Warga memindai kode batang untuk pembayaran nontunai di salah satu los sembako di Pasar Mayestik, Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa (11/5/2021). Revolusi tengah terjadi pada lanskap perbankan dan finansial. | ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Opini

Pandemi Merevolusi Perbankan

Revolusi tengah terjadi pada lanskap perbankan dan finansial.

BARI ARIJONO; Founder & CEO Digital Enterprise Indonesia, Executive Chairman Digital Banking Institute

Disrupsi bukanlah hal baru. Bila kita melihat kembali beberapa tahun terakhir, disrupsi terjadi berkali-kali ketika para pimpinan perusahaan memandang enteng dampak perubahan dalam industri mereka.

Di sektor perbankan, potensi perubahan terbesar tak hanya terfokus pada pengalaman nasabah terhadap frontliner bank.

Namun, kita melihat antrean di kantor cabang, pembukaan rekening tabungan, form kertas, tanda tangan basah, promo kartu kredit, pengajuan KTA/KPR/KKB, fee transfer antarbank, dan regulasi perbankan jadi sasaran sistem, paradigma, dan teknologi baru.

Sehingga pertanyaan yang harus diajukan melihat pengalaman Giant, Gramedia, Garuda, dan lainnya, kapan tepatnya kita tahu pasti sedang mengalami disrupsi? Apa saja tanda bahayanya? Apakah ada indikator serupa bagi disrupsi di institusi perbankan dan keuangan?

Pertanyaan terbesarnya, mengapa saat dihadapkan pada disrupsi, bank tak bereaksi lebih dini? Padahal sudah jelas, terutama bagi yang mencermati, revolusi tengah terjadi pada lanskap perbankan dan finansial, yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

 
Di sektor perbankan, potensi perubahan terbesar tak hanya terfokus pada pengalaman nasabah terhadap frontliner bank.
 
 

Bank-bank besar berlomba menghadirkan layanan baru dengan meluncurkan aplikasi baru mobile banking. Sudah jelas, hal pertama dalam merespons perubahan adalah bagaimana organisasi dan pimpinannya bersikap.

Adaptasi menjadi kemampuan bertahan hidup bagi bisnis era kini. Beberapa organisasi masih bisa mengatakan, akan melihat sejauh mana disrupsi ini berjalan. Setelah itu, mereka bisa menjadi pengekor cepat, menjiplak inovasi dari perusahaan teknologi.

Ada beberapa alasan hal ini terus terjadi. Paling kritikal, karena memang pimpinan bank tradisional itu tak memiliki kemampuan teknologi mumpuni. Pengekor sudah jelas tertinggal dua sampai tiga tahun dari pelaku utama yang memperkenalkan inovasi.

Perlu sejumlah hal taktis untuk merevolusi organisasi bank. Pertama, tempatkan orang berlatar belakang teknologi di jajaran direksi.

Bank membutuhkan direktur berlatar teknologi yang memiliki jaringan luas ke perkembangan teknologi terkini. Teknolog itu juga idealnya memiliki perusahaan rintisannya sendiri atau pernah bersentuhan dengan transformasi digital di organisasi mirip bank.

 
Perlu sejumlah hal taktis untuk merevolusi organisasi bank. Pertama, tempatkan orang berlatar belakang teknologi di jajaran direksi.
 
 

Tujuannya, mendapatkan pandangan top-down sebagai bahan pertimbangan komite eksekutif. Harus ada pula identifikasi, teknologi mana yang memang benar-benar dibutuhkan.

Kedua, pekerjakan generasi milenial dan generasi Z. Milenial harus masuk tim, tetapi mempekerjakan mereka tak mudah kecuali perusahaan punya sesuatu yang menarik buat mereka. Misalnya, nilai lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik.

Banyak dari mereka lebih kritis terhadap isu sosial, masalah lingkungan hidup, kesenjangan ekonomi, dan hak menyuarakan pendapat.

Ketiga, lebih terbuka dan luwes. Di dunia bisnis saat ini, ada beberapa organisasi besar yang memang luwes. Tapi sektor paling konsisten, bisa kita temukan organisasi seperti ini adalah teknolog yang mengembangkan startup dan menjadi pemain kelas kakap.

Misalnya, Stripe, Pin An Bank, Varo Bank, Ally Bank, Discover Bank, Chime, TIAA Bank, Marcus, CapitalOne, NUBank, N26, Revolut, Starling, dan kawan-kawan. Mereka mesti menjaga kelincahannya dengan karyawan yang amat besar, melebihi bank-bank umumnya.

Keempat, setop mempekerjakan bankir, cari pelamar berbeda. Sudah jadi kunci, keahlian baru perlu dipompakan ke organisasi. Jadi, kalau hanya fokus mencari orang yang sebelumnya bekerja di bank, justru memperkuat proses pengambilan keputusan gaya tradisional.

Buntutnya, mereduksi kemampuan organisasi untuk selamat. Jika mempekerjakan pemrogram, desainer, ilmuwan data, ahli internet, komputasi awan dan spesialis deep learning, AI, dan blockchain akan membawa kesegaran baru dalam organiassi.

 
Jika bank memutuskan bertahan dari gempuran disrupsi teknologi dan tekfin, harus memulainya dengan komitmen mengubah budaya perusahaan.
 
 

Kelima, prioritaskan perjalanan digital yang paling terasa dampaknya. Mentransformasikan seluruh bisnis perbankan dalam waktu semalam jelas mustahil, tetapi bisa mulai dengan membangun pengalaman.

Jika bank ingin menyajikan pengalaman layanan bagi nasabahnya, jangan sekadar mencomot produk dari kantor fisik lalu ditanamkan dalam digital channel. Bank harus memasukkan skenario atau pengalaman nasabah untuk menghasilkan dampak yang kuat.

Jika bank memutuskan bertahan dari gempuran disrupsi teknologi dan tekfin, harus memulainya dengan komitmen mengubah budaya perusahaan. Ini membutuhkan sebuah pergeseran budaya, yang dimulai dari atas.

Ini membutuhkan pemimpin yang memang ingin bertransformasi bisnisnya, juga berkemampuan mewujudkan perubahan. Tak sekadar mengubah tampilan luarnya. Ya, transformasi perbankan amat sulit. Semakin besar organisasinya, kian susah membuatnya bergerak.

Maka itu, mengeklaim diri sudah digital, tak cukup. Digital itu sesuatu yang memang ada di jantung bisnis perusahaan. Perbankan harus berubah menjadi sesuatu yang ada di mana saja dan kapan saja melalui teknologi. Bukan lewat kantor cabang atau manusia.

Kalau pimpinan bank tak memiliki kepemimpinan mumpuni mentransformasikan bisnis dan tidak membuka diri berpikir berbeda, bank yang ia pimpin tak bakal selamat.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat