Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Negeri yang Kehilangan Nalar

Begitu banyak logika terbalik terjadi di negeri yang kehilangan nalar. Entah sampai kapan hal ini berlangsung.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Pernahkah kamu mendengar kisah negeri yang kehilangan nalar?

Di sana, banyak keanehan terjadi tanpa disadari penduduknya. Di negeri ini, seseorang yang dibui setelah dinyatakan bersalah dalam kasus pedofilia, dirayakan kebebasannya saat  keluar dari penjara, bak pahlawan yang telah banyak mengantongi tanda jasa.

Sebuah kendaraan mewah disiapkan untuk menyambut sang mantan napi. Bukan sembarang kendaraan, melainkan jenis mobil sport convertible yang bagian atapnya bisa dibuka sehingga pelaku pedofilia tersebut leluasa menunjukkan diri, melambaikan tangan, dan menyapa publik saat kilauan kamera menyongsongnya.  

Nyaris semua jaringan berita dan media televisi besar, dengan antusias menyiarkan secara langsung, tidak ingin ketinggalan berita yang pasti meraup perhatian masyarakat.

Maka itu, serangkaian gambar termasuk video mengalir deras, dimulai sejak mantan napi tersebut keluar penjara, menaiki mobil, hingga menjumpai khalayak. Lelaki yang pernah melecehkan remaja pria itu tampak membentangkan tangan lebar-lebar, menunjukkan suka cita pada hari kebebasan.

 
Adakah yang terusik dan merasakan keganjilan? Bukankah lazimnya, terpidana dengan jenis kejahatan seperti ini tertunduk malu meski telah selesai menjalani hukuman.
 
 

Adakah yang terusik dan merasakan keganjilan? Bukankah lazimnya, terpidana dengan jenis kejahatan seperti ini tertunduk malu meski telah selesai menjalani hukuman, menunjukkan penyesalan dan komitmen sungguh-sungguh untuk tidak akan pernah mengulangi?

Miris, terasa menghunjam ke bagian hati terdalam. Membayangkan sangat mungkin pada saat sama, korban masih harus berjuang mengatasi trauma berkepanjangan. Mereka tak menanggung kedukaan sendiri, sebab pihak keluarga dan kerabat pasti terbebani dengan kejadian buruk yang menimpa anak atau saudara mereka.

Tidak cukup meliput, berbagai stasiun televisi lalu mengantre meminta jadwal eks napi tersebut untuk wawancara khusus yang diharap mendongkrak rating mereka.

Suka tidak suka, saya lalu berpikir. Sebenarnya, siapa yang paling bertanggung jawab terhadap ingar bingar ini? Atau jangan-jangan sulit untuk menentukannya. Seolah mengulang teka-teki telur dan ayam, mana yang lebih dulu di antara keduanya?

Apakah media berbondong-bondong mengangkat berita karena antusiasme masyarakat atau sebaliknya? Sebab, media sejak awal memviralkan maka  masyarakat yang semula tidak peduli atau tidak mawas, meluas ketertarikannya?

Mengingat besar pengaruh media, saya lebih percaya, jika saja semua media mengabaikan kejadian ini, tidak akan banyak masyarakat peduli terhadap sosok sang pedofil.

 
Mereka yang telah nyata-nyata mengharumkan nama bangsa, dengan menyabet prestasi internasional, hanya disambut pejabat ofisial,  keluarga, dan kolega. 
 
 

Bersyukur di negeri yang kehilangan nalar, masih ada masyarakat yang memiliki akal sehat. Beberapa pihak spontan menyerukan boikot terhadap media yang menyambut mantan napi tersebut dengan kemeriahan.

Petisi pun disebarkan secara daring dan dalam waktu singkat mencapai 300 ribu pendukung. etidaknya, kita boleh bernapas lega atas keberadaan segelintir warga sehat di sana. Kriminal, apalagi penjahat kelamin yang merusak generasi penerus, tak seharusnya mendapatkan panggung di mana pun.

Terlebih, ketika pahlawan sesungguhnya yang baru saja kembali tidak memperoleh sambutan hangat. Atlet Paralimpik tiba dengan prestasi dua medali emas, tiga perak, dan empat perunggu. Pencapaian besar setelah 40 tahun penantian disambut kesenyapan, tanpa keramaian masyarakat ataupun media.

Mereka yang telah nyata-nyata mengharumkan nama bangsa, dengan menyabet prestasi internasional, hanya disambut pejabat ofisial, keluarga, dan kolega. Liputan media ada, tetapi kalah jauh oleh 'tim hore' yang menyanjung-nyanjung kebebasan sang pedofil.

Berpekan sebelumnya, kedatangan atlet Olimpiade berprestasi di negeri itu pun tidak menuai sambutan megah. Benar, media hadir lebih banyak dibandingkan saat menyambut atlet paralimpik, tetapi tetap tidak seriuh liputan bebasnya eks narapidana yang juga selebritas itu.

Bahkan, jika puluhan pahlawan muda Tanah Air pulang membawa medali setelah memenangkan Olimpiade fisika, matematika, kimia, atau kompetisi akademik tingkat dunia, tidak banyak yang merayakan. Media yang meliput pun bisa dihitung dengan jari.

 
Begitu banyak logika terbalik terjadi di negeri yang kehilangan nalar. Entah sampai kapan hal ini berlangsung. 
 
 

Ah, betapa aneh dan terasa janggal negeri ini. Hanya di sana, korban pelecehan seksual berakhir di penjara karena mengungkap kejahatan pelaku. Sedangkan penjahat yang seharusnya dihukum justru berkeliaran bebas. Untung saja pemimpin negerinya sadar ada yang tidak beres sehingga memberikan  amnesti.

Masih di negeri yang kehilangan nalar, korban penipuan menjadi tersangka sebab membuka kasusnya ke media sosial. Sang penipu sendiri tetap bebas dan hidup senang, setelah berhasil membuat korban kejahatannya berurusan dengan hukum.

Di negeri itu pula, ada pengemplang utang yang membuat orang yang meminjaminya, menjadi tersangka hanya karena menagih melalui media sosial. Betapa tidak masuk akalnya. Pihak yang telah membantu meminjamkan uang, bukan hanya kehilangan dana, masih harus pula berurusan dengan pengadilan.

Begitu banyak logika terbalik terjadi di negeri yang kehilangan nalar. Entah sampai kapan hal ini berlangsung. Semoga saja, bagian penting yang telah lama hilang dari negeri itu, berangsur kembali ditemukan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat