ILUSTRASI Imam Abu Manshur al-Maturidi | DOK REP Da

Tema Utama

Al-Maturidi dan Pemimpin Teolog Islam

Imam Abu Manshur al-Maturidi berjasa besar dalam membela manhaj ahlussunnah waljamaah.

OLEH HASANUL RIZQA

Melalui ilmu kalam, Imam Abu Manshur al-Maturidi berjasa besar dalam membela manhaj ahlussunnah waljamaah. Seperti Asy'ariyah, pemikirannya menepis dalih-dalih aliran ekstrem.

Dalam Qanun Asasi, KH M Hasyim Asy’ari memberikan keterangan tentang ahlussunnah waljamaah atau aswaja. Menurutnya, para pengikut mazhab tersebut adalah yang dalam praktik peribadahan (’ubudiyah) mengikuti salah satu dari empat imam, yakni Abu Hanifah (Hanafi), Malik bin Anas, Muhammad asy-Syafii, dan Ahmad bin Hanbal (Hambali).

Dalam bertasawuf, mereka merujuk pada salah satu dari dua imam, yaitu Abu Qasim al-Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. Sementara, dalam persoalan akidah kalangan ini berpatokan pada pandangan salah satu dari dua mutakalim, Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi.

Bagaimanapun, sejarah aswaja tidak bermula dari tokoh-tokoh besar tersebut. Sebab, cara berpikir (manhaj al-fikr) aswaja sesungguhnya sudah tumbuh dan berkembang sejak lahirnya Islam. Manhaj ini digariskan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW dan murid-muridnya.

Mereka adalah tabiin yang memiliki intelektualitas tinggi serta relatif netral dalam menyikapi situasi politik pada masanya. Pujian terhadap dua generasi itu bahkan pernah disampaikan langsung oleh Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Yang terbaik dari kalian adalah orang-orang yang hidup pada zamanku (sahabat). Kemudian, orang-orang setelah mereka (tabiin). Kemudian, orang-orang setelah mereka (tabiit tabiin).”

Setelah Nabi SAW wafat, aswaja berhadapan dengan pelbagai paham dari masa ke masa. Ketika Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah, Khawarij dan Syiah bertentangan dengan aswaja. Sejak usainya periode khulafaur rasyidin hingga abad kedua Hijriyah, manhaj ini menghadapi gerakan Qadariah, Murji’ah, dan Jahmiyah.

Sepanjang abad tersebut, ulama-ulama ahli fikih—terutama imam empat—bisa dikatakan menjadi yang terdepan dalam membentenginya. Barulah pada abad ketiga Hijriyah, muncul para ahli ilmu kalam atau teolog Islam dari kalangan aswaja. Al-Asy’ari dan al-Maturidi merupakan dua figur utama dalam hal ini. Yang satu mendirikan aliran Asy’ariyah, sedangkan yang lain Maturidiyah.

 
Pada abad ketiga Hijriyah, muncul para ahli ilmu kalam atau teolog Islam dari kalangan aswaja. Al-Asy’ari dan al-Maturidi merupakan dua figur utama dalam hal ini.
 
 

Di antara keduanya, pemilik nama lengkap Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi as-Samarqandi al-Hanafi itu berusia lebih tua. Seperti tampak dari namanya, al-Maturidi lahir di Desa Maturid, Samarkand, Transoksiana—kini termasuk Uzbekistan di Asia Tengah.

Mustafa Ceric dalam bukunya, Roots of Synthetic Theology in Islam: A Study of the Theology of Abu Mansur al-Maturidi menerangkan, tidak ada keterangan yang pasti mengenai kapan sang mutakalim dilahirkan. Beberapa sumber menyebutkan tokoh ini lahir pada 235 H/850 M. Ada pula yang menduga, tahun kelahirannya ialah 238 H/853 M.

Ibnu Khallikan (1211-1282), penulis kitab biografi Wafayat al-Ayan (Berita Kematian Laki-laki Ulung), menulis bahwa al-Maturidi lahir tiga dekade sebelum al-Asy’ari. Artinya, sang alim lahir pada 230 H/843 M.

Sejumlah ulama hidup sezaman dengannya dan berasal dari daerah yang sama pula. Misalnya, Muhammad bin Isma’il al-Bukhari (wafat 256 H) dan Muslim bin Hajjaj an-Naisabur (wafat 261 H). Bila pendiri Asy’ariyah merupakan keturunan seorang sahabat, Abu Musa al-Asy’ari, maka al-Maturidi pun nasabnya sampai kepada sahabat Rasulullah SAW, Abu Ayyub al-Anshari. Rumah sahabat ini sempat ditempati Nabi SAW tatkala hari-hari awal di Madinah.

 
Al-Maturidi pun nasabnya sampai kepada sahabat Rasulullah SAW.
 
 

Sedikit perbedaan lainnya antara kedua mutakalim aswaja ini. Al-Asy’ari lahir di Basrah, Irak, yang kala itu merupakan salah satu pusat intelektual. Sementara, Samarkand daerah tempat al-Maturidi tumbuh besar saat itu masih sebagai wilayah “pinggiran” dunia Islam.

Karena status periferi itulah, banyak tokoh Mu’tazilah yang menyingkir ke sana setelah Dinasti Abbasiyah tidak lagi mendukung mereka. Sejak Khalifah al-Mutawakkil berkuasa, Mu’tazilah memang mulai ditinggalkan elite penguasa. Malahan, secara terang-terangan pemimpin ke-10 Abbasiyah itu mendukung aswaja.

Namun, pada akhirnya Samarkand dan Asia Tengah pada umumnya tidak jatuh dalam pengaruh Mu’tazilah. Dengan gemilang, al-Maturidi tampil sebagai pembela aswaja yang brilian. Argumentasinya mampu mengalahkan pemikiran setiap sekte yang menyimpang.

Reputasinya yang besar ditunjang oleh kebiasaannya semasa kecil dan remaja yang selalu tekun menuntut ilmu-ilmu agama. Ada banyak guru tempatnya belajar hingga menjadi seorang berjulukan Imam al-Mutakallimin, “pemimpinnya para cendekiawan ilmu kalam".

 
Al-Maturidi tampil sebagai pembela aswaja yang brilian. Argumentasinya mampu mengalahkan pemikiran setiap sekte yang menyimpang.
 
 

Ia tercatat pernah menimba ilmu dari Abu Nashr Ahmad al-‘Iyadh, Abu Bakar Ahmad al-Juzjani, Nushair bin Yahya al-Balkhi (wafat 268 H/881 M), serta Muhammad bin Muqatil ar-Razi (wafat 248/862). Para gurunya itu memiliki sanad keilmuan yang sampai kepada Imam Abu Hanifah.

Sebab, mereka sama-sama pernah belajar dari Abu Sulaiman bin Musa al-Juzjani, yang berguru pada Al-Qadhi Abu Yunus (wafat 182 H) dan Muhammad bin al-Hasan (wafat 189 H). Keduanya adalah murid terbaik sang pendiri Mazhab Fikih Hanafi.

Imam Hanafi terkenal ketat dengan keabsahan pendapat akal. Sebagai pengikut mazhab fikih tersebut, al-Maturidi menghasilkan corak pemikiran ilmu kalam yang sejalan dengannya. Tak mengherankan bila paham teologi yang disebarkannya memiliki banyak persamaan dengan pandangan-pandangan Hanafiyah.

Misalnya, mengedepankan pertimbangan akal dalam memecahkan berbagai masalah keagamaan. Tidak mengejutkan bila banyak ulama bermazhab fikih Hanafi yang, dalam hal teologi, mengikuti Maturidiyah.

Tanda-tanda kecerdasan al-Maturidi sudah tampak sejak dirinya masih muda. Sebuah kisah mencerminkan fakta itu. Diceritakan bahwa Syekh Abu Nashr Ahmad tidak akan memulai ceramahnya di suatu majelis ilmu bila al-Maturidi belum hadir.

Ketika sang guru mendapati murid kesayangannya itu tiba, orang-orang di sekitarnya diminta melantunkan Alquran surah al-Qasas ayat 68. Artinya, “Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki.” Ini merupakan bentuk pengakuan dari seorang syekh yang tentu tidak bisa sembarangan diperoleh.

Hingga akhir hayatnya, sosok yang populer dengan gelar Mutassabib ‘Aqa’id al-Muslimin (sang penyelamat akidah kaum Muslimin) itu berdakwah dan menebar ilmu di Samarkand. Betapa banyak orang yang menjadi muridnya atau memetik pelajaran dan hikmah darinya. Di antara mereka, ada empat orang ulama yang di kemudian hari berpengaruh besar. Keempatnya mengikuti jejak sang guru dalam membela dan menegakkan manhaj aswaja.

photo
ILUSTRASI Imam Abu Manshur al-Maturidi merupakan seorang mutakalim kelahiran Samarkand. Ia hidup pada abad ketiga Hijriyah. - (DOK FREE Great Picture)

Mereka adalah Abu Qasim Ishaq bin Ismail (wafat 340 H/951 M), yang juga dikenang sebagai “filsufnya Samarkand”; Abu Muhammad ‘Abd al-Karim bin Musa al-Bazdawi (wafat 390 H/990 M), yang populer dengan sebutan “al-Maturidi dari Bukhara”; Abu Hasan Ali bin Sa’id al-Kastaqhfani; dan Abu al-Haris al-Bukhari.

Melalui kiprah mereka, masyarakat luas dapat menerima ajaran-ajaran al-Maturidi, terutama yang berkaitan dengan ilmu kalam. Pada akhirnya, muncul pula generasi-generasi penerus aliran Maturidiyah. Itu tidak hanya di Asia Tengah, melainkan juga kawasan-kawasan lain, seperti Turki dan Anak Benua India.

Sepanjang hidupnya, al-Maturidi telah menghasilkan banyak karya tulis. Buku-bukunya mencakup banyak disiplin keilmuan, tidak melulu ilmu kalam, tetapi juga fikih, ushul fikih, serta tafsir Alquran. Dalam bidang fikih dan ushul fikih, dirinya menulis Maakhiz al-Syar’i dan Al-Jadli. Sebagai seorang pengikut Imam Hanafi, tentunya kedua karyanya itu tidak lepas dari pembahasan Mazhab Manafi atas pelbagai soal.

Sementara, karyanya tentang ilmu tafsir Alquran diketahui “hanya” satu, yakni At-Ta’wilat al-Maturidiyah fi Bayani Ushul Ahl as-Sunah wa Ushul at-Tauhid. Seperti tampak dari judulnya, pokok persoalan yang diangkat dalam kitab ini tidaklah seluas kajian tafsir, melainkan takwil. Al-Maturidi berupaya menerangkan ayat-ayat Alquran melalui pendekatan akal, makna yang tersirat, dan derivasi.

Sebagai seorang mutakalim, wajarlah bila dirinya banyak menghasilkan buku yang bertopik ilmu kalam. Tercatat, ada 10 kitab yang ditulisnya terkait disiplin keilmuan itu. Di antaranya adalah At-Tauhid, yang bisa dianggap sebagai karya yang paling mendasar darinya terkait ilmu kalam.

Kemudian, ada kitab Raddu al-Ushul al-Khamsah. Di dalamnya, al-Maturidi menjelaskan titik-titik lemah konsep ushul al-khamsah, khususnya yang dikampanyekan ulama Mu’tazilah Abi Muhammad al-Bahili. Ushul al-khamsah membicarakan tentang Kemahaesaan Tuhan, keadilan-Nya, janji dan ancaman-Nya, al-manzilah baina al-manzilataini (keadaan bukan Mukmin dan bukan pula kafir), serta amar ma’ruf nahi munkar.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

Perihal Kemahaesaan Tuhan dalam benak Mu’tazilah tidak bisa disamakan dengan tauhid yang dipahami aswaja. Aliran Mu’tazilah berpendapat, sifat Allah adalah Zat-Nya itu sendiri. Al-Maturidi membantah pendapat itu dengan menunjukkan, sifat-sifat Allah tidak mempunyai eksistensi yang mandiri dari Zat. Alhasil, banyaknya sifat tidak berarti banyaknya qadim.

Bagaimanapun, saat menyoroti soal “keadilan-Nya”, al-Maturidi—walaupun tetap berhaluan aswaja—cenderung lebih dekat dengan pandangan Mu’tazilah, yakni dalam hal kebebasan berkehendak. Sebagai perbandingan, kesimpulan akhir pandangan Asy’ariyah condong menjurus pada jabbariyah atau fatalisme.

Tiga karya lainnya dari al-Maturidi ialah Raddu Awail al-Adilla li al-Ka’bi, Raddu wa ‘id al-Fussaq li al-Ka’bi, dan Raddu Tazzib al-Jadl li al-Ka’bi. Semua itu ditulisnya untuk menyanggah pemikiran seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Qasim bin Ahmad al-Ka'bi.

Bayan Awham al-Mu'tazila pun disusunnya untuk melawan paham Mu’tazilah secara umum. Sementara, Radd al-Imama dikarangnya sebagai sanggahan terhadap konsepsi keimaman yang diyakini kaum Syiah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat