ILUSTRASI Imam Abu Hanifah. | DOK REP DAAN YAHYA

Tema Utama

Telusur Sejarah Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah memiliki keunikan bila dibandingkan dengan ketiga mujtahid aswaja lainnya.

OLEH HASANUL RIZQA

Ia hidup sekitar 1.300 tahun lalu, mendirikan salah satu mazhab fikih ahlus sunnah wal jama'ah. Imam Abu Hanifah pun dikenang sebagai mujtahid awal yang menerima rakyu untuk memahami agama.

Sang Mujtahid dari Kufah

Pada abad pertama Hijriyah, syiar Islam telah meluas hingga ke berbagai kawasan luar Jazirah Arab, seperti Mesir, Irak, dan Persia (Iran). Kota-kota baru pun bermunculan di daerah-daerah tersebut seiring dengan kukuhnya peradaban Islam. Salah satu kota yang berkembang pesat pada masa itu ialah Kufah.

Kota di tepian Sungai Eufrat ini dibangun pada zaman Khalifah Umar bin Khattab. Sebagaimana Basrah, Kufah pada mulanya didirikan sebagai benteng pertahanan Muslimin di Irak. Sesudah Kekaisaran Persia berhasil ditaklukkan, kehidupan masyarakat madani mulai tumbuh di sana.

Memasuki abad kedua Hijriyah, Kufah menjadi tempat berkumpulnya kaum Muslimin terpelajar. Dari berbagai daerah di Mesopotamia, mereka berdatangan ke kota tersebut untuk menuntut ilmu-ilmu agama. Ada cukup banyak ulama setempat yang memiliki reputasi besar. Seorang di antaranya adalah Abu Hanifah.

Ia bernama lengkap Nu'man bin Tsabit bin Zauti bin Marzuban. Menurut adz-Dzahabi, seperti dinukil Prof Abul Yazid Abu Zaid al-’Ajami dalam Akidah Islam Menurut Empat Madzhab, Abu Hanifah berasal dari bangsa Persia. Mengikuti jejak ayahnya, ia sempat berprofesi sebagai saudagar kain.

Abu Hanifah menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di Kufah. Sejak kecil, dirinya sudah dibekali pengetahuan tentang ilmu berdagang oleh orang tuanya. Akan tetapi, hatinya selalu terpaut pada masjid dan majelis ilmu. Kecerdasannya kemudian menarik perhatian seorang ulama tabiin, Amir bin Syurahbil asy-Sya’bi.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

Suatu hari, asy-Sya’bi berpapasan dengan Abu Hanifah muda. Kepada pemuda itu, ulama tersebut bertanya, “Kau mau ke mana?”

“Aku mau ke pasar seperti biasa,” jawab Abu Hanifah.

“Bukan itu maksudku,” kata asy-Sya’bi menimpali, “aku ingin tahu, ulama mana lagi yang akan kau datangi?”

“Aku jarang menemui ulama beberapa hari terakhir. Mungkin karena kesibukanku di pasar.”

“Sebaiknya jangan lalai. Kau harus terus belajar ilmu-ilmu agama dan dekat dengan alim ulama. Sebab, aku melihat bahwa kau pemuda yang cerdas dan aktif,” ujar asy-Sya’bi.

Nasihat ulama tersebut sangat membekas dalam benaknya. Abu Hanifah pun tidak lagi menghabiskan hari-harinya di pasar. Ia memilih kesibukan baru yang lebih disukainya, yakni menuntut ilmu-ilmu agama. Keputusan itu memang tidak sampai membuatnya berhenti total dari dunia usaha. Namun, sejak saat itu perdagangan yang dijalankannya hanya menyita sebagian kecil dari waktunya.

Berbekal semangat belajar yang tinggi, Abu Hanifah remaja menerima pendidikan keislaman dengan sangat baik. Sebelum berusia akil baligh, ia telah menghafalkan seluruh Alquran. Ilmu membaca Alquran dipelajarinya dari Imam Ashim, salah satu dari tujuh ulama peletak dasar Qira’ah Sa’bah.

Di samping itu, ia pun memiliki banyak guru lainnya. Mereka antara lain adalah Atho' bin Abi Rabbah, Asy-Sya'bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A'raj, Amru bin Dinar, dan Thalhah bin Nafi'. Selanjutnya, ada Nafi' Maula bin Umar, Qatadah bin Di'amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Abu Ja'far al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Muhammad bin Munkandar.

 
Dalam menjalani rihlah intelektual, Abu Hanifah disebut-sebut belajar pada 4.000 orang guru.
 
 

Dalam menjalani rihlah intelektual, Abu Hanifah disebut-sebut belajar pada 4.000 orang guru. Jumlah sebanyak itu wajar kiranya. Sebab, sejak usia belasan tahun dirinya sudah rajin berkelana dari satu kota ke kota lain untuk menimba ilmu-ilmu agama, khususnya setelah putra daerah Kufah ini meninggalkan kesibukan berdagang.

Saat berusia 16 tahun, Abu Hanifah pergi dari Kufah menuju Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah. Kesempatan itu pun dimanfaatkannya untuk menambah bekal pengetahuan. Salah seorang gurunya di kota kelahiran Nabi SAW ialah tokoh tabi’in, Atha bin Abi Rabah, yang merupakan alim terbaik di sana. Beruntung, dirinya pun sempat menjadi murid beberapa orang sahabat Rasulullah SAW yang masih hidup.

Perjalanan ke Tanah Suci merupakan semacam obat kerinduan bagi Abu Hanifah. Tercatat, ia menunaikan haji sebanyak 55 kali dalam masa hidupnya. Dan, tidak pernah satu kali pun kesempatan itu dijalaninya tanpa ikut belajar ilmu-ilmu agama, baik di Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi.

Tiap musim haji, ulama-ulama terkemuka dari pelbagai penjuru negeri Islam berkumpul di Makkah dan Madinah. Tidak hanya untuk menunaikan rukun Islam kelima, tetapi juga berdakwah dan mendiskusikan ilmu.

 
Perjalanan ke Tanah Suci merupakan semacam obat kerinduan bagi Abu Hanifah. Tercatat, ia menunaikan haji sebanyak 55 kali dalam masa hidupnya.
 
 

Ada satu guru yang sangat mempengaruhi Abu Hanifah. Dialah Imam Hammad bin Abu Sulaiman. Ulama itu disebut-sebut sebagai pemimpin para fukaha Irak. Dari sosok tersebut, Abu Hanifah mendapatkan banyak hikmah dan pelajaran, terutama dalam disiplin ilmu hadis dan fikih. Ia memandangnya dengan penuh takzim. Sebaliknya, Imam Hammad menyayangi dan mengagumi daya intelektual muridnya itu.

Dikisahkan, pada suatu ketika ulama yang pernah menjumpai sahabat Nabi SAW, Anas bin Malik, itu pergi ke luar kota. Abu Hanifah ditunjuk guru pengganti sementara. Sewaktu majelis ilmu digelar, sejumlah 60 pertanyaan diajukan para peserta mengenai topik yang sedang dibahas. Semua pertanyaan itu dapat dijawab Abu Hanifah dengan lancar.

Beberapa hari kemudian, Imam Hammad kembali ke Kufah. Abu Hanifah pun menceritakan tentang 60 pertanyaan jamaah halakah dan jawaban-jawaban yang disampaikannya kepada mereka.

photo
ILUSTRASI Imam Abu Hanifah merupakan satu-satunya Imam Empat Mazhab Aswaja yang tidak berasal dari Arab. - (DOK REP DAAN YAHYA)

Imam Hammad menyatakan setuju dengan 40 jawaban muridnya itu dan berbeda pendapat dengan 20 jawaban lainnya. Sang imam lalu menerangkan sebab-sebab perbedaannya itu. Ternyata, Abu Hanifah telah mengetahui penjelasan tersebut sehingga bertambah kagumlah gurunya itu.

Sepeninggalan Imam Hammad, Abu Hanifah menggantikan posisi gurunya itu sebagai pengajar utama di halakah Masjid Kufah. Ahli fikih yang akrab disapa Imam Hanafi ini tidak hanya dikenal lantaran kedalaman ilmu, tetapi juga karakteristik pribadinya.

Dalam bertutur kata, ia selalu lemah lembut dan halus sehingga menarik hati orang-orang. Sifatnya tegas, teguh berpendirian, dan berjiwa merdeka. Berani mengatakan kebenaran dan menunjuk kesalahan yang ada walaupun di hadapan penguasa.

 
Sepanjang 70 tahun masa hidupnya, Imam Hanafi tidak melahirkan secara langsung karya dalam bentuk kitab. Ide, pandangan, dan fatwa-fatwanya seputar kehidupan keagamaan ditulis dan disebarluaskan oleh murid-muridnya.
 
 

Sepanjang 70 tahun masa hidupnya, Imam Hanafi tidak melahirkan secara langsung karya dalam bentuk kitab. Ide, pandangan, dan fatwa-fatwanya seputar kehidupan keagamaan ditulis dan disebarluaskan oleh murid-muridnya. Karya-karya fikih yang dinisbatkan kepadanya adalah Al-Musnad dan Al-Kharaj.

Salah satu anak didiknya yang terkenal adalah Muhammad bin al-Hassan al-Shaibani, yang di kemudian hari menjadi guru Imam Syafi'i. Beberapa muridnya yang lain adalah Ibrahim bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin al-Aghar bin ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru al-Bajali, Ismail bin Yahya al-Sirafi, al-Harits bin Nahban, al-Hasan bin Ziyad, serta Hafsh bin Abdurrahman al-Qadhi.

Hamzah—seorang teman Imam Hanafi yang penjual minyak wangi—juga mengaku berguru kepadanya. Begitu pula dengan Dawud ath-Thai, Sulaiman bin Amr an-Nakhai, Su'aib bin Ishaq, Abdullah bin Mubarak, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, serta Abdullah bin Zubair al-Qurasy.

photo
ILUSTRASI Pada abad kedua Hijriyah, ilmu fikih mulai berkembang luas di berbagai daerah kekhalifahan. - (DOK PXHERE)

Fatwa-fatwa ataupun pemikiran sang alim banyak dicatat para muridnya. Melalui goresan tangan mereka, pandangan-pandangan Imam Hanafi terus dipelajari, menyebar luas ke banyak negeri Islam. Bahkan, pada akhirnya ia diakui mayoritas kaum Muslimin sebagai salah satu dari pendiri mazhab fikih ahlus sunnah waljama’ah (aswaja).

Keempat imam mazhab fikih aswaja tentunya merupakan alim ulama yang luar biasa berilmu, bijaksana, dan berpengaruh besar. Bagaimanapun, Imam Hanafi memiliki “keunikan” bila dibandingkan dengan ketiga mujtahid aswaja lainnya, yakni Imam Syafii, Imam Malik, dan Imam Hambali.

Pertama-tama, ahli ijtihad kelahiran Kota Kufah itu adalah satu-satunya imam mazhab yang berbangsa non-Arab. Kedua, barangkali, dialah yang paling berharta-benda di antara para peletak dasar fikih aswaja tersebut.

 
Imam Hanafi adalah ahli ijtihad kelahiran Kota Kufah satu-satunya imam mazhab yang berbangsa non-Arab.
 
 

Mengutip Sirot Fajar dalam buku Hidup Bahagia Tanpa Keluh Kesah, Imam Hanafi adalah seorang pedagang yang kaya raya. Fokus usahanya ialah menjual kebutuhan sandang, termasuk kain-kain impor dari bahan sutra dan bulu.

Sebelum menerima nasihat dari Imam Amir bin Syurahbil asy-Sya’bi, dirinya sering sekali bepergian dari satu negeri ke negeri lain untuk berniaga. Barulah sesudah asy-Sya’bi menyarankannya agar berkonsentrasi pada dunia ilmu-ilmu agama, ia mengurangi intensitas perjalanan bisnis.

Sebagai orang yang alim dan berada, Imam Hanafi sangat antusias dalam beramal. Bila ia mengeluarkan nafkah kepada diri dan keluarganya, saat itu pula sedekahnya dikeluarkan dengan jumlah yang sama kepada orang-orang lain yang membutuhkan.

Sebagai contoh, ketika sang imam memakai baju baru, maka ia langsung membelikan orang-orang miskin sejumlah baju baru dengan nilai dan harga yang sama—atau bahkan lebih—dengan pakaiannya itu. Begitu pula saat ia mendapatkan berbagai rezeki, semisal makanan, minuman, dan lain-lain.

 
Tiap akhir tahun, Imam Hanafi selalu melakukan tutup buku. Saat itu, dia akan menghitung seluruh laba perniagaannya.
 
 

Tiap akhir tahun, Imam Hanafi selalu melakukan tutup buku. Saat itu, dia akan menghitung seluruh laba perniagaannya. Dari keuntungan yang ada, ia mengambil sekadarnya saja untuk mencukupi kebutuhan pribadi.

Adapun jumlah yang lebih besar dialokasikannya untuk bersedekah dan hadiah. Para qari, ahli hadis, ulama fikih, serta anak-anak muda yang sedang menuntut ilmu-ilmu agama. Merekalah yang menjadi sasaran Imam Hanafi dalam bederma.

Di berbagai kesempatan, tokoh yang wafat pada 150 H ini kerap berpetuah, dirinya hanyalah perantara yang melaluinya Allah mendatangkan sebagian dari rezeki-Nya kepada hamba-hamba-Nya. “Demi Allah, aku tidaklah memberi orang-orang sedikit pun dari hartaku. Sebab, itu adalah karunia dari Allah bagi kalian yang melalui tanganku.”

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat