Baktiar Hasan PhD. | DOK IST

Hiwar

Biostatistika untuk Tangani Wabah

Ahli epidemologi tidak akan bisa bekerja tanpa mengerti prinsip-prinsip biostatistika.

 

 

Covid-19 menimbulkan tantangan di pelbagai lini kehidupan, termasuk ranah sains. Salah satu disiplin keilmuan yang berguna dalam menanggulangi epidemi ialah statistika.

Menurut ahli statistika Baktiar Hasan PhD, ilmu tersebut dapat dikaitkan dengan epidemiologi untuk tujuan yang sama. Yakni, menyelamatkan sebanyak-banyaknya nyawa di tengah badai pandemi.

Adapun statistika yang menjadi tulang punggung epidemiologi dinamakan biostatistika. Baktiar sendiri merupakan seorang biostatistikawan utama pada Union Chimique Belg (UCB) Brussels Belgia. Ilmuwan yang lahir di Morowali, Sulawesi Tengah, itu memang sudah puluhan tahun berkiprah di Eropa dan Amerika.

Alumnus Universitas Guelph Kanada itu pernah ikut serta dalam riset berbagai penyakit, seperti kanker atau endocrine tumor. Dengan mewabahnya Covid-19 sejak awal tahun 2020, dia juga berfokus pada penelitian tentang virus korona baru. Sebab, penjelasan biostatistika diperlukan kalangan epidemiolog.

“Ketika orang akan mencari tahu dari mana awalnya virus itu menyebar, yang lebih berkompeten adalah ahli epidemiologi. Tapi, misalnya mau menentukan penyebaran penyakit, epidemiolog harus berkolaborasi dengan biostatistikawan,” tutur Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Belgia ini.

Bagaimana konkretnya ilmu biostatistika menjelaskan dan ikut menghadapi fenomena wabah? Apakah cabang ilmu statistika itu bisa memperkirakan, kapan Covid-19 berakhir atau setidaknya, mereda? Berikut wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin, bersama dengan sang doktor. Perbincangan dilakukan melalui sambungan telepon baru-baru ini.

Bisa dijelaskan apa itu biostatistika?

Ini adalah suatu ilmu yang sebenarnya diturunkan dari statistika. Jadi, biostatistika itu adalah ilmu yang mempelajari fenomena biologi dengan mengunakan statistika atau matematika dengan pemodelan, proses, data, dan sebagainya.

Seorang biostatistikawan bisa mempelajari penyakit atau kelainan tertentu. Atau, kalau misalnya, ada risiko kesehatan, seperti terpapar dengan radiasi, polusi dan sebagainya (bisa dijelaskan dengan biostatistika –Red). Kajiannya juga berhubungan dengan perilaku tertentu dari manusia.

Bagaimana pandemi Covid-19 dikaitkan dengan dunia ilmu statistika?

Terkait dengan Covid-19 ini, banyak prediksi yang meleset. Awalnya, kita mengira akan seperti SARS-CoV yang hanya berlangsung beberapa bulan. Ternyata, Covid-19 ini lama sekali.

Dalam hal ini, model dan prediksi yang kita bangun sendiri bersandar pada ketersediaan data. Dalam kasus penyakit baru seperti ini (Covid-19), tentu awalnya kita tidak banyak mengetahui. Tapi, seiring berjalannya waktu, data mulai terkumpul sedikit demi sedikit walaupun tetap sangat terbatas dan jauh dari komprehensif.

Jadi, kaitannya dengan data dan pemodelan tadi?

Ya. Dinamika Covid-19 ini pun luar biasa. Muncul varian-varian baru. Misalnya, setahun lalu orang membuat model dan prediksi berdasarkan data yang ada pada varian Alpha yang pertama kali muncul di Wuhan (Cina) itu.

Lantas, mereka membuat model matematikanya, stokastik model dari itu, dan akhirnya prediksi. Mereka mengaitkannya dengan variabel-variabel yang bisa digunakan saat itu untuk menekan kasus baru.

Namun, ketika model seperti ini sudah dibangun dan melakukan lockdown, misalnya, tiba-tiba ada varian baru yang muncul. Yang terjadi kemudian, model yang sudah dibangun tadi tidaklah valid karena asumsinya salah. Maka, dinamika di lapangan dari penyakit itu (Covid-19) luar biasa. Tantangannya untuk ilmu statistika di situ.

Biostatistika bisa membantu epidemiologi dalam menangani pandemi?

Epidemiologi adalah suatu ilmu yang juga menggunakan sains dalam menemukan penyebab suatu wabah penyakit. Sains juga dipakai untuk menentukan outcome yang terkait dengan kesehatan secara umum dalam suatu populasi. Maka ada dua poin penting.

Pertama, distribusi penyakit itu sendiri. Misalnya, Covid-19. Bagaimana distribusinya bisa dilacak secara spasial dan temporal. Juga, faktor-faktor yang memengaruhi distribusi penyakit itu. Misalnya, kebiasaan berkumpul di tempat-tempat orang berkerumun, ruangan tertutup, dan juga mobilitas.

Setelah mengetahui distribusi itu, maka poin kedua (ialah) determinasi atau faktor yang mempengaruhi penyakit ditentukan. Sebab, penyakit tadi bisa dipengaruhi oleh mutasi atau adanya penyakit lain. Dari hal ini, kita dapat melihat bahwa epidemiologi ini adalah ilmu yang sejatinya menggunakan prinsip-prinsip biostatistika.

 
Ahli epidemologi tidak akan bisa bekerja tanpa mengerti prinsip-prinsip biostatistika.
 
 

Karena itu, terkadang antara biostatistika dan epidemologi kabur batasnya. Ahli epidemologi tidak akan bisa bekerja tanpa mengerti prinsip-prinsip biostatistika.

Kalau dalam konteks pandemi, misalnya. Ketika orang akan mencari tahu dari mana awalnya virus itu menyebar, yang lebih berkompeten adalah ahli epidemiologi. Tapi, misalnya mau menentukan penyebaran penyakit, epidemiolog harus berkolaborasi dengan biostatistikawan.

Biostatistika bisa memprediksi kapan Covid-19 berakhir?

Ini (Covid-19) penyakit baru. Informasi yang kita dapatkan masih parsial dan dinamikanya begitu cepat. Jadi, agak susah membuat prediksi yang benar-benar akurat.

Kemudian, ada juga hal-hal yang berada di luar kontrol kita. Misal, terkait perilaku seseorang di masa pandemi. Setelah terkurung selama setahun lebih, orang-orang mungkin akan berada dalam tekanan. Terkadang, mereka melakukan hal-hal yang dilarang. Contohnya, di Eropa banyak orang melakukan pesta di taman dan lain-lain, padahal itu melanggar protokol kesehatan.

Kemudian, ketika pemerintah mulai melakukan pelonggaran, tiba-tiba orang keluar semua. Adanya mobilitas disertai kemunculan varian baru, seperti Delta ini yang menyebar begitu cepat. Maka muncul situasi baru ketika hal-hal yang sudah dicapai sebelumnya terkait kontrol atas (sebaran) penyakit ini menjadi hilang lagi. Rendahnya kasus baru, angka ICU, angka kematian, menjadi cerita lalu. Untuk Eropa, bisa jadi akan kembali mengalami gelombang baru epidemi.

Sejauh mana pengaruh karantina wilayah dalam memperlekas berakhirnya pandemi?

Perlu diketahui, tujuan lockdown itu sebenarnya bukan untuk mempercepat hilangnya Covid-19, tetapi lebih untuk mengontrol. Karantina wilayah itu adalah cara untuk mengontrol penyakit ini agar tidak terjadi collapse di rumah-rumah sakit atau fasilitas kesehatan. Sebab, terlalu banyak korban yang terkena infeksi.

Kalau tidak dikontrol dengan lockdown, bisa jadi rumah-rumah sakit itu akan tidak berfungsi sama sekali. Seperti pernah terjadi di India, di mana orang tidak bisa lagi ditangani di rumah sakit dan meninggal di jalanan. Lockdown ini tentu saja ada timing-nya.

Para pakar sudah mengestimasi ketersediaan tempat tidur perawatan, ruang ICU, perawat, dokter dan lain-lain. Jadi, lockdown akan mampu mengontrol itu kalau dilakukan di waktu yang tepat.

Bagaimana dengan vaksinasi?

Itu juga penting. Vaksinasi bisa menolong orang-orang secara individual. Kalau sudah divaksin, probabilitas virus untuk menginfeksi bisa ditekan. Jikalau tetap terinfeksi pun, vaksin itu bisa mengurangi banyak gejala (simptomatik).

Kita lihat data pada varian Alpha yang lalu. Vaksin Sinovac itu mampu menekan gejala infeksi sampai 50 persen lebih. Bahkan, itu saja mampu menekan angka perawatan di rumah hingga lebih dari 90 persen dan mampu mencegah kematian secara keseluruhan (100 persen).

Yang harus disadari juga adalah bahwa vaksinasi itu berdurasi. Namun, untuk saat ini kita belum mengetahui persis durasinya berapa lama. Ada beberapa data awal yang menunjukkan, mungkin durasinya bertahan antara enam dan delapan bulan. Jadi setelah enam hingga delapan bulan pascavaksinasi, bisa jadi orang yang sudah vaksin bisa terkena penyakit kembali. Karena itu, perlu diberi penguatan (boosting).

Menurut Anda, apa saja faktor kunci bagi sebuah negara untuk sukses menangani pandemi?

Salah satunya adalah memperkuat manajemen data. Dalam hal ini, pertama-tama adalah data kependudukan atau yang kita kenal di sini (Eropa) sebagai registry. Registry-nya harus kuat sehingga sebuah negara bisa mengetahui jumlah orang yang sakit dan meninggal pada masa pandemi.

Dengan adanya data registry, kita juga bisa mengakses historical data. Contoh sederhana terkait separah mana pandemi di suatu kota atau provinsi, misalnya. Jumlah kasus bisa jadi tidak akurat karena tergantung dari berapa orang yang dites.

Dalam situasi seperti ini, ada hal sederhana dan relatif tidak bias yang bisa diambil dari data registry. Ini dikenal dengan excess death. Misalnya, kalau yang meninggal pada Juli 2021 sebanyak 1.500 orang di Jakarta; sementara, data pada lima, empat, dan tiga tahun belakangan terdapat 500 orang yang wafat pada bulan yang sama.

Artinya, kita akan dapat mengetahui adanya peningkatan kematian sebanyak seribu orang di bulan Juli tahun ini yang kemungkinan besar akibat Covid-19.

Berikutnya, faktor riset di bidang kesehatan. Penting sekali riset itu dan selalu saya tekankan. Sebab, setelah adanya pandemi ini orang-orang baru mau mulai membuat vaksin atau obat.

Padahal, untuk membuat vaksin seseorang perlu keahlian yang njelimet. Dengan kata lain, keahlian dalam pengembangan obat dan vaksin itu mustahil datang tiba-tiba. Riset harus dilakukan secara terorganisasi dan berkelanjutan.

Apa saja saran untuk pemerintah dan masyarakat Indonesia?

Saran saya terhadap pemerintah, perbaiki riset, data registry, serta disiplin kesehatan masyarakat. Adapun untuk masyarakat sendiri, yang paling utama adalah harus mematuhi protokol kesehatan (prokes).

 
Cara lainnya untuk perkuat imun, perbanyak istighfar dan shalawat.
 
 

Itu sudah dipertimbangkan oleh para ahli dan bahkan dibuat semudah mungkin. Prokes ini dampaknya sangat besar walau kelihatannya saja sederhana, seperti menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan lain-lain.

Setelah mematuhi prokes, kita juga sedapat mungkin melakukan vaksinasi dan memperkuat imun dengan cara memperbanyak olahraga. Jangan lupa juga mengonsumsi vitamin C dan terutama vitamin D. Vitamin-vitamin bisa didapatkan secara alami, misal berjemur di bawah sinar matahari pagi. Cara lainnya untuk perkuat imun, perbanyak istighfar dan shalawat. 

photo
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masih terus menggalang dana untuk membeli bangunan yang akan dialihfungsikan menjadi Masjid Muslim Indonesia pertama di Belgia. - (DOK nucare.id/program/masjidbelgia)

Ikhtiar Wujudkan Masjid RI di Belgia

Selama lebih dari 20 tahun, Baktiar Hasan PhD telah malang melintang di banyak negara. Sebagai seorang peneliti, putra daerah Morowali, Sulawesi Tengah, itu menuai prestasi.

Biostatistikawan senior itu tercatat pernah berkiprah di pelbagai organisasi dengan reputasi tinggi, semisal European Organisation for Research and Treatment of Cancer (EORTC) dan Union Chimique Belg (UCB).

Walaupun sibuk dengan sejumlah penelitian, dia tetap memiliki waktu untuk mengembangkan syiar Islam. Itu dilakukannya dengan membawa nama Indonesia dan Nahdlatul Ulama (NU). Untuk diketahui, Baktiar berasal dari kalangan Nahdliyin.

Di Belgia, alumnus Universitas Guelph Kanada itu didaulat sebagai Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa NU setempat. Di samping itu, ia mengetuai Yayasan Komunitas Muslim Indonesia atau Nusantara Cultural Center ASBL.

Dengan yayasan tersebut, Baktiar saat ini sedang berupaya menggalang dana untuk membangun Masjid Indonesia pertama di Belgia. “Selain sibuk meneliti itu, di NU sebenarnya saya juga punya kegiatan membangun masjid. Kita sekarang sedang menggalang dana, termasuk dari Indonesia,” tuturnya saat dihubungi Republika beberapa waktu lalu.

Belum lama ini, lanjut Baktiar, pihaknya menandatangani kesepakatan pembelian sebuah gedung di Belgia. Bangunan itulah yang nantinya akan diubah menjadi masjid. Itu diprediksi sebagai tempat ibadah Islam pertama yang didirikan warga negara Indonesia di negara Eropa tersebut.

Hingga saat ini, dana yang sudah terkumpul mencapai Rp 8,1 miliar. Adapun pelunasan akan dilakukan pada November 2021 mendatang. “Kami masih membutuhkan dana sebesar Rp 900 juta untuk kekurangan pembelian gedung dan renovasi gedung calon Masjid Belgia,” ucapnya.

Ditanya mengenai kesuksesannya sejauh ini, Baktiar mengakui efek besar dari kegemaran bershalawat. Menurutnya, ibadah sunah itu membuat batin dan pikiran menjadi tenteram. Ketenangan itulah yang menjadi energi untuk terus belajar dan bekerja.

 
Pentingnya shalawat di situ, membuat kita selalu terhubung dengan Rasulullah SAW
 
 

“Pentingnya shalawat di situ, membuat kita selalu terhubung dengan Rasulullah SAW,” ujarnya.

Ia mengawali pendidikan tinggi di Universitas Haluoleo Kendari dengan mengambil jurusan pendidikan matematika. Begitu lulus pada 1992, dirinya sempat menjadi dosen muda di kampus tersebut. Pada 1994, Baktiar mengikuti program bridging setahun lebih di Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai bekal belajar ke luar negeri.

Kira-kira tiga tahun kemudian, dia meraih beasiswa ke Ontario, Kanada. Gelar master bidang ilmu statistika pun diraihnya. Selanjutnya, ia menempuh studi doktoralnya di universitas yang sama. Begitu pula dengan studi pos-doktoral hingga lulus pada 2005.

“Pada 2006, saya diterima di sini (Belgia) untuk bekerja pada EORTC. Empat belas tahun di sana. Sejak Oktober 2020, pindah ke Union Chimique Belg (UCB). Saat ini, saya sedang riset tentang penyakit epilepsi dan juga Covid-19,” jelasnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat