Penggemar Inggris bereaksi di zona penggemar Trafalgar Square di London, Rabu, 7 Juli 2021, selama pertandingan semifinal kejuaraan sepak bola Euro 2020 antara Inggris dan Denmark yang dimainkan di Stadion Wembley di London. | AP/Matt Dunham

Olahraga

Inggris Kalah, Inggris Marah

Publik Inggris dipaksa melihat trofi Euro 2020 terbang ke Kota Roma.

LONDON – Kegagalan Inggris meraih gelar juara Euro 2020 menyisakan cerita pahit. Sebagian warga Inggris menunjukkan, mereka belum cukup legawa menerima kekalahan tim kesayangan mereka dari Italia di Stadion Wembley, London, Senin (12/7) dini hari WIB. Inggris takluk 2-3 lewat adu penalti setelah pada waktu normal dan babak tambahan bermain imbang 1-1.

 Tiga eksekutor Inggris, Jadon Sancho, Marcus Rashford, dan Bukayo Saka, gagal menunaikan tugasnya. Publik Inggris dipaksa melihat trofi Euro 2020 terbang ke Kota Roma. Slogan, It's Coming Home, yang digembar-gemborkan fan Inggris di sepanjang turnamen berubah secara dramatis di ujung turnamen menjadi It's Coming to Rome. Malam yang diimpi-impikan sebagai kejayaan Inggris, sejak terakhir kali merengkuh gelar juara Piala Dunia 1966, 55 tahun silam, justru menjadi momen penuh kekecewaan.

Sayangnya, kekecewaan ini diekpresikan dengan perilaku destruktif segelintir pendukung Inggris. Kekerasan domestik, kericuhan di bar yang merembet ke sejumlah lokasi publik, perusakan fasilitas umum, gangguan ketertiban umum, hingga pelecehan rasial terhadap penggawa Inggris di jagat dunia maya menjadi efek langsung dari kekalahan Inggris di final Euro 2020.

Kepolisian Wittshire, sebuah county atau selevel kabupaten, yang terletak di Barat Daya Inggris mencatat, ada 37 laporan dari masyarakat setelah final Euro 2020. Tujuh orang ditangkap akibat sejumlah insiden pascalaga final. Semua insiden itu terjadi antara pukul 10 malam, Ahad (11/7) waktu setempat, hingga pukul 01.00 dini hari, Senin (12/7) waktu setempat.

 ''Dari 37 insiden tersebut, 20 kasus merupakan kerusuhan di bar dan pub dan diduga kuat terkait langsung dengan hasil final Euro 2020,'' kata kepala kepolisian Witshire, Phil Staynings, seperti dikutip ITV, Selasa (12/7).

Situasi serupa juga dihadapi di Kepolisian Hamspshire yang berbatasan langsung dengan Wittshire. Ada peningkatan jumlah laporan ke kepolisian menyusul kegagalan Inggris merengkuh titel juara Eropa. Setidaknya, ada 18 laporan kejahatan yang diterima kepolisian Hampshire yang berujung pada penangkapan dua orang. Sebagian besar insiden tersebut adalah kekerasan domestik dan mengganggu ketertiban umum.

''Ada peningkatan jumlah laporan ke kepolisian dalam beberapa jam usai final Euro 2020, termasuk dari sejumlah tempat publik dan kawasan perumahan,'' ujar Kepala Kepolisian Hampshire, Mark Lewis, seperti dikutip Basington Gazzette.

Sementara, di ibu kota, Kepolisian Metropolitan London telah menangkap setidaknya 86 orang terkait tindakan kekerasan selama gelaran final Euro 2020. Sebanyak 53 orang ditangkap di area Stadion Wembley, venue digelarnya laga final tersebut. Penangkapan itu termasuk insiden kekerasan sejumlah penonton yang memaksa masuk.

Sejumlah wilayah di London dilaporkan dipenuhi sampah dan bekas pecahan botol. Kondisi ini merupakan buntut dari aksi pelemparan botol dan kericuhan yang dilakukan oleh sejumlah fan Inggris. Mereka melempar botol dan merusak sejumlah fasilitas publik. Bahkan, di pusat Kota London, sejumlah orang tertangkap kamera membakar bendera Italia. Pun, dengan sejumlah suar yang dilepaskan di sekitar stasiun kereta bawah tanah di pusat Kota London.

Pelecehan rasial

Situasi lebih memprihatinkan terjadi di jagat dunia maya. Pelecehan bernada rasialisme dilayangkan kepada para eksekutor timnas Inggris yang kebetulan berkulit hitam. Rashford, Saka, dan Sancho menjadi bulan-bulanan di berbagai platform media sosial.

Asosiasi Pesepak Bola Profesional Inggris (PFA) mencatat, ada kenaikan signifikan dalam aksi pelecehan bernada rasialis setelah laga final Euro 2020. Dari 850 ribu unggahan di Twitter, 1.913 diketahui memiliki potensi pelecehan rasial.

Unggahan itu sebagian besar ditujukan kepada Sancho, Saka, Rashford, dan Raheem Sterling. "Analisis awal PFA menemukan peningkatan pesat hujatan rasialis setelah laga final kepada ketiganya. Bahkan, unggahan itu jauh lebih banyak dibanding sepanjang turnamen Euro 2020," tulis pernyataan resmi PFA seperti dikutip BBC.

Di sisi lain, Twitter dan Facebook, selaku dua perusahaan penyedia layanan media sosial, mengaku telah melakukan berbagai cara untuk menanggulangi unggahan berbasiskan kebencian dan rasialisme tersebut. Twitter, dalam pernyataan resminya, telah menghapus lebih dari seribu cuitan dan membekukan sejumlah akun selama 24 jam terakhir usai gelaran final Euro 2020.

Sementara Facebook, yang juga memiliki sebagian besar saham di Instagram, telah menghapus komentar ataupun unggahan-unggahan tersebut. Facebook menegaskan, tantangan ini tidak bisa hanya dijawab dalam satu malam.

“Namun, kami telah menegaskan komitmen kami untuk memastikan masyarakat bebas dari pelecehan dalam bentuk apa pun,'' tulis pernyataan resmi Facebook seperti dilansir ITV.

Desakan terhadap perusahaan penyedia media sosial, terutama Twitter dan Facebook, untuk melakukan tindakan terhadap unggahan-unggahan tersebut, terus bermunculan.

Menteri Kebudayaan Inggris Olivier Dowden mengancam, Pemerintah Inggris bisa menjatuhkan sanksi kepada Facebook dan Twitter. Apabila mereka gagal mengatasi hal-hal tersebut, Facebook dan Twitter bisa disanksi dengan membayar denda sebesar 10 persen dari keuntungan global mereka.

“Hal ini diatur di UU Keamanan Daring terbaru,'' kata Dowden seperti dikutip NDTV.

Rashford sudah merespons berbagai cacian yang menuju ke arahnya. Ia meminta maaf sepenuh hatinya atas kegagalan menjadi eksekutor. “Penalti saya tidak cukup baik, seharusnya masuk, tetapi saya tidak akan pernah meminta maaf atas siapa saya dan dari mana saya berasal," tulis striker Manchester United berusia 23 tahun itu di Twitter.

Rashford mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Penyerang Prancis Kylian Mbappe dilaporkan memberikan pesan menguatkan. Begitu juga dengan Manchester City, rival United di kompetisi lokal. Menurut City, Rashford telah membuat bangga seluruh Manchester juga Inggris.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat