Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Kisah Dalam Negeri

Masyarakat Adat Baduy Menolak Survei Geologi

Pengiriman tim survei geologi dilakukan setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengunjungi Baduy.

OLEH PRIYANTONO OEMAR

 

Konflik agraria yang mencuat terakhir terjada pada Juli 2021, melibatkan masyarakat adat Tano Batak dan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Masyarakat adat Tano Batak menuntut penutupan TPL karena TPL dianggap telah merugikan mereka. Perwakilan mereka melakukan aksi berjalan kaki dari Danau Toba pada 14 Juni 2021 dan tiba di Jakarta pada 27 Juli 2021.

Konflik tanah sudah ada sejak zaman kolonial. Terjadinya Perang Diponegoro, salah satunya, dipicu oleh penyerobotan tanah yang dilakukan pemerintah kolonial.

Pada 1932, masyarakat adat Baduy pernah menolak kedatangan tim survei geologi. Bahkan, mereka merampas tali ukur dan alat ukur Boussole Tranche Montagne (BTM) dengan cara yang halus. Alat itu baru dikembalikan setelah ada pejabat yang dikirim untuk membujuknya.

Pengiriman tim survei geologi dilakukan setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengunjungi Baduy. Pemerintah kolonial Hindia Belanda menilai, sudah saatnya wilayah Baduy terbuka bagi dunia luar. Dinas Pertambangan pun melakukan survei geologi ini, dipimpin oleh seorang insinyur geologi, WCB Koolhoven.

 
Pemerintah kolonial Hindia Belanda menilai, sudah saatnya wilayah Baduy terbuka bagi dunia luar. Dinas Pertambangan pun melakukan survei geologi.
 
 

Namun, begitu masyarakat Baduy mengetahui ada orang-orang yang ingin mengukur tanah, mereka segera menolaknya. Penolakan itu didasarkan pada ketentuan leluhur mereka bahwa dilarang mengubah atau mencuri apa pun dari pekarangan.

Pada malam pertama di Baduy, Koolhoven mengadakan pertemuan dengan warga di bawah koordinasi pejabat-pejabat pribumi di wilayah Banten. Atas perintah Wedana Lebak, perwakilan masyarakat Baduy menghadiri pertemuan yang diadakan di lokasi tenda tim survei di luar wilayah mereka itu.

Asisten Wedana Lebak di pertemuan itu menjelaskan maksud kedatangan Koolhoven bersama tim. Silih berganti mereka bicara menanggapi penjelasan asisten wedana. Masing-masing bericara sekitar lima menit. “Dengan kata-kata yang tak terbendung,” ujar Koolhoven.

Di setiap akhir bicara, mereka menekankan pertanyaan, kapan Koolhoven dan tim meninggalkan Baduy. Bagi mereka, mengukur tanah adalah buyut, tabu karena dikeramatkan. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi I, buyut dalam pengertian ini merupakan makna yang ketiga sebagai tempat keramat, setelah makna pertama sebagai ibu dari nenek dan makna kedua sebagai anak dari cucu.

Leluhur mereka telah menetapkan aturan, batu dan sampel tanah tak bisa dibawa keluar dari wilayah mereka. Namun, penolakan ini tak membuat Koolhoven bersama timnya segera pulang. Mereka melakukan pengukuran secara diam-diam dimulai dari luar wilayah Baduy Dalam. Ini yang kemudian memunculkan insiden perampasan tali ukur dan alat ukur, ketika warga Baduy mengetahuinya.

photo
Warga Suku Baduy Luar mendapatkan bantuan sembako di Desa Kanekes, Lebak, Banten, Senin (29/6/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/wsj. - (MUHAMMAD BAGUS KHOIRUNAS/ANTARA FOTO)

Sebelum terjadi perampasan, pada malam hari setelah seharian tim survei melakukan pengukuran, warga kembali berkumpul di lokasi tenda tim survei. Mereka mengulang kembali debat di malam pertama, sehingga membuat Koolhoven marah dan mengatakan bahwa mereka tidak mematuhi perintah gubernur jenderal yang telah mengunjungi mereka.

Mereka pun menyatakan perlu berkonsultasi dengan puun masing-masing di tiga kampung. KBBI Edisi I hingga Edisi III belum mencatat kata ini, tetapi di KBBI Edisi V dan KBBI Daring, puun sudah dicatat dengan makna pemimpin adat di Baduy). Dengan kekuatan baru berupa pengakuan para puun, mereka kembali dengan tetap menolak rencana survei.

Namun, diam-diam, Koolhoven dan tim survei tetap melakukan pekerjaannya dan masuk ke wilayah Baduy Dalam lewat kampung lain, dipandu oleh bukan warga Baduy. Koolhoven mengeklaim telah mencapai lokasi Arca Domas di hutan Ciujung. Leluhur mereka, Batara Tunggal, dioercayai turun ke bumi di Arca Domas.

Sebagai hutan purba, Ciujung pada 1932 memperlihatkan luasnya hutan yang masih terjaga. Hutan keramat ini hanya dikunjungi oleh puun dan pengiringnya setahun sekali. Warga biasa tak diizinkan memasukinya. Bahkan, mendekati pun tidak boleh. Dalam hal ini, Koolhoven memuji masyarakat Baduy yang menjaga wilayah mereka dengan vitalitas yang cukup tinggi.

Mereka melakukannya dengan kata-kata, tidak dengan kekerasan, ketika menolak tim survei. “Kesan umum yang saya dapatkan dari orang-orang Baduy adalah bahwa mereka memiliki vitalitas besar dalam membela kepentingan mereka dengan cara yang simpatik, fasih, penuh semangat, tanpa kekerasan,” ujar Koolhoven.

 
Kesan umum saya, mereka memiliki vitalitas besar dalam membela kepentingan mereka dengan cara yang simpatik, fasih, penuh semangat, tanpa kekerasan.
 
 

Orang-orang Eropa mendeskripsikan orang Baduy sebagai orang yang mandiri. Ketika bepergian tak mau menggunakan kendaraan. Wilayah mereka di bagian selatan Banten ini, dengan hutan yang luas, dianggap oleh orang Eropa sebagai Priangan kecil.

Pada Mei 1928, ada di antara mereka mengunjungi Achmad Djajadiningrat di Jakarta. Bupati Serang 1901-1924 ini memang dianggap sebagai sesepuh mereka. Djajadiningrat merupakan keturunan dari Desa Kanekes. Orang Baduy biasa menyebut diri mereka sebagai urang Kanekes. Djajadiningrat menjadi bupati Batavia --beribu kota di Meester Cornelis (Jatinegara)-- pada 1924-1929.

Membuka diri dari dunia luar memang memiliki risiko bagi komunitas adat dengan 40 keluarga di Baduy Dalam dan sekitar 100 keluarga di Baduy Luar itu. Pada April 1932 terjadi pencurian dalam dua malam di Kanekes. Yang dicuri uang 120 gulden.

Wedana Lebak pun turun tangan. Para pelakunya ditangkap, salah satunya orang Baduy. Kejadian ini mengundang keprihatinan, dianggap telah mencoreng muka masyarakat Baduy yang dikenal rendah hati dan tak tergiur urusan duniawi. Pergaulan dengan dunia luar dianggap sebagai penyebabnya.  

Isolasi yang ketat telah membuat mereka bisa menjauhkan diri dari urusan duniawi. Leluhur mereka mengajarkan harus jujur, tidak mencuri, tidak merencanakan zina, dan sebagainya. Orang Baduy belum pernah berurusan dengan polisi sebelum kejadian April 1932 ini.

Pada 1916, perampokan dialami girang Seurat Cibeo. Girang seurat merupakan orang kedua setelah puun. Tetapi karena wilayah mereka terlarang bagi orang luar Kanekes, polisi tak bisa memprosesnya. Tak diketahui pelakunya, tetapi orang Kanekes sering diserang orang luar.

Selamat Hari Masyarakat Adat Internasional, 9 Agustus.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat