Sejumlah massa yang tergabung dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Papua melaksanakan aksi di depan gedung Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Rabu (24/2/2021). Aksi tersebut dilakukan untuk menuntut penolakan rencana perpanjangan otonomi khusus dan daerah ot | Republika/Putra M. Akbar

Nasional

Perwakilan Papua Kritik RUU Otsus

Perubahan 19 pasal RUU Otsus dinilai tidak mewakili kepentingan orang asli Papua.

JAKARTA—Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) menilai Rancangan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Papua (Otsus Papua) tak sesuai harapan. Draf RUU Otsus Papua rencananya akan dibawa ke sidang paripurna, Kamis (15/7) hari ini.

Ketua Panitia Khusus Otsus Papua DPRP Thomas Sondegau mengatakan, revisi UU Nomor 21 Tahun 2001 ini hanya sesuai dengan keinginan pemerintah pusat. "Kami melihat bahwa pemerintah menetapkan rancangan Otsus Papua tidak sesuai (harapan) sebenarnya ini, ini maunya pusat," kata Thomas kepada Republika, Rabu (14/7).

Ia menambahkan, berdasarkan aspirasi yang diterima DPRP, masyarakat menginginkan agar UU Otsus Papua dilakukan evaluasi secara menyeluruh. Selain itu, masyarakat Papua juga ingin agar UU Otsus Papua berpihak kepada kepentingan orang asli Papua. "Tetapi kami lihat rancangannya yang diajukan yang hanya berapa saja diajukan itu ya rata-rata maunya Jakarta," ujarnya.

Ia menyayangkan sikap pemerintah pusat yang dinilai kurang membuka ruang dialog dalam revisi UU Otsus Papua kali ini. Adanya pengubahan sebanyak 19 pasal menurutnya tidak untuk kepentingan orang asli Papua. DPRP mengaku aspirasi masyarakat Papua ingin kepala daerah merupakan orang asli Papua. Selain itu, penerimaan TNI, Polri, Kejaksaan Tinggi juga mengalokasikan 80 persen orang asli Papua.

Selain itu Thomas juga menyoroti soal pasal pemekaran wilayah. "Pemekaran itu pasal yang mereka masukan itu kebijakan pemerintah pusat, sebenarnya tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang 21 (Tahun 2001), bahwa pemekaran suatu daerah disetujui oleh DPR Papua dan MRP Papua," tegasnya.

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib juga mempertanyakan adanya perubahan terhadap 19 pasal di RUU Otsus Papua. "Karena 19 pasal yang jumlahnya banyak ini indikatornya apa? Terus atas usul siapa?" kata Timotius Murib, Rabu.

Ia menjelaskan, awalnya pemerintah hanya akan merevisi dua pasal, yaitu pasal 34 dan pasal 76. Namun seiring proses pembahasan pasal yang diubah bertambah menjadi 19 pasal. Timotius menganggap adanya penambahan pasal yang diubah dari dua pasal menjadi 19 pasal justru dinilai konyol.

Timotius menuturkan, alangkah eloknya perubahan itu dilakukan atas usul masyarakat, sehingga UU Otsus Papua yang disahkan nantinya sesuai dengan harapan masyarakat Papua. Sementara yang terjadi saat ini pasal-pasal yang diubah justru hanya sesuai dengan apa yang diinginkan pemerintah pusat dan DPR.

Dia menyayangkan sikap DPR dan DPD yang dinilai tidak gigih dalam memperjuangkan aspirasi rakyat Papua. Ia pun mengusulkan agar revisi UU Otsus Papua dibatalkan. "Supaya jangan kita ini saling menyalahkan dan terus-menerus berkelahi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat terutama kami di MRP," tegasnya.

Penolakan

Di Papua muncul demonstrasi menolak pengesahan RUU Otsus Papua yang sudah disepakati Pansus Otsus Papua di DPR. Demo digelar Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Cenderawasih (Uncen) pada Rabu (14/7) pagi. "Tolak otsus karena pembahasannya sepihak," kata Ketua BEM Uncen, Yops Itlay, kepada Republika, Rabu.

 
Dr Adriana Elisabeth tentang Otonomi Khusus Papua.
(Istimewa)
 

Sementara, Kapolresta Jayapura Kota Kombes Gustav Urbinas mengakui, sekitar 21 mahasiswa diamankan selama demonstrasi karena melakukan perlawanan dengan melempari petugas saat dibubarkan. "Mahasiswa diamankan karena saat hendak dibubarkan melawan bahkan melempari anggota," kata Urbinas.

Kapolresta mengeklaim aksi demo tolak Otsus Jilid II yang dilakukan solidaritas mahasiswa dan rakyat Papua tidak berizin sehingga dibubarkan aparat keamanan.

Sebelumnya, Pansus menyepakati RUU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua disahkan dalam pembicaraan tingkat II atau rapat paripurna. Pembahasan RUU Otsus Papua terpantau cepat karena pansus baru dibentuk 10 Februari 2021.

Tercatat, pembahasan RUU Otsus hanya membutuhkan waktu kurang dari lima bulan karena terpotong jeda masa reses dua kali pada 11 Februari-5 Maret dan 12 April-5 Mei 2021. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat