis kepada banyak ulama pada zamannya. Pertama-tama, sebagaimana Imam Syafii, dirinya menjadikan Imam Malik sebagai rujukan utama dalam hal sanad. Di samping ulama besar Kota Madinah itu, Imam Atha bin Abi Rabah dari Kota Makkah pun dipandangnya sebagai sumber penting untuk mendapatkan rentetan rawi hadis.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

Selain keduanya, sanad hadis juga diperolehnya dari banyak ulama besar, seperti Abu Ishaq as-Sabi’i, Muharib bin Ditsar, Hammad bin Abu Salamah, al-Haitsam bin Hubaib, Qais bin Muslim, Muhammad bin al-Munkadir, Hisyam bin ‘Urwah, Simak bin Harb, serta Nafi’ Maula bin ‘Umar.

Imam Hanafi pernah bertahun-tahun lamanya tinggal di Tanah Suci. Kesempatan bermukim itu dimanfaatkannya tidak hanya untuk berhaji setiap tahun, tetapi juga menuntut ilmu-ilmu agama Islam, termasuk hadis.

Menurut M Tholhah al-Fayyadl dalam “Imam Abu Hanifah dan Kredibilitasnya Dalam Ilmu Hadits” (2021), riwayat hadis yang didapat sang imam memang terbilang “sedikit.” Namun, sedikitnya riwayat yang bersumber dari mujtahid tersebut bukanlah alasan untuk mengkritiknya.  

Pada dasarnya, lanjut al-Fayyadl, banyak ulama dahulu yang cenderung sedikit meriwayatkan hadis lantaran faktor ketelitian dan kehati-hatian mereka. Ambil contoh, Abu Bakar ash-Shiddiq yang begitu dekat dengan Rasulullah SAW. Jumlah hadis yang diriwayatkannya jauh lebih sedikit daripada, umpamanya, Abu Hurairah, seorang sahabat yang lebih belakangan masuk Islamnya.

Syekh Muhammad bin Ahmad as-Sarkhasi berkata dalam Ushul Fiqh, “Imam Abu Hanifah adalah ulama yang paling mumpuni dalam ilmu hadis di zamannya. Riwayat hadis Imam Abu Hanifah sangat sedikit karena beliau sangat teliti dalam mengambil riwayat.”

photo
ILUSTRASI Imam Abu Hanifah merupakan satu-satunya Imam Empat Mazhab Aswaja yang tidak berasal dari Arab. - (DOK REP DAAN YAHYA)

Ahli ra’yu

Menurut Said Aqil Siroj dalam Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi (2010), Imam Hanafi bersama dengan beberapa ulama sezamannya—semisal Imam Sufar, Abu Muhammad, dan Imam Abi Yusuf—adalah pemuka Islam yang pertama kali menerima nalar sebagai alat dalam memahami agama. Sang peletak dasar Mazhab Hanafi itu berpandangan, kebenaran haruslah dicari dengan nalar. Untuk mencapai kebenaran pun, logika diperlukan.

Yang dipilih, diambil, lalu diolahnya sebagai alat dalam memahami kebenaran Islam ialah logika Arsitoteles. Sebab, pada zaman Abu Hanifah, pemikiran Yunani Kuno mulai dikenal kaum Muslimin, seiring dengan meluasnya wilayah Islam di timur Mediterania.

Seperti halnya para mujtahid aswaja, pemikiran Imam Hanafi dalam fikih berpijak pada Alquran, Sunnah Nabi SAW, dan perkataan atau pendapat para sahabat Rasulullah SAW. Ia tidak berpegang pada pandangan ulama-ulama tabiin karena posisinya sejajar dengan mereka. Dalam berijtihad, ia dikenal sering kali menggunakan qiyas dan istihsan.

Yang pertama itu berarti menyamakan ketentuan hukum antara sesuatu yang sudah ada aturan hukumnya dan sesuatu lain yang belum diatur. Sebab, ada kesamaan sifat esensial di antara masing-masing. Adapun yang kedua berarti penetepan hukum terhadap suatu masalah yang berpindah dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa karena adanya alasan lebih kuat.

Penetapan hukum dengan menggunakan istihsan ini didasarkan pada prinsip atau upaya untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan. Sebagai contoh, berpindahnya suatu hukum yang ditetapkan oleh nash (teks Alquran dan/atau sunnah Nabi SAW) yang umum kepada yang khusus. Sebut saja, tatkala Khalifah Umar tidak menghukum pencuri pada masa mewabahnya kelaparan.

photo
ILUSTRASI Imam Abu Hanifah. - (DOK REP DAAN YAHYA)

Sapiudin Shidiq dalam Studi Awal Perbandingan Mazhab Dalam Fikih menjelaskan, Imam Hanafi banyak dipengaruhi perkembangan yang terjadi di Kufah. Kota di tepian Sungai Eufrat ini terletak jauh dari Madinah sebagai Kota Hadis. Di Kufah, tidak dikenal banyak hadis. Selain itu, masyarakat kota tersebut berinteraksi langsung dengan kebudayaan non-Arab, khususnya Persia.

Alhasil, mereka menunjukkan sifat yang lebih majemuk. Lagipula, bangsa Persia telah mencapai kemajuan yang lebih tinggi dibandingkan penduduk Hijaz yang cenderung sederhana. Atas dasar itu, warna ijtihad para pemuka setempat condong lebih kritis dan realistis. Imam Hanafi kerap menggunakan akal rasional (ra’yu ) dalam penyelesaian hukumnya. Itu tecermin antara lain pada pemakaian qiyas dan istihsan.

Menyebar luas

Dari Irak, Mazhab Imam Hanafi terus berkembang ke berbagai wilayah Islam. Persebarannya berlangsung melalui murid-murid sang imam yang jumlahnya cukup banyak. Di antara mereka adalah Abu Yusuf bin Ibrahim al-Anshari (113-183 H), Zufar bin Huzail bin Qais al-Kufi (110-158 H), Muhammad bin Hasan bin Farqad as-Syaibani (132-189 H), serta Hasan bin Ziyad al-Lu’lu al-Kufi Maula (133-204 H).

Yang pertama tersebut itu sempat menjabat sebagai hakim agung di Baghdad. Alhasil, Dinasti Abbasiyah mengutamakan penggunaan mazhab fikih ini di lapangan peradilan.

Dalam mengajarkan ilmunya, Imam Hanafi selalu menggunakan metode dialog dan diskusi. Pertama-tama, ia menyajikan suatu permasalahan dalam majelis. Di hadapan jamaah, ia kemudian mengungkapkan pendapat beserta argumentasinya mengenai pokok persoalan tersebut. Dengan mendasarkan diri pada dalil-dalil Alquran dan Sunnah serta—kalau perlu—penalaran logika, sang imam akan mempertahankan pendapatnya itu.

Diskusi antara sang guru dan para muridnya pun bisa berlangsung seharian penuh. Tukar pikiran terus dilakukan hingga solusi atau, sekurang-kurangnya, titik temu atas persoalan tersebut bisa dicapai. Melalui metode demikian, Imam Hanafi kentara sekali mengoptimalkan logika.

Para muridnya pun ikut mendayagunakan akal pikiran mereka agar bisa mengikuti penjelasan sang syekh atau bahkan mengkritisi pandangannya. Lama kelamaan, mereka pun kian terlatih untuk piawai berijtihad.

photo
ILUSTRASI Pada abad kedua Hijriyah, ilmu fikih mulai berkembang luas di berbagai daerah kekhalifahan. - (DOK PXHERE)

Imam Hanafi wafat pada 15 Rajab 150 H, bertepatan dengan 15 Agustus 767 M. Waktu itu, ia masih berstatus tahanan di dalam penjara. Baik dalam rezim Umayyah maupun Abbasiyah, dirinya pernah merasakan dinginnya sel. Bukan karena memberontak kekuasaan yang sah.

Justru, sang alim beberapa kali ditawari memegang jabatan hakim di Kufah. Namun, tawaran tersebut senantiasa ditolaknya. Para raja pun menganggapnya “berbahaya.” Itulah di antara yang menyebabkannya dipenjara oleh pihak penguasa.

Sepeninggalan sang mujtahid, Mazhab Hanafi terus menyebar luas. Eksistensinya tak lekang oleh waktu. Pada masa Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, misalnya, corak fikih tersebut diakui sebagai aliran resmi kesultanan itu. Saat ini, mazhab sang imam banyak dipakai umat Islam di kawasan Turki, Suriah, Irak, Semenanjung Balkan, Mesir, dan India.

photo
Masjid Abu Hanifah di Baghdad, Irak. Mazhab Hanafi banyak diikuti umat Islam di Irak, Turki, Syam, Balkan, hingga Mesir. - (DOK WIKIPEDIA)

Teguh Bersikap di Hadapan Penguasa

 

Imam Abu Hanifah merupakan satu-satunya pendiri mazhab fikih ahlus sunnah waljama’ah (aswaja) yang berasal dari luar Arab, tepatnya Persia (Iran). Sosok yang bernama asli Nu’man bin Tsabit itu membuat ijtihad dan menuliskan hukum Islam selama lebih dari 30 tahun. Hal itu dilakukannya agar umat Islam, baik pada masanya maupun generasi-generasi sesudahnya, kian mudah dalam melaksanakan syariat.

Sebagai seorang mujtahid, dirinya berpandangan bahwa upaya mengeluarkan makna hukum (istinbath) mesti didasarkan pada tujuh hal pokok, yakni Alquran, Sunnah Nabi SAW, fatwa para sahabat, kias (qiyas ), istihsan, ijmak, dan ’urf (kebiasaan masyarakat yang tak bertentangan syariat). Di antara karya-karya monumentalnya ialah Al-Fiqh al-Akbar, Al-Fiqh al-Absath, Al-‘Alim wa al-Muta’allim, dan Musnad.

Menurut catatan al-Khawarizmi, tokoh yang populer dengan sapaan Imam Hanafi itu telah mengeluarkan sekitar 83 ribu fatwa. Sebanyak 38 ribu di antaranya berkaitan dengan hukum-hukum syariat, sedangkan sisanya tentang hukum perdagangan. Itu belum termasuk rumusan fikih mengenai ibadah dan muamalah di luar kasus-kasus perniagaan.

Selain berilmu, Imam Hanafi terbilang berdagang. Bakatnya sebagai pebisnis sudah ditempa sejak berusia remaja. Waktu itu, ia biasa membantu orang tuanya untuk menjual komoditas sandang. Sejak menekuni dunia dakwah dan pendidikan, nyaris seluruh waktunya tercurah untuk membimbing umat. Penghasilan yang dimilikinya banyak disedekahkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Dirinya hanya mengambil seperlunya dari omzet tahunan.

photo
ILUSTRASI Sejarah mencatat, shalat jenazah untuk Imam Hanafi sampai-sampai dilangsungkan sebanyak enam kali. Tiap kali sesi shalat itu didirikan oleh hampir 50 ribu jamaah - (DOK PXFUEL)

Besarnya reputasi Imam Hanafi membuat banyak penguasa tertarik. Bukan untuk menyerap dan mendukung persebaran ilmunya, tetapi ambisi menjadikannya sebagai “alat” legitimasi kekuasaan. Mereka mencari-cari cara agar kebijakan yang diambilnya bisa mendapatkan dukungan dari ulama.

Pernah Imam Hanafi ditawari jabatan oleh gubernur Irak saat itu, Yazid bin ‘Amr, sebagai kepala departemen keuangan negara (baitul maal). Namun, tawaran itu ditolaknya dengan tegas. Akibatnya, ia dipanggil ke ibu kota dan dihukum cambuk.

Kubu penguasa tidak menyerah dan menawarinya jabatan lagi. Kali ini, posisi yang ditawarkan khalifah Abbasiyah, Abu Ja’far al-Manshur, ialah mufti kerajaan. “Demi Allah, aku tidak akan mengambil jabatan yang diberikan kepadaku sekalipun mereka akan membunuhku,” ujar sang mujtahid. Imam Hanafi pun kembali dipenjara. Di dalam tahanan, dirinya mengalami penyiksaan yang keras. Padahal, kala itu dirinya sudah lanjut usia.

Imam Abu Hanifah berpulang ke rahmatullah pada Rajab 150H/767M dalam usia 68 tahun. Sang alim menghembuskan nafas terakhir tatkala berada di dalam penjara. Beberapa sumber menyebutkan, sebelum wafat dirinya sempat memakan sajian yang telah diracuni orang. Dalam riwayat lain disebutkan, ia lebih dahulu dipukul sehingga meninggal dunia.

Kepergiannya ke hadirat Ilahi menyisakan duka cita yang teramat dalam di tengah kaum Muslimin. Sejarah mencatat, shalat jenazah untuknya sampai-sampai dilangsungkan sebanyak enam kali. Tiap kali sesi shalat itu didirikan oleh hampir 50 ribu orang jamaah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat