ILUSTRASI Balatentara Nippon saat Perang Dunia II. | DOK NU

Tema Utama

Penjajahan Jepang di Indonesia dan Perlawanan Ulama

Mulanya, kedatangan Jepang disambut gembira rakyat yang muak kolonialisme Eropa.

OLEH HASANUL RIZQA

Meski 'singkat', masa pendudukan Jepang kian menyengsarakan rakyat Indonesia. para tokoh Muslim berjuang mengubah keadaan saat itu. Inilah beberapa dari banyak kisah heroisme mereka.

Latar Okupasi Jepang di Indonesia

 

Istilah “perang dunia” pertama kali muncul di sebuah koran Jerman pada 1914. Media tersebut menyebutnya Weltkrieg (Perang Dunia), merujuk pada rentetan perang yang dipicu eskalasi ketegangan di Semenanjung Balkan.

Bermula dari terbunuhnya putra mahkota Austria-Hongaria, Franz Ferdinand, pada 28 Juni 1914. Pelakunya adalah seorang nasionalis ekstrem bernama Gavrilo Princip.

Alhasil, kerajaan tersebut mengumumkan perang terhadap Serbia. Tak lama berselang, Jerman pun menyatakan perang terhadap Kekaisaran Rusia dan Prancis. Hingga 1918, belasan negara terseret dalam pertempuran ini.

Masing-masing berada dalam dua kubu yang saling menyerang: Poros (Austria-Hongaria, Jerman, Kekhalifahan Turki Utsmaniyah) dan Sekutu (Rusia, Prancis, Inggris, Jepang, Amerika Serikat). Cakupan konflik bahkan tidak terbatas di Eropa saja, tetapi juga meluas ke Amerika Utara, Afrika Utara, Asia Barat, dan Asia Timur.

Media Jerman tidak menamakannya sebagai Weltkrieg I karena tidak pernah menyangka bahwa perang besar akan terjadi lagi, yakni Weltkrieg II alias Perang Dunia II. Nyatanya, negara-negara imperalis masih menyimpan bara dalam sekam.

Pada 1 September 1939, Jerman menginvasi Polandia. Beberapa hari sesudahnya, Inggris dan Prancis menyatakan perang terhadap Jerman. Langkah keduanya diikuti AS dan Uni Soviet sejak 1941. Adapun dukungan terhadap sang diktator Jerman Adolf Hitler diberikan oleh Italia dan Jepang.

photo
Gambar yang mengabadikan putra mahkota Austria-Hongaria, Franz Ferdinand, pada 28 Juni 1914 di Sarajevo. - (DOK WIKIPEDIA)

Kerajaan Belanda tidak berpihak kepada blok Poros atau Sekutu, baik selama PD I maupun PD II. Bagaimanapun, kedua pertempuran itu tentu mempengaruhi situasi Negeri Kincir Angin.

Dalam PD II, misalnya, keluarga Istana dan jajaran pemerintah Belanda terpaksa melarikan diri ke Inggris sesudah negerinya dibombardir Jerman. Jajahannya yang paling menguntungkan, yakni Indonesia (saat itu bernama Hindia Belanda), juga sempat jatuh ke tangan salah satu negara kubu Poros, yakni Jepang.

 
Keterlibatan Jepang dalam PD I dan PD II menandakan satu hal, yakni kekuatannya setara dengan umumnya negara-negara imperialis Barat pada abad ke-20.
 
 

Keterlibatan Jepang dalam PD I dan PD II menandakan satu hal, yakni kekuatannya setara dengan umumnya negara-negara imperialis Barat pada abad ke-20. Padahal, kekaisaran berjuluk Negeri Matahari Terbit itu sebelumnya menerapkan kebijakan isolasi diri (sakoku). Lebih dari 200 tahun lamanya, yakni ketika era Shogun Tokugawa, negeri kepulauan tersebut mengurung diri dari pergaulan internasional.

Barulah pada medio abad ke-19, armada AS memaksa kaisar Jepang agar membuka pelabuhannya untuk barang-barang dari Amerika. Sakoku pun dicabut.

Alih-alih dijajah bangsa-bangsa Eropa, seperti kebanyakan negeri Asia, Jepang justru berubah menjadi negara maju. Di bawah pimpinan Kaisar Meiji (1867-1912), kerajaan ini mengalami westernisasi besar-besaran.

Putra kedua Kaisar Komei tersebut mengganti sistem pemerintahan feodal dengan parlementer-konsititusional ala Barat. Ia juga mendorong rakyatnya untuk menguasai sains dan teknologi modern. Hingga awal abad ke-20, Jepang tampil sebagai kekuatan industri dan militer baru yang sangat disegani dunia.

Mengikuti jejak para imperialis Eropa, Nippon—sebutan asli Jepang—pun melakukan penjajahan. Sebelum PD II, wilayah kekuasaannya sudah menjangkau hingga sejumlah kawasan di Asia Pasifik, termasuk sebagian Cina, Semenanjung Korea, dan beberapa kepulauan koloni Jerman di Lautan Teduh.

Pada 7 Desember 1941, armada angkatan lautnya menyerang pangkalan militer AS di Pearl Harbor, Hawaii. Peristiwa itu memicu Negeri Paman Sam terlibat dalam kancah PD II.

photo
Dua gambar berbeda yang menunjukkan suasana masyarakat Eropa pada hari pengumuman dimulainya Perang Dunia tahun 1914. - (DOK WIKIPEDIA)

Klaim ‘saudara tua’

Salah satu target utama Nippon ialah Indonesia. Jajahan Belanda itu kaya akan sumber daya alam, yang sangat diperlukan Negeri Matahari Terbit untuk memenangkan PD II. Dari Kalimantan, pasukan Jepang bergerak cepat hingga ke Jawa, pusat pemerintahan kolonial. Pada 5 Maret 1942, mereka berhasil menduduki Jakarta.

Militer Hindia Belanda kewalahan menyambut serbuan bangsa Asia Timur itu. Mereka mungkin memiliki persenjataan dan jumlah personel yang mencukupi. Namun, pasukan tersebut hanya berpengalaman menangkal letupan-letupan dari dalam negeri, yakni perlawanan masyarakat pribumi. Adalah di luar kebiasaannya untuk menghadapi serangan dari luar.

Kolonialis Barat itu tidak mampu lagi mempertahankan kendali atas Nusantara. Di daerah Kalijati, Subang, Jawa Barat, pada 8 Maret 1942 militer Belanda menyerah tanpa syarat kepada Nippon. Momen itu menandai berakhirnya penjajahan Belanda sekaligus dimulainya masa pendudukan Jepang di Indonesia.

 
Untuk menarik simpati rakyat setempat, Nippon melakukan pelbagai propaganda.
 
 

Untuk menarik simpati rakyat setempat, Nippon melakukan pelbagai propaganda. Misalnya, disebarkanlah isu bahwa Jepang adalah “saudara tua” bangsa Indonesia; kedatangannya mengusir kolonialisme Barat untuk selama-lamanya. Pemerintah pendudukan Jepang yang berpusat di Jakarta juga menyebarkan kampanye “3A”, yaitu semboyan “Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia".

Semula, pernyataan tersebut diterima gegap-gempita masyarakat Indonesia. Namun, perasaan optimistis itu berubah menjadi pesimisme dan bahkan kebencian. Faktanya, tentara Jepang bertindak sangat kejam terhadap warga tempatan.

Polisi rahasia Jepang (kenpeitai) juga sangat ditakuti masyarakat. Kenpeitai bahkan dirasakan lebih kejam daripada polisi kolonial pada zaman penjajahan Belanda. Sebab, para personelnya suka main pukul dan tendang kepada siapa saja yang dianggap mencurigakan.

Rakyat diimpit suasana mencekam. Hampir setiap malam, sering kali terdengar sirene kuso keho, penanda bahaya serangan udara dari tentara Sekutu. Semua orang cepat-cepat mematikan lampu rumah, lalu melarikan diri ke bungker terdekat. Pemerintah pendudukan Jepang mewajibkan setiap rukun warga (tonarigumi) untuk membuat goa tempat perlindungan yang bisa diisi kira-kira lima orang.

 
Indonesia di bawah kendali Jepang berada dalam kondisi ekonomi yang kian sulit dari waktu ke waktu.
 
 

Indonesia di bawah kendali Jepang berada dalam kondisi ekonomi yang kian sulit dari waktu ke waktu. Makanan, pakaian, barang, dan obat-obatan menghilang dari pasaran. Banyak rakyat terpaksa memakai busana dari karung goni karena kain biasa sangat sulit ditemukan. Kaum berada pun hanya memiliki baju seadanya.

Kelaparan juga merebak di mana-mana. Pada masa itu, tidak sedikit orang yang pingsan atau bahkan mati akibat kekurangan pangan. Tidak lagi mengagetkan bila menemukan ada mayat di pinggir jalan.

photo
Peta yang menunjukkan cakupan wilayah kekuasaan Jepang pada saat Perang Dunia II berlangsung. - (DOK WIKIPEDIA)

Perlawanan ulama

Nourouzzaman Shiddiqi dalam tesisnya untuk McGill University, “The Role of the Ulama During the Japanese Occupation of Indonesia (1942-45)”, menjelaskan motif di balik gencarnya propaganda Jepang pada masa pendudukan di Tanah Air. Menurut dia, segala kebijakan yang dijalankan rezim tersebut bertujuan Nipponisasi Indonesia.

Maksudnya, penerapan sistem dan budaya Jepang secara masif di bidang politik, ekonomi, dan kultural masyarakat setempat. Sebelum Indonesia, cara demikian sudah berlangsung efektif di wilayah lain yang dijajahnya, seperti Korea, Manchuria, dan Taiwan.

Sebagai elemen terbesar masyarakat Indonesia, lanjut Shiddiqi, umat Islam juga sangat terdampak aturan-aturan yang ditetapkan Nippon. Tidak hanya secara fisik atau materiil, tetapi juga iman.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

Sebagai contoh, kewajiban pelaksanaan upacara saikeirei. Dalam ritual tersebut, warga pribumi harus membungkukkan badan tiap pagi ke arah matahari terbit untuk menghormati Kaisar Jepang Tenno Heika. Bagi orang Jepang, kaisar sangat dipuja karena dianggap sebagai titisan Dewa Matahari.

Sementara itu, sebagian besar Muslimin mengecam saikeirei. Sebab, praktik tersebut menjurus pada syirik, dosa terbesar menurut ajaran Islam. Gerakan-gerakan pun timbul di tengah umat sebagai bentuk protes terhadap upacara tersebut.

Di Jawa, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa yang melarang orang Islam untuk melakukan saikeirei. Aparat kemudian menangkap dan memenjarakannya selama empat bulan.

 
KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa yang melarang orang Islam untuk melakukan saikeirei. Aparat kemudian menangkap dan memenjarakannya selama empat bulan.
 
 

Dalam keterangannya, polisi Jepang menuding sang hadratussyekh sebagai dalang kerusuhan di pabrik gula Jombang. Padahal, tudingan itu hanyalah suatu alasan yang dibuat-buat untuk membenarkan penahanan.

Pemerintah pendudukan sebenarnya ingin rakyat Indonesia, termasuk elemen Muslimin, termobilisasi untuk memenangkan Nippon dalam kancah PD II. Akan tetapi, pendekatan yang dilakukannya beberapa bulan sejak berkuasa di Nusantara justru menimbulkan keresahan.

Shiddiqi mengatakan, dorongan jihad fii sabilillah yang sedianya hendak dimanfaatkan dalam perang melawan Sekutu malahan berbalik menyerang Jepang sendiri.

Pada tahun pertama masa okupasi Jepang, pemberontakan pecah di Bayu, Aceh. Dipimpin para ulama, kaum Muslimin di sana menentang kewajiban saikeirei. Jepang segera memadamkan perlawanan tersebut dengan tangan besi.

 
Antara tahun 1942 dan 1945 ada peran ganda yang dijalankan kalangan ulama Nusantara.
 
 

Pada Desember 1943, giliran rakyat Muslim di Pontianak, Kalimantan, memberontak terhadap Nippon. Selanjutnya, berturut-turut pemerintah pendudukan menghadapi perlawanan umat di Sukamanah, Singaparna (Februari 1944); Karangampel (Mei 1944); Lohbener (Agustus 1944); Blitar (Februari 1945); dan Pandraih (Mei 1945).

Shiddiqi menyimpulkan, antara tahun 1942 dan 1945 ada peran ganda yang dijalankan kalangan ulama Nusantara. Pertama, menegakkan akidah Islam. Dengan cara itu, kaum Muslimin dapat dicegah dari kebijakan-kebijakan penguasa yang menggerus kepribadian mereka sebagai pemeluk Islam yang sejati.

Kedua, para pemuka agama ini turut menyiapkan rakyat Indonesia dalam menyongsong kemerdekaan. Dalam hal ini, berbagai organisasi yang dibentuk atau keputusan politik yang diambil penguasa dimanfaatkan. Alhasil, Jepang menangkap kesan bahwa kaum Muslimin mendukungnya dalam kancah PD II. Padahal, yang terjadi ialah mereka menyongsong semata-mata Indonesia Merdeka.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat