Petugas kesehatan mengambil sampel lendir hidung warga, termasuk mahasiswa, santri dan pelajar saat tes usap antigen Covid-19 gratis di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Aceh di Banda Aceh, Aceh, Jumat (13/8/2021). Pandemi Covid-19 sepatutnya menja | ANTARA FOTO/Ampelsa/hp.

Opini

Covid-19 Ujian Bagi Desentralisasi Fiskal

Pandemi Covid-19 sepatutnya menjadi pembelajaran pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

HELMIZARKepala Pusat Kajian AKN Badan Keahlian DPR; TEUKU SURYA DARMA, Analis Non-ASN Puskaji AKN

Sejatinya, pandemi Covid-19 bukan hanya memberikan pembelajaran bagi penyelenggara negara dari sektor kesehatan tetapi juga pengelolaan keuangan negara. Yakni saat negara dituntut memastikan ketersediaan obat-obatan dan alat medis serta mempersiapkan pusat karantina beserta fasilitasnya. Begitu pun, negara harus hadir mencegah dan mengendalikan dampak pandemi bagi masyarakat.

Dalam kurun hampir dua tahun ini, ketidaksederhanaan itu ditunjukkan dari “tarik-menarik” kewenangan antara pusat-daerah saat penetapan status pandemi pada satu daerah, nilai bantuan dan verifikasi data calon penerima saat penyaluran bansos.

Selain itu, penetapan prioritas kebutuhan dan ketersediaan alat serta fasilitas medis di rumah sakit rujukan di daerah, terutama ketika dikaitkan dengan isu serba kekurangan.

Belum lagi dinamika koordinasi antarkementerian/lembaga di pemerintah pusat yang memberi kesan ada “ego sektoral” dan cenderung menguntungkan satu pihak daripada berupaya "berlomba-lomba" memberikan kemanfaatan lebih besar untuk masyarakat.

Permasalahan ini mestinya tak terjadi jika penyelenggara pemerintahan menyadari di antara tujuan otonomi daerah adalah mewujudkan kesinambungan pembangunan dan meningkatkan mutu pelaksanaan program prioritas nasional maupun daerah.

Dalam hal ini ketika penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional ditetapkan sebagai prioritas, negara dapat melibatkan pemda dan masyarakat. Maka kualitas pelaksanaannya akan sangat tergantung "kecakapan" pemda mengelola keuangannya masing-masing.

 
Penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional ditetapkan sebagai prioritas, negara dapat melibatkan pemda dan masyarakat.
 
 

Negara telah menetapkan kebijakan desentralisasi fiskal yang diatur UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, untuk mengurangi kesenjangan antardaerah sekaligus mendorong peningkatan kemandirian daerah.

Namun pertanyaannya, mengapa tidak bergantung pada sektor penerimaan? Ada apa dengan sumber pendapatan daerah? Kondisi ini  konsekuensi logis kebijakan desentralisasi dengan pendekatan belanja.

Daerah memiliki kewenangan mengelola belanja didasarkan pada diskresi masing-masing daerah tanpa harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah pusat, sehingga kecepatan dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dapat diwujudkan.

Dari sisi pengelolaan penerimaan, pemda masih sangat tergantung belanja “Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD)”.

Hal ini terkonfirmasi dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani (2021) yang menyebutkan, pendanaan daerah sangat tergantung pada 65 persen TKDD (DAU, DAK, DBH, dan transfer Lainnya), sementara kontribusi PAD sekitar 23 persen dan pendapatan lainnya  8,4 persen.

Kajian PKAKN Badan Keahlian DPR (2017) menyebutkan, pada periode TA 2014-2016, ketergantungan fiskal terjadi pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah yang rata-rata masing-masing sekitar 74 persen, 66 persen, dan 73 persen.

Bahkan saat pandemi ini, Djohermansyah Djohan (2021) menyebutkan, “Kalau dibiarkan, daerah akan bertambah terus ketergantungannya dan kalau zaman pandemi Covid-19 ini bisa babak belur.”

Berdasarkan fakta di atas, wajar jika harapan atas keberhasilan penanganan pandemi Covid-19 disandarkan pada sejauh mana pemda 'cakap’ pemanfaatan belanja daerah.

 
Wajar jika harapan atas keberhasilan penanganan pandemi Covid-19 disandarkan pada sejauh mana pemda 'cakap’ pemanfaatan belanja daerah.
 
 

Meskipun lagi-lagi, faktanya menunjukkan, permasalahan rendahnya serapan APBD yang menjadi salah satu ukuran kinerja pengelolaan keuangan daerah, selalu menghiasi pemberitaan di berbagai media.

Sebutlah saja data yang disampaikan Mochamad Ardian Noervianto (2021), dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, realisasi belanja APBD se-Indonesia secara agregat hingga 15 Juli 2021 hanya 33,08 persen atau Rp 410,06 triliun.

Realisasi tingkat provinsi 35,18 persen atau Rp 138,17 triliun, sedangkan tingkat kabupaten/kota Rp271.89 triliun atau 32,11 persen.

Berdasarkan berbagai uraian di atas, pandemi Covid-19 sepatutnya menjadi pembelajaran sekaligus parameter penilaian terhadap evaluasi pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang  berlangsung sejak 1999.

 
Pandemi Covid-19 sepatutnya menjadi pembelajaran sekaligus parameter penilaian terhadap evaluasi pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang berlangsung sejak 1999.
 
 

Begitu pun sejatinya, pandemi Covid-19 menjadi sarana evaluasi dini penyelenggaraan pemerintahan di level desa. Melalui UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, kewenangan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan, serta pemberdayaan masyarakat  dikembangkan dan menjadi amanat pada level pemerintahan desa.

Penilaian tersebut bisa saja dibantah jika pemangku kepentingan bisa memperbaiki implementasi pola hubungan fiskal antarpemerintahan.

Tentunya perbaikan disertai pengaturan mengenai batas resmi tentang penyerahan fungsi, wewenang, dan pembiayaan yang disesuaikan dengan keberagaman etnis dan demografi.

Dengan demikian, pada masa mendatang, pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dapat mengakomodasi setiap kebutuhan pemda maupun pemerintah pusat sehingga kemandirian fiskal daerah bukan "utopia". 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat