Kompleks Masjid Agung Kesunanan Surakarta di Solo, Jawa Tengah, ditinjau dari udara. | DOK SURAKARTA GO ID

Arsitektur

Masjid Agung Kesunanan Surakarta, Pusaka tak Ternilai

Masjid Agung ini mulai dibangun sejak masa Sri Susuhunan Pakubuwana II.

 

OLEH HASANUL RIZQA

 

"Bagi Dinasti Mataram Islam, masjid adalah entitas yang tidak terpisahkan dari keseluruhan lanskap tata kota."

Di Tanah Jawa, salah satu peristiwa yang turut menentukan arus sejarah ialah Perjanjian Giyanti. Kesepakatan yang mengikat antara Kongsi Dagang Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC), pihak Kesultanan Mataram, dan kelompok Pangeran Mangkubumi itu berlangsung pada 13 Februari 1755. Sejak saat itu, wilayah Mataram Islam terbagi dua, yakni yang berpusat di Surakarta dan Yogyakarta.

Walaupun secara politik berbeda, keduanya dianggap sama-sama meneruskan Kesultanan Mataram. Sebab, para raja dari masing-masing negeri berdarah biru Mataram Islam. Yang beristana di Surakarta mengambil gelar sunan. Karena itulah kerajaannya disebut sebagai Kesunanan Surakarta Hadiningrat. Adapun yang di Yogyakarta bergelar sultan.

Salah satu aspek kultural yang diwarisinya ialah lanskap tata kota. Penataan ala Mataram Islam itu memiliki unsur-unsur yang harus ada, semisal istana tempat tinggal raja (keraton), masjid, pasar, permukiman abdi dalem, dan alun-alun. Alhasil, dasar tata ruang di Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta sesungguhnya tidak begitu berbeda.

Eksistensi kompleks istana di Surakarta berdiri lebih dahulu. Bahkan, kawasan tersebut menjadi saksi bisu sejarah panjang Dinasti Mataram Islam, yang awalnya berdiri di Kotagede (kini termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta).

photo
Bagian gapura Masjid Agung Kesunanan Surakarta yang bercorak arsitektur Arab-Persia. - (DOK ANTARA Maulana Surya)

Sejak 1625, raja Mataram Islam memindahkan ibu kotanya ke Pleret. Karena Pemberontakan Trunajaya pecah, pusat pemerintahan pun sejak 1677 berpindah ke Kartasura (kini kecamatan di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah). Dari sana, istana lagi-lagi terpaksa dialihkan. Kali ini, ke Surakarta demi menghindari Geger Pecinan 1743.

Meskipun sering mengalami kepindahan, keberadaan masjid selalu dapat ditemui di sekitar ibu kota kerajaan. Bagi Dinasti Mataram Islam, masjid adalah entitas yang tidak terpisahkan dari keseluruhan lanskap tata kota. Sewaktu masih berpusat di Surakarta, sang raja pun membangun sebuah masjid keraton. Hingga kini, bangunan yang bernama resmi Masjid Agung Surakarta itu masih tegak berdiri.

Masjid Agung Surakarta dibangun Sri Susuhunan Pakubuwana II untuk keraton barunya. Letak tempat ibadah itu berada di sisi barat Alun-alun Surakarta. Bentuk awal bangunan tersebut saat itu memang masih cukup sederhana. Maklum, raja ini masih fokus beradaptasi dengan lingkungan Desa Sala yang waktu itu masih dipenuhi rawa-rawa.

photo
Bagian interior Masjid Agung Kesunanan Surakarta. - (DOK WIKIPEDIA)

Barulah pada era penerusnya, Pakubuwana III (1749-1788) proyek Masjid Agung Surakarta dikerjakan dengan lebih lekas. Pada 1768, pembangunan kompleks ibadah itu pun selesai. Sebuah prasasti merekam momen historis tersebut. Hingga kini, artefak itu masih bisa dilihat para pengunjung pada dinding luar ruangan utama masjid tersebut.

Masjid Agung Surakarta dirancang menyerupai Masjid Agung Demak. Bagi raja-raja Mataram Islam, masjid yang dibangun Raden Patah bersama Wali Songo itu adalah pusaka yang tak ternilai. Wajarlah kiranya bila bangunan yang rampung didirikan pada 1479 itu menjadi pedoman dalam mewujudkan masjid resmi kesunanan.

Seperti halnya masjid-masjid tua di Tanah Jawa, keberadaan Masjid Agung Surakarta tidak terlepas dari kehendak penguasa lokal untuk membumikan agama Islam di wilayahnya. Karena itu, rona kultural setempat sangat kuat mewarnai aspek-aspek bangunan tersebut. Bahkan, masjid tidak hanya dipandang sebagai tempat beribadah, tetapi juga bagian dari pusaka yang harus dirawat dari generasi ke generasi.

Pada masanya, dengan status sebagai masjid kerajaan, Masjid Agung Surakarta berfungsi mendukung segala keperluan Kesunanan Surakarta Hadiningrat. Sebut saja, pelbagai tradisi lokal, semisal perayaan grebeg, sekaten, dan maulid Nabi Muhammad SAW. Terlebih lagi, sunan (raja) Surakarta memandang dirinya tidak hanya sebagai pengatur urusan politik, tetapi juga agama. Gelarnya, Sayidin Panatagama Kalipatullah, mengindikasikan hal itu.

Secara otomatis, masjid ini menjadi pelaksana dari fungsi demikian. Semua pegawai Masjid Agung Surakarta diangkat menjadi abdi dalem keraton. Pejabat-pejabat terkait pun diangkat dengan berbagai gelar, seperti //kanjeng raden tumenggung penghulu tafsiranom// (untuk penghulu) dan //lurah muadzin// (juru azan).

photo
Jam bencet atau jam matahari di kompleks Masjid Agung Kesunanan Surakarta. - (DOK ANTARA Maulana Surya)

Detail arsitektur

Luas lahan tempat Masjid Agung Surakarta berada ialah 19.180 meter persegi. Adapun bangunan utamanya mencakup area seluas 308,17 m persegi di sana. Kompleks ini dikelilingi pagar setinggi 3,25 m.

Pada masa Pakubuwana X (1893-1939), Masjid Agung Surakarta dilengkapi dengan sebuah menara. Struktur ini menampilkan gaya arsitektur yang terinspirasi dari Qutub Minar di Delhi, India. Selain gapura, bagian itu biasanya menjadi spot bagi para wisatawan untuk mengambil gambar atau berfoto.

Selain itu, sunan Surakarta kala itu juga menambahkan jam matahari (jam bencet). Gunanya untuk mempermudah penentuan waktu shalat. Alat berbentuk cekungan setengah silinder ini memanfaatkan bayangan paralel sinar matahari. Pada permukaannya yang berbahan dasar tembaga, terdapat garis-garis petunjuk, mulai dari angka 1 hingga 12. Hingga sekarang, pengunjung masih dapat menjumpai jam bencet di masjid tersebut.

photo
Menara Masjid Agung Kesunanan Surakarta di Solo, Jawa Tengah. - (DOK WIKIPEDIA)

Yang cukup unik, gapura Masjid Agung Surakarta tidak seperti bagian-bagian lainnya dari keseluruhan tempat ibadah ini. Sebab, gapura tersebut bernuansa arsitektur Arab-Persia. Dibangun pada 1901, struktur berwarna dominan putih itu tampak elegan.

Ada empat tiang utama (sokoguru) yang menopang bangunan utama. Keempatnya disokong pula oleh 12 tiang tambahan (saka rawa). Bagian interior bangunan tersebut pun tidak ubahnya sebuah rumah tradisional Jawa atau Joglo. Pada sisi yang mengarah kiblat, terdapat mihrab dan mimbar.

Ruang utama yang berfungsi sebagai ruang shalat lengkap dengan mihrabnya. Ada pula ruang sayap kembar di utara dan selatan. Selain itu, terdapat ruang pawastren, balai pabongan dan yogaswara, serambi, serta emper.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat