Akmal Nasery Basral, setiap karya punya cerita. | DOK IG Akmal Basral

Hiwar

Akmal Nasery Basral, Setiap Karya Punya Cerita

Ada banyak pengalaman menarik dalam melahirkan karya. Setiap buku punya ceritanya sendiri.

Baru-baru ini, sastrawan Akmal Nasery Basral menerima Penghargaan Penulis Nasional (National Writer’s Award) 2021 kategori fiksi dari Perkumpulan Penulis Satupena. Dalam keterangannya, Ketua Satupena Dr Nasir Tamara memuji novelis yang kini berusia 53 tahun itu. “Karya-karya Akmal menunjukkan kedalaman riset dan aspek sejarah yang kuat. Itu yang membuat dewan juri sepakat memberikan penghargaan kategori fiksi kepadanya,” ujarnya (Republika, 15/8).

Akmal Nasery Basral bukanlah nama baru dalam dunia kesusastraan Indonesia kontemporer. Mantan jurnalis Gatra dan Tempo itu telah menghasilkan sekitar 20 karya. Beberapa di antaranya telah dialihwahanakan menjadi film layar lebar, semisal Sang Pencerah. Novel sejarah tentang pendiri Persyarikatan Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan itu difilmkan dengan sutradara Hanung Bramantyo.

Pada 2020, alumnus FISIP Universitas Indonesia itu menjadi penulis paling produktif di Republika Penerbit. Melalui itu, ia telah menerbitkan tiga karya, yakni Setangkai Pena di Taman Pujangga (kisah Buya Hamka muda sampai berumur 30 tahun), Gitasmara Semesta (sekuel Dilarang Bercanda dengan Kenangan), dan kumpulan cerpen Putik Safron di Sayap Izrail. Selain ketiga buku itu, ayah tiga orang putri tersebut belum lama ini menerbitkan novel fiksi ilmiah, Disorder.

Kepada wartawan Republika, Syahruddin El Fikri, penulis berdarah Minangkabau ini berkisah tentang proses kreatifnya. Berikut petikan perbincangan mereka.

Bagaimana kesan Anda setelah meraih penghargaan National Writer’s Award 2021 baru-baru ini?

Terima kasih, penghargaan ini tak mungkin saya peroleh tanpa bantuan Republika Penerbit. Saya sempat vakum menulis empat tahun sebelum kembali novel saya terbit pada akhir Desember 2018. Novel itu adalah Dilarang Bercanda dengan Kenangan, yang dipublikasikan Republika Penerbit.

Itu novel pertama saya setelah jeda menulis cukup lama. Dari novel itu, sampai sekarang —kurang lebih dua setengah tahun— saya sudah menerbitkan sembilan karya. Empat di antaranya diterbitkan oleh Republika Penerbit. Jadi, cukup beralasan jika saya sebut, nama saya sebagai penulis kembali terangkat berkat Republika Penerbit.

Novel pertama dalam karier kepenulisan Anda, Imperia, berkisah tentang karut-marut perpolitikan Indonesia. Dilarang Bercanda dengan Kenangan bersifat romansa. Anda berpindah genre?

Imperia (2005) adalah pengamatan saya tentang Indonesia pasca-Reformasi 1998 yang saya kemas secara prosais. Bagaimana pembusukan sosial-politik terjadi di banyak sektor.

Banyak sosok penting yang mengkhianati pengorbanan rakyat. Purnawirawan militer yang kongkalikong dengan wartawan senior, misalnya. Atau advokat kondang yang kolusi dengan politikus kawakan. Sampai-sampai, pesohor dunia pertunjukan yang terlibat dalam praktik-praktik lancung.

Awalnya kisah ini hanya untuk satu cerita saat diterbitkan Akoer Publishing, milik pakar marketing Kafi Kurnia. Delapan tahun kemudian, Gramedia Pustaka Utama tertarik menerbitkan ulang. Mereka meminta saya mengembangkannya dengan dua sekuel. Jadilah Trilogi Imperia: Ilusi Imperia, Rahasia Imperia, Coda Imperia.

Setelah itu saya vakum menulis. Sebab, perhatian saya sedang teralihkan oleh minat lain, yakni ekonomi Islam. Sebab, saya mendapat kesempatan melanjutkan kuliah pascasarjana di bidang itu.

Namun, saya tidak ingin bekerja di lembaga keuangan syariah. Saya hanya ingin mendapatkan ilmunya untuk bisa saya terapkan dalam novel-novel saya berikutnya, sebagai bagian yang integral dengan cerita.

Bagaimana hasilnya pengintegrasian itu?

Pada Gitasmara Semesta: Dilarang Bercanda dengan Kenangan 2. Ketika tokoh Aida Jderescu yang peranakan Kurdi-Rumania hendak dilamar oleh protagonis Johansyah Ibrahim, cowok Indonesia. Aida meminta mahar 20 ekor kambing. Dia mendasari pada mahar 20 ekor anak unta yang diberikan Rasulullah Muhammad SAW kepada Khadijah.

Aida meminta 20 ekor kambing yang terdiri atas 10 pasang jantan dan betina dewasa, yang kemudian dipinjamkan ke 10 pesantren dhuafa. Setelah pasangan kambing-kambing melahirkan anak, indukannya itu kemudian dipinjamkan ke pesantren lain. Begitu seterusnya hingga perkembangbiakan kambing juga menjadi manfaat bagi banyak pesantren dhuafa.

Apakah novel tersebut merupakan pantulan kisah pribadi atau murni dari imajinasi Anda?

Pantulan kisah pribadi, dalam arti pengalaman asmara saya, tidak ada. Novel itu adalah pengembangan dari cerpen saya (2006) yang berjudul serupa. Idenya dari pengalaman saya saat menjadi wartawan Gatra yang meliput pemakaman Lady Diana Spencer di London, Inggris, pada 1997.

Pada malam sebelum pemakaman, di depan Istana Kensington yang penuh sesak oleh peziarah dari berbagai negara, saya sempat berbicara dengan orang Kurdi. Dari sana, ide berkembang.

Dari cerpen singkat enam halaman itu, kemudian saya kembangkan menjadi novel hampir 500 halaman yang diterbitkan Republika Penerbit. Ternyata, respons pembaca cukup bagus sehingga dilanjutkan ke sekuelnya, lalu menjadi dwilogi.

Adakah pengalaman menarik lainnya dalam melahirkan sejumlah karya?

Ada banyak. Setiap buku punya ceritanya sendiri. Salah satu yang berkesan adalah ketika saya diminta panitia proyek solidaritas sosial, Project Sunshine for Japan (2013), untuk menyumbangkan cerpen. Karya itu dimaksudkan sebagai tanda simpati bagi korban triple disaster, yakni gempa bumi, tsunami, dan kebocoran reaktor nuklir di Tohoku dan Fukushima dua tahun sebelumnya.

Proyek probono ini digagas Universitas Dortmund, Jerman. Ada 42 penulis dari 15 negara yang berpartisipasi. Yang paling terkenal adalah Gunter Grass, penerima Nobel Sastra 1999 asal Jerman.

 
Dari cerpen singkat enam halaman itu, kemudian saya kembangkan menjadi novel hampir 500 halaman yang diterbitkan Republika Penerbit.
 
 

Cerpen bahasa Inggris saya berjudul “Swans of The Rising Sun” termasuk dalam buku Project Sunshine for Japan tersebut. Setelah lima tahun, cerpen tersebut hanya beredar terbatas di luar negeri.

Kemudian, saya olah dan kembangkan menjadi novel berbahasa Indonesia dengan judul Te O Toriatte (Genggam Cinta) yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada akhir Desember 2019.

Novel itu lalu diluncurkan pada saat Peringatan 15 tahun Tsunami Aceh di Sigli, Pidie. (Peresmian buku) itu menjadi bagian dari acara resmi Gubernur Aceh, Ir Nova Iriansyah, yang dihadiri pewakilan diplomatik dari negara-negara donor.

Dari sebuah cerpen tentang tsunami di Jepang menjadi kisah tentang tsunami di Aceh. Bagaimana prosesnya?

Novel itu (Te O Toriatte) berkisah tentang seorang anak baru gede, ABG, 14 tahun penyintas tsunami Aceh pada 2004. Kedua orang tua dan tiga adiknya tewas sehingga dia sebatang kara.

Ketika kisah hidupnya ditulis media massa, ada sepasang suami-istri di Fukushima (Jepang) yang tertarik mengadopsinya. Sebab, mereka juga baru kehilangan seorang anak usia sebayanya.

Anak Aceh itu kemudian pindah ke Jepang dan sempat hidup normal selama tujuh tahun berikutnya sampai kuliah. Lalu, terjadilah triple disaster 2011 di Tohoku dan Fukushima itu yang merenggut nyawa kedua orang tua angkatnya. Jadi, anak itu mengalami dua kali musibah besar yang membuatnya mengalami PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).

Bagaimana penerimaan novel tersebut yang Anda rasakan?

Novel ini seharusnya terbit pertengahan 2019. Namun, ada hal teknis yang membuat peluncurannya tertunda. Sehingga, (Te O Toriatte) baru bisa keluar percetakan pada November.

Begitu saya posting di Facebook, ada respons dari Dr Hendra Syahputra, seorang dosen di Banda Aceh. Dia yang tertarik dan langsung berinisiatif mengontak Pemprov Aceh, yang sedang bersiap mengadakan Peringatan 15 Tahun Tsunami (2004-2019). Ternyata ide dadakan itu disambut Pemprov Aceh dengan positif. Akhirnya, saya ikut naik panggung di Sigli.

Dimulai dari penundaan terbit yang justru membawa berkah. Dan, berkah itu terus berlanjut. Setelah novel itu terbit, saya diwawancarai Asahi Shimbun, koran terbesar kedua di Jepang yang masih bertiras enam juta eksemplar per hari—di masa kejayaannya pernah 15 juta eksemplar sehari.

Saat ini, novel itu hampir rampung diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh seorang wartawati Kyodo yang juga master Sastra Inggris lulusan Universitas Kyoto. Terjemahan Jepang ini rencananya akan dirilis pada Desember 2021.

Baru-baru ini, Anda juga menulis Disorder, sebuah fiksi ilmiah tentang dunia virus dan pandemi di masa depan. Mengingat Anda tidak berkecimpung dalam dunia epidemiologi, seberapa sulit penulisan karya ini?

Ya. Tingkat kesulitannya tinggi. Awalnya, ada novel The End of October yang ditulis jurnalis kawakan Lawrence Wright, terbit April 2020. Kisahnya tentang pandemi berikutnya yang muncul dari Indonesia. Rupanya, CEO Bentang Pustaka, Salman Faridi, juga sedang membaca novel itu.

Saya bilang, pandemi berikutnya kecil kemungkinannya dari Indonesia. Dan, saya bisa menulis novel sejenis The End of October, berbasis riset dan evidence-based. Ternyata, tawaran saya diterima dengan syarat, naskah harus disetor sebelum Oktober. Padahal, saat itu sudah awal Juni.

Hanya empat bulan. Gawat! Meski waktu SMA saya jurusan IPA, tapi tentu tak cukup kalau hanya dengan modal itu. Maka saya buat kisah pendek 5 bab yang saya konsultasikan kepada seorang ahli epidemiologi klinis, seorang ahli biologi molekuler, seorang pakar neurosains, dan seorang ahli sosiologi perkotaan. Masukan mereka menjadi fondasi bagi saya dalam mengembangkan kisah itu menjadi 52 bab.

photo
Beberapa karya Akmal Nasery Basral yang diterbitkan Republika Penerbit. - (DOK IST)

 

Buku Baru Sambut HUT RI

Sastrawan Akmal Nasery Basral kembali meluncurkan karya terbarunya. Kali ini, buku karangannya yang terbit pada Agustus 2021 berjudul Taman Iman Taman Peradaban. Menurutnya, peluncuran biografi sastrawi itu dilakukan dalam rangka menyambut peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-76 Republik Indonesia.

Taman Iman Taman Peradaban berisi biografi 10 tokoh agama di Indonesia. Uniknya, pemaparan tentang mereka dikemas dalam bentuk antologi puisi-esai. Kesepuluh tokoh itu terdiri atas lima orang pemuka agama Islam (KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Buya Hamka, Mr Sjafruddin Prawiranegara, dan Syekhah Rahmah El Yunusiyah) serta lima pemuka agama non-Muslim, yakni YB Mangunwijaya (Katolik), Ihromi (Protestan), Gedong Bagus Oka (Hindu), Ashin Jinarakkhita (Budhis), dan Bingky Irawan (Konghucu).

Alhasil, semua figur yang diangkat dalam buku tersebut mewakili enam agama resmi yang diakui pemerintah. Akmal mengatakan, Taman Iman Taman Peradaban diterbitkan oleh Penerbit Cerah Budaya Indonesia. Masyarakat dapat mengunduh dan menyebarluaskannya secara cuma-cuma dalam format digital (pdf).

photo
Salah satu karya terbaru Akmal Nasery Basral. - (DOK IST)

Karya itu menjadi buku ke-21 Akmal. Kini, ia mengaku sedang menggarap tiga naskah. Salah satunya adalah sekuel kisah Buya Hamka, Setangkai Pena di Taman Pujangga yang terbit tahun lalu. Kelanjutan yang dimaksud, yakni kisah periode sang Buya saat berusia 31 tahun hingga wafatnya.

“Ini akan saya beri judul Serangkai Makna di Mihrab Ulama. Dari tiga naskah, ini yang paling sulit,” tuturnya.

Kesukaran itu tidak hanya disebabkan fakta, Buya Hamka adalah seorang ulama besar dalam sejarah Indonesia modern. Terlebih lagi, kehidupan ketua umum pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu memiliki kompleksitas tersendiri. Pahlawan nasional RI itu tidak hanya aktif dalam dunia dakwah dan kepenulisan, tetapi juga politik.

“Saya harus mencari cara penyampaian yang khas dan berbeda dengan buku-buku tentang Buya Hamka lainnya yang sudah ada di pasaran. Apalagi, masih cukup banyak generasi senior yang masih hidup dan sempat menjadi murid Buya Hamka,” jelasnya.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat