KH Muchtar Thabrani. | DOK NU

Mujadid

KH Muchtar Thabrani, Perjuangan Sang Pendidik Umat

Kiai Muchtar yang belasan tahun menuntut ilmu di Makkah ini berasal dari keluarga petani sederhana.

 

OLEH MUHYIDDIN

 

 

Kalangan ulama berperan penting di sepanjang sejarah. Mereka adalah pewaris nabi. Keberadaannya turut menentukan hitam-putihnya suatu negeri. Dalam Ihya Ulum ad-Din, Imam Ghazali membuat rumusan, rusaknya masyarakat disebabkan penguasa yang rusak. Adanya penguasa yang seperti itu merupakan akibat dari ulama yang rusak.

Di manapun berada, seorang ahli agama Islam hendaknya menjadi seperti pelita. Perannya ikut memajukan perikehidupan masyarakat tempatnya berada. Dalam sejarah Indonesia, ada banyak ulama yang berkiprah demikian. Bahkan, sejarah kemerdekaan negara ini adalah pula sejarah perjuangan alim ulama.

Mereka menjadi bunga bangsa. Sebagian berpengaruh hingga ke tataran nasional atau bahkan internasional. Sebagian yang lain cenderung menjadi tokoh-tokoh yang dihormati lokalitas masing-masing.

Di Bekasi, Jawa Barat, ada seorang mubaligh yang berjuang hingga akhir hayatnya. Dialah KH Muchtar Thabrani. Walaupun berasal dari kelompok rakyat biasa, tokoh tersebut berhasil menempuh pendidikan agama hingga ke Tanah Suci. Masyarakat pun menghormatinya sebagai penuntun umat.

Ia lahir dari keluarga Muslim yang sederhana di Kaliabang Nangka, Bekasi Utara, pada 1901 M. Ayahnya bernama Thabrani, seorang petani kecil. Adapun ibundanya, Masani, berasal dari Banten serta masih berdarah Tionghoa.

 
Orang tuanya mengirimkannya kepada Guru Mughni, seorang ulama besar Betawi.
 
 

Untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, keluarga ini hanya mengandalkan hasil panen yang tidak selalu menentu. Kendati demikian, Thabrani sangat berharap anak sulungnya itu kelak bisa menjadi seorang dai. Karena itu, sejak kecil Muchtar sudah dididik dengan pengajaran Islam. Orang tuanya mengirimkannya kepada Guru Mughni, seorang ulama besar Betawi.

Anak pertama dari tujuh bersaudara diajarkan untuk mencintai Alquran. Sejak masih belia, tanda-tanda kecerdasan sudah tampak pada dirinya. Di samping itu, pribadinya juga penuh disiplin. Untuk menimba ilmu-ilmu agama, Muchtar kecil biasa mengaji pada banyak majelis, dari satu kampung ke kampung lain.

Tidak hanya Guru Mughni. Ada beberapa kiai lain yang menjadi tempatnya belajar. Sebagai contoh, Syekh Ahmad Marzuqi. Sosok yang akrab disapa Guru Marzuki itu tinggal di Cipinang Muara, Jatinegara, Jakarta Timur. Ke sanalah Muchtar selalu berangkat demi menuntaskan rasa hausnya akan ilmu-ilmu agama.

Pada akhirnya, Muchtar tumbuh menjadi seorang remaja yang baik. Orang-orang memandangnya sebagai pribadi yang saleh dan alim. Di kampung halamannya, pemuda tersebut sudah siap mendakwahkan Islam, sesuai kapasitas keilmuannya.

 
Waktu itu, Kaliabang Nangka masih marak akan persoalan akidah. Cukup banyak warga yang kerap melakukan ritual-ritual kemusyrikan.
 
 

Waktu itu, Kaliabang Nangka masih marak akan persoalan akidah. Cukup banyak warga yang kerap melakukan ritual-ritual kemusyrikan, semisal meminta bantuan makhluk halus dan sebagainya. Padahal, semua itu tidak sesuai dengan ajaran agama mereka, yakni Islam.

Muchtar muda pun merasa terpanggil. Ia ingin ikut memperbaiki akidah masyarakat setempat. Sebab, mereka sudah mengaku diri sebagai Muslim. Maka, tidak boleh larut dalam pengaruh kepercayaan animisme dan dinamisme. Tidak boleh lagi orang-orang itu melakukan persembahan, umpamanya, untuk makhluk halus. Apalagi meyakini bahwa benda-benda mati memiliki kekuatan gaib yang bisa menolong manusia.

Secara bertahap, Muchtar melakukan dakwah. Nasihat-nasihat disampaikannya dengan tutur kata yang baik sehingga tidak pernah menyakiti perasaan pendengarnya.

Lambat laun, ikhtiarnya membuahkan hasil. Pola hidup keagamaan masyarakat setempat mulai berubah. Mereka akhirnya meninggalkan sama sekali penyimpangan akidah. Waktu itu, Muchtar masih berusia 20 tahun, tetapi dirinya sudah dianggap seperti seorang tokoh lokal.

Saat terjun berdakwah di tengah-tengah masyarakat, Muchtar kemudian berkeinginan untuk naik haji. Keberangkatan ke Tanah Suci tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Karena itu, ia bekerja keras dengan menyelesaikan pelbagai pekerjaan. Dari ikhtiar itu, dia bisa menabung sedikit demi sedikit uang. Nantinya, dana yang ada untuk memenuhi ongkos berangkat haji. Akomodasi ke Jazirah Arab dari Nusantara saat itu masih memanfaatkan kapal laut.

Selama enam tahun, uang tabungannya kian mencukupi. Akhirnya, terkumpul dana sebesar Rp 3.600 —jumlah yang cukup banyak kala itu. Tentu, rencananya rihlah ke Hijaz bukan hanya untuk menunaikan rukun Islam kelima. Dirinya pun ingin menimba ilmu di Tanah Suci.

Pada 1937, Muchtar memulai perjalannya ke Makkah al-Mukarramah. Begitu usai musim haji, ia menimba ilmu kepada beberapa ulama setempat. Di antaranya adalah Syekh Alwi al-Maliki, Syekh Muchtar al-Atharid, dan Syekh Ahyad. Namun, ulama yang tersebut di awal itulah yang paling mempengaruhi pola pikirnya.

 
Pada 1937, Muchtar memulai perjalannya ke Makkah al-Mukarramah. Begitu usai musim haji, ia menimba ilmu kepada beberapa ulama setempat.
 
 

Selama menimba ilmu di Tanah Suci, Muchtar kerap dihadapkan pada kondisi finansial yang cukup memprihatinkan. Sering kali dia belajar dengan perut yang berbunyi, tanda lapar. Kendati demikian, ia tak pernah patah arang untuk tetap belajar di sana.

Setelah bermukim selama 13 tahun di Makkah, Muchtar akhirnya kembali ke Tanah Air. Kepulangannya adalah untuk meneruskan dakwah di tengah masyarakat tempatnya berasal. Namun, saat masih dalam perjalanan di kapal laut, ia mendapat kabar duka. Ayahnya telah meninggal dunia. Ia pun merasakan kesedihan yang sangat dalam karena tidak sampai berjumpa dengan sang ayah.

Begitu tiba di Jawa pada 1950, Kiai Muchtar disambut dengan gembira oleh kelurga, sahabat, dan masyarakat di kampungnya. Pada saat itu, Indonesia telah menjadi negara yang merdeka, sehingga kepulangannya berjalan dengan lancar.

Dengan oleh-oleh sejumlah kitab yang dipikul oleh dua orang pembantu dan bekal ilmu yang telah meresap dalam dirinya, Muchtar tiba kampung halamannya. Namun, belum sempat beristirahat, dia langsung dipanggil oleh pamannya, Guru Tohir. Pamannya langung meminta untuk membaca kitab-kitab yang dibawanya dari Makkah.

 
Dengan oleh-oleh sejumlah kitab yang dipikul oleh dua orang pembantu dan bekal ilmu yang telah meresap dalam dirinya, Muchtar tiba kampung halamannya.
 
 

Guru Tohir ingin menguji kemampuan Muchtar yang telah belajar 13 tahun di Tanah Suci. Tanpa ragu, yang diuji pun membacakan kitab-kitab tersebut dengan lancar. Bahkan, di sana-sini dirinya menambahkan penjelasan dengan cukup baik.

Setelah usianya menginjak 49 tahun, Kiai Muchtar menikah dengan putri KH Ismail dari Kemayoran Jakarta yang bernama Hj Ni’mah. Saat itu, dia meminta dua orang sahabatnya, KH Noer Ali (Pahlawan Nasional) dan KH Tambih (Kranji) untuk membantu proses pernikahannya, mulai dari proses lamaran sampai acara pernikahan.

Dari pernikahannya ini, Kiai Muchtar dikaruniai empat putra dan tiga putri. Mereka adalah Aminuddin, Aminulloh, Ishomuddin, Ishomulloh, Hannanah, Nurhamnah, dan Yayah Inayatillah. Semuanya di kemudian hari mengikuti jejaknya, yakni berkiprah di dunia pendidikan dan dakwah Islam.

Mendirikan Pesantren

Pada 1952 M, KH Muchtar Thabrani mendirikan Pondok Pesantren Raudhatul Athfal dan Raudhatul Banat. Keduanya memberlakukan sistem pendidikan salafiyah. Lembaga inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren An-Nur, Bekasi Utara.

Awalnya, Kiai Muchtar mengajar santri-santrinya sambil bekerja di kebun. Para santri membaca kitab, sedangkan dirinya menyimak bacaan mereka sambil mencabut rumput liar atau memeriksa tanaman kangkung, singkong, dan jeruk miliknya. Saat masa panen tiba, santri-santrinya turut membantu. Mereka membawa pelbagai hasil bumi ke pasar untuk dijual.

Para muridnya dididik dengan menggunakan metode sorogan dan bandongan. Dengan sistem demikian, Kiai Muchtar akan membacakan kitab-kitab berbahasa Arab. Ketika pelajaran berlangsung, mereka mendengarkan penjelasan sang kiai dengan saksama sembari mencatat.

Kitab-kitab yang diajarkan Kiai Muchtar diantaranya berupa kitab fikih, nahwu, tauhid, balaghoh, tafsir, dan kitab tasawuf. Kitab-kitab yang diajarkan Kiai Muchtar kepada santrinya tersebut sama dengan kitab yang dipelajari Kiai Muchtar saat belajar di Makkah selama 13 tahun.

 
Kitab-kitab yang diajarkan Kiai Muchtar diantaranya berupa kitab fikih, nahwu, tauhid, balaghoh, tafsir, dan kitab tasawuf.
 
 

Saat mengajar, Kiai Muchtar cukup tegas kepada santri-santrinya. Alhasil, mereka selalu bersungguh-sungguh dan tekun dalam belajar. Memang, beberapa santrinya ada yang membandel. Pada akhirnya, murid-murid yang demikian memilih mundur karena tidak kuat dengan metode yang diterapkan sang guru.

Dari 20 santri angkatan pertama, hanya 10 santri yang mampu bertahan mengaji kepada Kiai Muchtar. Mereka itulah yang kemudian meneruskan perjuangan sang dai dalam mendakwahkan Islam. Ada di antaranya yang kelak membangun pesantren, madrasah, atau aktif di majelis-majelis taklim.

Pada 1971, saat usianya mencapai 70 tahun, KH Muchtar Thabrani berpulang ke rahmatullah. Ia meninggalkan warisan berharga untuk umat berupa pondok pesantren dan beberapa kitab karangannya. Adapun karya-karya tulisnya antara lain yang berjudul Targhiib al-Ikhwan fii Fadhiilah ‘Ibaadaat Rajab wa Sya’baan wa Ramadhaan, Tanbiih al-Ghaafil fii at-Taththawu’aat wa al-‘Ibaadaat wa an-Nawaafil, dan Istiaful Ghafilin.

Setiap setahun sekali, keluarga dan para santrinya melakukan tradisi Haul untuk memperingati wafatnya KH Muchtar Thabrani. Biasanya kegiatan Haul ini dilaksanakan setiap bulan Sya’ban pada peninggalan Hijriah dan dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat. 

Berdakwah Hingga Akhir Hayat

Sepanjang hayatnya, KH Muchtar Thabrani sangat menekuni dunia dakwah. Baginya, berkiprah sebagai seorang dai adalah suatu kehormatan. Dengan jalan hidup demikian, dirinya semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT.

Seorang mubaligh, di manapun berada, akan selalu berikhtiar demi mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar. Di tengah masyarakatnya, Kiai Muchtar Thabrani pun tak lelah mengajak orang-orang untuk berbuat baik. Bahkan sejak masih muda, dirinya pernah turut memperbaiki akidah umat yang sempat menyimpang.

Peran Kiai Muchar Thabrani sangat besar dalam memajukan umat Islam khususnya di daerah Bekasi, Jawa Barat. Hal ini terlihat dari jumlah santrinya yang berhasil menjadi tokoh masyarakat. Dia telah membawa pengaruh yang positif. Nama Bekasi kian terangkat lantaran reputasinya.

Untuk membangun masyarakat yang islami, Kiai Muchtar juga aktif berdakwah melalui organisasi, semisal Nahdlatul Ulama (NU). Ia sempat mengemban amanah sebagai rais syuriyah pertama Pengurus Cabang NU Kota Bekasi. Itu terjadi jauh sebelum kemerdekaan RI.

Di usianya yang semakin senja, Kiai Muchtar juga tetap semangat mengajar santri-santrinya di Pondok Pesantren An-Nur di Bekasi Utara. Tidak hanya itu, dia juga menjalani aktivitas dakwah sampai akhir hayatnya.

 
Dalam berdakwah Kiai Muchtar tidak langsung menghakimi masyarakat. Dia telebih dahulu memberikan teladan dan menggunakan tutur kata yang baik.
 
 

Dakwah Kiai Muchtar di Kalianamg Nangka, Bekasi Utara mendapatkan respons yang positif dari masyrakat. Karena, dalam berdakwah Kiai Muchtar tidak langsung menghakimi masyarakat. Dia telebih dahulu memberikan teladan dan menggunakan tutur kata yang baik.

Pernah suatu ketika saat pulang dari berdakwah ada perampok yang ingin membunuhnya. Namun, Kiai Muchtar tetap memaafkan dan menasihatinya agar mereka tidak mengulangi perbuatannya. Dia hanya meminta kepada segerombolan perampok tersebut untuk segera bertobat kepada Allah SWT.

Dengan perilaku seperti itu, banyak masyarakat yang menyukai dan menghormati Kiai Muchtar dalam berdakwah. Akhirnya, masyarakat pun banyak yang mengaji kepadanya. Banyak orang tua menitipkan anak-anak mereka untuk belajar di pondok pesantren sang mubaligh.

Selain mengajar santri di pesantren, bapak tujuh orang anak ini juga mengajar pada majelis taklim di Jakarta, Kranji, Bekasi, dan sekitarnya. Beberapa ulama yang juga sempat mengisi kajian di majelis asuhan Kiai Muchtar adalah KH Noer Ali, Guru Asmar, dan KH Tambih.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat