Nasional
Vonis Ringan Koruptor Disebut Jadi Budaya
Pemantauan ICW pada tahun 2020 sudah menggambarkan secara jelas bahwa majelis hakim kerap kali tidak menunjukkan keberpihakan pada sektor pemberantasan korupsi.
JAKARTA—Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII), Allan Fatchan Gani, menilai kecenderungan vonis ringan koruptor akan menjadi budaya dan berpotensi dibudayakan. Padahal, pemerintah dan penegak hukum berulang kali mengkampanyekan semangat pemberantasan korupsi.
Terbaru, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman lima tahun penjara terhadap mantan menteri kelautan dan perikanan Edhy Prabowo. Vonis ini memang sesuai dengan tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Padahal, status Edhy sebagai pejabat publik dan petinggi partai. Selain pidana bidan, Edhy juga dijatuhi denda sejumlah Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan. “Terhadap tuntutan dan vonis yang ringan, perlu diselidiki secara serius kemungkinan-kemungkinannya," tegas Allan kepada Republika, Jumat (16/7).
Menurutnya, jika soal tuntutan yang rendah, maka jaksa yang menuntut perlu ditelusuri rekam jejaknya, kapasitas serta integritasnya. Namun, jika soal putusan atau vonis, Komisi Yudisial (KY) perlu menelusuri rekam jejak, kapasitas, dan integritas sang hakim.
"Dari situ akan ditemukan benang merahnya bagaimana komitmen pemberantasan korupsi para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum dan keadilan," tegasnya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menilai, tindakan korupsi para pejabat saat ini ditoleransi. Menurutnya, Indonesia sedang mengalami kemunduran pemberantasan korupsi berdasarkan tututan dan vonis ringan koruptor.
"Tren ini akan terus terjadi ketika semangat pemerintahan yang toleran terhadap koruptor. Buktinya sanksi mereka sebanding dengan sanksi pencurian kecil," tutur Feri.
Ia menekankan, pada era Presiden Joko Widodo "niat" memberantas korupsi sudah dimusnahkan. "Akibatnya timbul nilai-nilai yang permisif dalam melindungi koruptor dengan berbagai cara, " kata dia.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai putusan lima tahun penjara untuk Edhy Prabowo menggambarkan lembaga kehakiman dan penegak hukum tak lagi bisa diandalkan memberantas korupsi. Patut untuk diingat, kata Kurnia, saat melakukan praktik korupsi Edhy sedang mengemban status sebagai pejabat publik, sehingga berdasarkan Pasal 52 KUHP seharusnya dikenakan pemberatan hukuman.
"Tidak cukup di situ, kejahatan tersebut juga dilakukan di tengah masyarakat yang sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19," tegas Kurnia.
Pemantauan ICW sepanjang 2020 sudah menggambarkan secara jelas bahwa majelis hakim kerap kali tidak menunjukkan keberpihakan pada sektor pemberantasan korupsi. "Bayangkan, rata-rata hukuman koruptor saja hanya tiga tahun satu bulan penjara," tuturnya.
Di lain pihak, KPK mengapresiasi vonis yang diberikan terhadap terdakwa Edhy Prabowo. Plt Juru Bicara KPK, Ipi Maryati Kuding menilai vonis yang diberikan kepada Edhy secara umum telah memenuhi seluruh isi analisis yuridis dalam tuntutan tim Jaksa Penunut Umum (JPU). Ipi mengatakan, KPK saat ini akan menunggu salinan putusan lengkap vonis terhadap politisi Gerindra tersebut.
"Sebagaimana dinyatakan tim JPU KPK dalam sidang putusan, kami masih bersikap pikir-pikir terkait putusan tersebut," katanya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.