ILUSTRASI Hadis telah ditulis sejak masa Rasulullah SAW walaupun tidak sepesat penulisan Alquran. | DOK MAXPIXEL

Tema Utama

Sejarah Awal Penulisan Hadis

Pembukuan hadis mulai berkembang pesat pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

OLEH HASANUL RIZQA

Inilah sumber ajaran Islam, kedua setelah Alquran. Studi mengenai hadis berkembang pesat sejak abad kedua Hijriyah, seiring menurunnya turbulensi politik di tengah umat.

 

 

 

 

Alquran dan hadis merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Dalam Islam, keduanya adalah sumber hukum dan tidak terpisahkan satu sama lain. Menurut Syekh Yusuf Qardhawi dalam Kaifa Nata’amalu ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah, hadis merupakan penafsiran Alquran dalam praktik.

Ihwal yang juga diistilahkan sebagai sunah itu pun adalah penerapan ajaran Islam secara ideal sekaligus faktual. Sebab, rujukan hadis ialah Nabi Muhammad SAW sendiri. Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, yang berarti, “Telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik bagi kalian” (QS al-Ahzab: 21).

Secara kebahasaan, kata hadis berasal dari hadits dalam bahasa Arab. Syekh Manna al-Qaththan dalam Mabahits fii ‘Ulumil Hadits menjelaskan, hadits memiliki beberapa arti, yakni ‘baru’, ‘sesuatu yang dikutip’, serta ‘sesuatu yang sedikit dan banyak'. Bentuk jamaknya ialah ahadits.

Secara terminologi, lanjutnya, hadits menurut para ahli hadis adalah apa-apa yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, dalam masa sebelum ataupun sesudah kenabiannya. Pengertian yang sedikit berbeda diajukan para ahli usul fikih.

Mereka berpandangan, hadis merupakan perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW setelah kenabian. Apa-apa yang berasal dari beliau sebelum kenabian tidak bisa dianggap sebagai hadis. Sebab, yang dimaksud dengan hadis ialah mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya.

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Ijmak kaum Muslimin menetapkan bahwa yang diwajibkan kepada hamba Allah untuk diimani dan diamalkan adalah apa yang dibawa Nabi SAW setelah kenabian.”

 
Ijmak kaum Muslimin menetapkan bahwa yang diwajibkan kepada hamba Allah untuk diimani dan diamalkan adalah apa yang dibawa Nabi SAW setelah kenabian.
 
 

Hadis dan Alquran pun berbeda dalam hal sejarah awal penulisannya. Sejak Nabi SAW menerima wahyu, para sahabat beliau menuliskan atau mencatat Alquran pada pelbagai medium, semisal pelepah kurma, lembaran kulit ternak, batu, dan sebagainya.

Di antara banyak sahabat yang dikenal sebagai pencatat Alquran ialah Zaid bin Tsabit, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, serta Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Rasulullah SAW meminta mereka untuk menuliskannya sebagai ikhtiar dalam menjaga ingatan kaum Muslimin. Catatan dan hafalan Alquran saling mendukung satu sama lain.

Sementara itu, Nabi SAW diketahui pernah melarang para sahabat untuk mencatat hadis-hadis. Pelarangan itu didasarkan pada berbagai riwayat, seperti dari Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, dan Abu Sa’id al-Khudri. Sebagai contoh, al-Khudri meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu sekalian menulis apa pun dariku. Dan, barangsiapa yang menulis dariku selain Alquran, maka hapuslah.” (HR Muslim).

Abu Hurairah dan beberapa Muslimin penulis pun pernah ditegur.

“Apa yang telah kalian tulis?” tanya Nabi SAW.

“Hadis-hadis yang telah kami dengar darimu, ya Rasulullah,” jawab mereka.

“Kitab selain Kitabullah (Alquran)? Tidakkah kalian tahu, bahwa umat-umat sebelum kalian tidaklah tersesat kecuali karena telah menulis kitab-kitab bersama kitab Allah?” ujar beliau.

Maknanya, Rasulullah SAW saat itu belum merestui umat Islam untuk menuliskan apa pun yang bersumber darinya selain Alquran.

Namun, Nabi SAW kemudian membolehkan penulisan hadis. Beberapa sahabat yang mendapatkan kebolehan itu ialah, antara lain, Abdullah bin Amr, Abu Syah, dan Ali bin Abi Thalib.

Putra Amr bin Ash itu menuturkan, “Aku telah mencatat segala yang kudengar dari Rasulullah SAW karena hendak menghafalnya. Mengetahui itu, kaum Quraisy melarangku seraya berkata, ‘Apakah kamu menulis segala sesuatu dari Rasulullah, sementara Rasulullah sendiri adalah manusia biasa yang bertutur baik saat marah dan ridha?’

Maka aku pun sempat menghentikan aktivitas penulisan itu, tetapi kemudian menyampaikannya kepada Rasulullah SAW. Beliau mengangguk dan mengarahkan jarinya pada mulutnya seraya bersabda, ‘Tulislah. Demi Zat yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya, tidak ada sesuatu yang keluar dari sini (mulut Nabi SAW) kecuali kebenaran'.”

 
Pelarangan itu hanya berlangsung pada masa awal syiar Islam. Tujuannya menghindari bercampurnya antara teks Alquran dan hadis.
 
 

Sampai di sini, bagaimana memahami adanya hadis-hadis tentang pelarangan dan pembolehan menuliskan hadis itu? Para ulama menerangkan, kedua keterangan itu terjadi secara nasakh-mansukh. Hadis-hadis yang mengenai pelarangan dihapus (nasakh) oleh hadis-hadis tentang pembolehan mencatat sunah Nabi SAW. Pelarangan itu hanya berlangsung pada masa awal syiar Islam. Tujuannya menghindari bercampurnya antara teks Alquran dan hadis.

Ketika jumlah kaum Muslimin sudah meningkat signifikan, para penghafal (hafiz) Alquran pun kian banyak. Mereka umumnya sudah mampu membedakan antara kandungan Alquran dan perkataan Nabi SAW. Maka dari itu, pembolehan mencatat hadis pun terjadi.

Walaupun pada masa awal Islam sudah ada catatan-catatan hadis yang ditulis beberapa sahabat, penulisan hadis secara khusus baru dimulai sejak permulaan abad kedua Hijriyah. Waktu itu, Muslimin diperintah oleh Kekhalifahan Bani Umayyah. Raja kedelapan Dinasti Umayyah, Umar bin bin Abdul Aziz, mendukung upaya-upaya pembukuan sunah.

 
Penulisan hadis secara khusus baru dimulai sejak permulaan abad kedua Hijriyah.
 
 

Putra cucu Umar bin Khattab itu khawatir, banyak hadis Nabi SAW akan berangsur-angsur hilang kalau tidak segera dikumpulkan dan dibukukan. Terlebih lagi, ia menyadari, banyak sahabat dan penghafal hadis telah berpulang ke rahmatullah. Dengan wafatnya mereka, umat semakin memerlukan ikhtiar nyata agar hadis-hadis terpelihara dari ungkapan-ungkapan orang lain yang dikira bersumber dari Rasulullah SAW (hadis palsu).

Dengan dukungan alim ulama, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan gubernur Madinah saat itu, Abu Bakar bin Muhammad, untuk mengumpulkan hadis dari para penghafal hadis. Di antaranya adalah Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad—cucu Abu Bakar ash-Shiddiq. Keduanya adalah ulama besar Madinah yang banyak menerima hadis, terutama dari riwayat ummul mukminin, ‘Aisyah.

Seorang ulama lainnya, Muhammad bin Syihab az-Zuhri, juga diminta untuk mengumpulkan hadis dari para penghafal sunah, tidak hanya di Hijaz tetapi juga Syam (Suriah). Dari generasi tabiin, az-Zuhri menjadi ulama pertama yang membukukan hadis.

Pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis mulai saat itu semakin berkembang. Selama abad kedua Hijriyah, cukup banyak ulama yang dikenal sebagai penghimpun hadis. Di antaranya adalah Malik bin Anas (Imam Malik), Abdul Malik bin Abdul Aziz al-Juraij, Hammad bin Salamah al-Bashri, dan Sufyan ats-Tsauri. Antusiasme studi ilmu hadis pun menyebar ke pelbagai wilayah kedaulatan Islam, tidak hanya di Jazirah Arab, tetapi juga Mesir, Suriah, dan Irak.

 
Antusiasme studi ilmu hadis pun menyebar ke pelbagai wilayah kedaulatan Islam, tidak hanya di Jazirah Arab, tetapi juga Mesir, Suriah, dan Irak.
 
 

Pada masa itu, penulisan hadis masih mencampurkan antara sabda Rasulullah SAW dan fatwa para sahabat serta ulama tabiin. Sebagai contoh, kitab Al-Muwatta’ karya Imam Malik. Kitab-kitab hadis yang sezaman dengannya di kemudian hari disebut sebagai al-musnad atau al-mu’jam. Itu berarti, kitab-kitab itu disusun berdasarkan urutan nama sahabat yang menerima hadis dari Nabi SAW.

Kategori demikian dinamakan pula al-jami’. Sebab, kitab hadis itu memuat delapan pokok masalah, yakni akidah, hukum, tafsir, etika, tarikh, sejarah kehidupan Nabi SAW, akhlak, serta perbuatan baik dan tercela.

Barulah pada periode selanjutnya, yakni generasi tabiit tabiin, para ulama mulai memisahkan antara sabda Nabi SAW dan fatwa para sahabat serta tabiin dalam penulisan hadis. Mereka hanya menuliskan hadis yang merupakan perkataan beliau, lengkap dengan periwayatan (sanad). Maka dari itu, karya-karyanya dalam disiplin ilmu hadis disebut pula sebagai musnad.

photo
ILUSTRASI Sejarah penulisan atau pembukuan hadis mulai terasa pesatnya sejak era Khalifah Umar bin Abdul Aziz - (DOK EPA Sohail Shahzad)

Dari generasi tersebut, seorang alim yang menulis genre musnad itu ialah Abu Dawud Sulaiman at-Tayalisi. Ketekunannya menjadi teladan para ulama sesudahnya. Di antara mereka adalah Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali), Ishaq bin Rahawaih, Musa al-Abbasi, dan Musaddad al-Bashri. Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal dipuji sebagai salah satu musnad terlengkap.

Bagaimanapun, dalam penyusunannya Imam Hambali kerap mencampurkan hadis-hadis yang berstatus sahih, hasan, dan daif; bahkan ada di antaranya yang hadis palsu (maudlu').

Memasuki abad ketiga Hijriyah, kalangan ahli sunah mulai berupaya memilah hadis sahih dari hadis-hadis lainnya. Malahan, banyak di antara mereka yang menyusun hadis-hadis sahih berdasarkan topik yang dibicarakan. Alhasil, periode ini juga dinamakan sebagai Abad Pembukuan Hadis (Tadwin).

 
Memasuki abad ketiga Hijriyah, kalangan ahli sunah mulai berupaya memilah hadis sahih dari hadis-hadis lainnya.
 
 

Alim ulama pada masa tersebut memiliki reputasi besar dalam keilmuan hadis,bahkan hingga saat ini. Misalnya, Imam Bukhari, sang penyusun kitab Shahih al-Bukhari. Selanjutnya, Imam Muslim yang menyusun Shahih Muslim.

Kemudian, ada lagi Imam Dawud, Imam Abu Isa Muhammad at-Tirmidzi, dan Imam Nasa’i yang masing-masing berkarya Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, dan Sunan an-Nasa’i.

Terakhir, penulis Sunan Ibnu Majah, yakni Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yazid ar-Raba'i al-Qazwini. Keenam kitab tersebut digelari generasi sesudahnya sebagai al-Kutub as-Sittah, Kitab Hadis yang Enam.

Dinasti-dinasti Muslim jatuh dan bangun. Pemerintahan berganti dari satu penguasa ke penguasa lainnya. Akan tetapi, kegiatan penyusunan dan pembukuan hadis terus berlangsung dengan pesat. Setidaknya sejak abad kelima Hijriyah, makin banyak ulama menekuni bidang ini.

Ada yang tetap menggunakan cara sebagaimana dipakai para penyusun al-Kutub as-Sittah. Namun, ada pula yang melakukan kritik terhadap metodologi ulama-ulama sebelumnya, baik dari segi matan maupun sanad. Minat yang besar terhadap studi ilmu hadis masih berlanjut hingga kini. Malahan, beberapa sarjana Barat non-Muslim pun tertarik mendalami sunah walaupun bertujuan tertentu.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat