Rose Nathike | Youtube

Olahraga

Rose Nathike dan Simbol Harapan Pengungsi

Rose Nathike dan rekan-rekannya telah mendapatkan sambutan hangat di Stadion Maracana.

OLEH RAHMAT FAJAR

Rose Nathike satu dari puluhan atlet pengungsi yang ikut terlibat dalam perhelatan pesta olahraga terbesar sejagat, yakni Olimpiade. Ia adalah atlet lari berasal dari Sudan Selatan yang mengungsi ke Kamp Pengungsi UNHCR — organisasi di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi para pengungsi.

Pengalaman Olimpiade 2016 di Rio Janeiro, Brasil, telah mengubah hidup para atlet pengungsi. Nathike dan rekan-rekannya telah mendapatkan sambutan hangat di Stadion Maracana waktu itu.

Sebuah pemandangan mengharukan dan pastinya membahagiakan bagi atlet pengungsi. Ia merasa stigma rendah karena statusnya sebagai pengungsi seolah hilang seketika. Pembawa bendera pengungsi di Olimpiade Rio itu adalah Nathike. Kini, di Olimpiade 2020 Tokyo, ia kembali hadir dengan kontingen yang sama.

Setelah tahu bagaimana sambutan hangat di Rio, Nathike pun memandang Olimpiade adalah waktu pas untuk menyampaikan pesan-pesan moral tentang pengungsi dan kemanusiaan. Ajang ini adalah waktu tepat mengubah paradigma global tentang pengungsi.

“Menjadi pengungsi hanyalah status dan menjadi pengungsi bukan berarti hidupmu berakhir di situ,” kata Nathike saat berbicara langsung kepada pengungsi sebelum berlaga di Olimpiade Tokyo, dilansir dari laman resmi Olimpiade, Jumat (30/7).

“Selama Anda melakukan apa yang benar untuk Anda, tentunya Anda dapat mencapai apa pun yang Anda inginkan,” katanya menambahkan.

Dari pernyataan itu, tampak jelas Nathike menyimpan misi lebih besar. Ia hadir ke Olimpiade tak hanya sekadar berburu medali. Ia datang dengan mengemban pesan seluruh pengungsi.

Secara tersirat ia ingin menyampaikan kepada seluruh penduduk dunia bahwa mereka punya harapan agar bisa hidup layaknya orang-orang normal dan dapat diterima oleh siapa pun.

Tak hanya pembawa pesan-pesan kepada global, Nathike juga mendorong gadis dan pemuda yang ada di pengungsian bahwa mereka harus bersedia berolahraga. Tujuannya tak lain untuk menyampaikan pesan bahwa para pengungsi itu sama dengan orang lain pada umumnya.

“Kita semua adalah manusia, tidak ada yang memilih untuk menjadi pengungsi. Selama kamu diberi kesempatan sebagai pengungsi, kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau,” ujar Nathike menjelaskan.

Tak mudah memang menjadi atlet pengungsi. Persiapan mereka dipenuhi dengan ketidakpastian. Sebelum terbang ke Tokyo, persiapan Nathike dan atlet pengungsi lainnya sempat terhenti. Mereka diminta pindah dari kamp pelatihan di Ngong dan kembali ke kamp pengungsi Kakuma, tempat bakat awal mereka ditemukan.

Alasannya, semua kamp di Kenya ditutup. Cuaca yang terlalu panas sehingga atlet tak bisa berlatih adalah risiko yang harus dihadapi mereka ketika kembali ke Kakuma. Selama sembilan bulan, Nathike dan rekan-rekannya bertahan di sana.

Hanya menguatkan mental satu-satunya jalan Nathike dan rekannya bisa bersaing dalam Olimpiade saat fasilitas latihan yang meraka dapatkan jauh dari kata maksimal. Semangat untuk bisa menunjukkan kepada dunia tentang seorang pengungsi bisa tegak membuat mereka hanya berlatih secara individu.

Nathike masih menyimpan perasaan haru ketika mendapatkan sambutan hangat di Rio. Ketika itu ia merasa seperti hidup normal. “Kami merasa seperti kami adalah manusia. Kami juga dapat melakukan apa yang dilakukan orang lain,” kata Nathike mengenang pada momen Olimpiade Rio.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat