Ilustrasi melaksanakan shalat. Jumhur ulama berpendapat menjamak shalat dalam perjalanan adalah dibolehkan. | ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

Khazanah

Menginap Saat Perjalanan, Masih Bolehkah Menjamak Shalat?

Jumhur ulama berpendapat menjamak shalat dalam perjalanan adalah dibolehkan.

OLEH ALI YUSUF 

Di antara keringanan yang diberikan Allah SWT kepada kaum Muslimin adalah dalam melaksanakan kewajiban shalat lima waktu. Salah satunya, dibolehkan bagi umat Islam yang sedang melakukan perjalanan (menurut jumhur ulama, perjalanan lebih kurang 83 km) untuk mengqashar shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat.

Allah SWT berfirman, “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar shalat-(mu)...” (QS an-Nisa [4]: 101).

Bahkan, menurut pendapat ulama yang kuat, meng-qashar shalat ketika dalam perjalanan hukumnya adalah sunah muakkadah karena Nabi SAW tidak pernah meninggalkannya. Dari Ibnu Umar RA, ia berkata, “Saya sering menemani Rasulullah SAW dan ketika dalam perjalanan beliau tidak pernah menambah shalat fardhunya dari dua rakaat.” (HR Bukhari dan Muslim).

Juga dibolehkan bagi umat Islam ketika dalam perjalanan untuk menjamak dua shalat untuk dilakukan pada satu waktu, baik itu jamak takdim maupun jamak takhir. Menurut jumhur ulama, kebolehan menjamak dan meng-qashar shalat ketika dalam perjalanan itu tidak hanya sewaktu dalam perjalanan, tetapi juga ketika singgah atau menginap di suatu tempat.

Jika seseorang menetap di suatu tempat untuk melakukan atau mengurus keperluannya, tetapi dia tidak meniatkan dan tidak tahu berapa lama ia akan tinggal di tempat tersebut, jumhur ulama dari kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Hambali, dan sebagian ulama mazhab Syafi’i berpendapat ia masih dianggap dalam perjalanan.

Adapun jika seseorang berniat untuk menetap selama beberapa waktu di suatu tempat, seperti untuk wisata, tugas kerja, dan belajar, jumhur ulama berpendapat, berakhirlah hukum safarnya dan ia harus melakukan ibadah-ibadahnya sebagaimana ibadah orang yang menetap.

Sementara itu, jumhur ulama dari kalangan mazhab Maliki, Syafi’i, dan salah satu riwayat dari mazhab Hambali berpendapat, jika seseorang berniat menetap di suatu tempat selama empat hari, habislah masa keringanan baginya untuk mengqashar dan menjamak shalat.

Terkait hal ini, ulama lulusan Universitas Islam Madinah, Ustaz Enjang Zaenal Asyikin Lc, mengatakan, seorang musafir masih bisa menjamak dan mengqashar shalatnya, meski sudah sampai di tempat yang dituju. Meski demikian, ada hal-hal yang patut diperhatikan terkait kebolehan itu.

Di antaranya, musafir harus menyesuaikan dengan keperluannya tatkala berada di tempat tujuan. "Jika keperluannya lebih dari empat hari, maka ketika sampai di tempat tujuannya dianggap terputus perjalanannya. Sehingga sudah tidak boleh melaksakan shalat dengan cara jamak dan qashar," kata Ustaz Enjang kepada Republika, belum lama ini.

Sementara itu, ulama dari Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Ahmad Zarkasih Lc, mengatakan, hendaknya seorang Muslimin memperhitungkan batas masa tinggalnya di tempat tujuan. Menurut dia, jika ia tahu akan singgah lebih dari tiga hari, artinya empat hari lebih, maka shalatnya tidak boleh dijamak dan diqashar.

"Hari kedatangan tidak dihitung. Ia sudah tidak boleh jamak dan qashar sejak sampai lokasi itu," ujar dia.

Ia mencontohkan, ada orang Jakarta dapat tugas ke Palembang, kemudian menginap di hotel. Surat tugasnya menyebut, ia harus tinggal di Palembang untuk urusan pekerjaan selama lima hari. Maka, sejak ia sampai di lokasi, tidak perlu menunggu sampai lima hari, ia sudah tidak boleh shalat jamak dan qashar.

"Jika ia tahu akan singgah di lokasi kurang dari empat hari, maka selama di lokasi ia tetap boleh jamak dan qashar shalat," katanya.

Namun, jika ia tidak tahu berapa lama ia akan singgah karena memang tujuannya tidak bisa ditentukan, seperti mencari orang hilang atau menjaga orang sakit atau apa pun yang membuatnya tidak bisa menentukan berapa lama ia singgah, maka orang seperti ini boleh menjamak dan mengqashar shalat di lokasi tujuan itu sampai 18 hari. “Wallahu a'lam,” katanya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat