Warga memakamkan jenazah tewas karena Covid-19. MUI menilai permakaman massal boleh dilakukan karena kondisi darurat seperti saat bencana Tsunami di Aceh 2004. | EPA-EFE / MONIRUL ALAM

Khazanah

Pandangan Islam Soal Permakaman Massal

Dalam kondisi normal, permakaman massal menjadi tidak wajar.

OLEH UMAR MUKHTAR

Pandemi telah menimbulkan krisis kesehatan yang berujung pada banyaknya korban jiwa. Dalam kondisi demikian, kebutuhan terhadap lahan permakaman yang luas pun tak terelakkan. Permasalahan kemudian muncul ketika tidak ada lagi lahan yang cukup untuk permakaman.

Solusi yang mencuat untuk mengatasi itu adalah pemakaman massal. Lantas, bagaimana Islam memandang hal ini? Apakah boleh memakamkan banyak jenazah pada satu liang lahat? Jika boleh dalam keadaan darurat, sejauh mana sifat kedaruratan yang membolehkannya?

Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof KH Hasanuddin Abdul Fatah menyampaikan, dalam kondisi normal, tentu satu jenazah dimakamkan di satu liang lahat. Namun, hal ini berbeda bila keadaannya darurat, yakni ketika ada banyak jenazah, tetapi luas lahan permakaman tidak memadai.

"Kalau dalam kondisi darurat seperti waktu dulu saat terjadi bencana tsunami di Aceh, dan juga seperti sekarang ini (pandemi Covid-19), mengapa tidak dikubur secara massal jika lahannya sudah tidak cukup," kata dia kepada Republika, belum lama ini.

Dalam surah at-Taghabun ayat 16, Allah SWT berfirman, "Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah." Sedangkan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda, "Dan apabila aku perintahkan kepadamu tentang satu perkara, maka kerjakanlah semampumu."

Guru besar ushul fikih UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu juga menjelaskan, ada beberapa kaidah fikih yang menjadi landasan dibolehkannya pemakaman massal dalam situasi darurat. Di antaranya ialah keadaan darurat membolehkan sesuatu yang dilarang. Meski begitu, sebagaimana dalam kaidah lain, segala hal yang dibolehkan karena darurat harus diukur sesuai kadar.

Kaidah lainnya, terang Kiai Hasanuddin, yaitu harus ada upaya sebisa mungkin untuk menghilangkan keadaan bahaya. Kaidah berikutnya adalah, apabila suatu perkara menyempit maka diperlonggar. Termasuk juga kaidah, jika dua kerusakan saling berhadapan, yang dipilih adalah yang lebih kecil risikonya dibandingkan yang lebih besar mudharatnya.

Hal itu diperkuat lagi dengan pendapat para ulama mengenai pengurusan jenazah. Pendapat-pendapat itu terangkum dalam sejumlah kitab.

"Banyak ulama yang telah menyampaikan pendapatnya (tentang pemakaman massal dalam keadaan darurat). MUI juga telah mengeluarkan fatwa terkait itu yang merujuk pada Alquran, hadis, dan pendapat ulama," katanya.

Karena itu, Kiai Hasanuddin menyampaikan, jenazah boleh dikuburkan secara massal dalam jumlah yang tidak terbatas, baik dalam satu atau beberapa liang kubur, dan tidak harus dihadapkan ke arah kiblat bila terjadi keadaan darurat ketika pengurusan jenazah tidak mungkin memenuhi ketentuan syariat.

Penguburan secara massal itu, lanjut Hasanuddin, boleh dilakukan dengan menggabungkan jenazah laki-laki dan perempuan, serta antara Muslim dan non-Muslim. Hal ini sesuai dengan fatwa yang telah dikeluarkan MUI terkait pengurusan jenazah dalam keadaan darurat.

Hasanuddin menambahkan, kalaupun tidak ada contoh yang dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW, permakaman massal tidak masalah untuk dilaksanakan. Sebab, sebuah hukum tidak harus mengacu pada zaman Nabi SAW maupun sahabat.

"Karena tujuan syariat itu maslahat. Sesuai dengan maslahat, hukum juga mengikuti kemaslahatan itu sehingga menjadi boleh.’’

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat