Warga berjemur dengan latar belakang mural (lukisan dinding) komik antihoaks di Kampung Hepi, Joho, Manahan, Solo, Jawa Tengah, Selasa (7/4/2020). Para tokoh perlu memberikan pemahaman intensif bagaimana mencegah kemudaratan dan kedaruratan Covid-19. | ANTARAFOTO

Opini

Literasi Kedaruratan Wabah

Para tokoh perlu memberikan pemahaman intensif bagaimana mencegah kemudaratan dan kedaruratan Covid-19.

FATHORRAHMAN GHUFRON, Wakil Katib PWNU Yogyakarta 

Hari-hari ini, di setiap ruas jalan kita kerap dipertontonkan oleh parade ambulans yang berlalu lalang tiada henti. Ada yang diantar dari rumah tinggal menuju rumah sakit dan ada pula yang langsung menuju kuburan.

Demikian pula, di setiap beranda media sosial, ada berbagai berita kematian yang merenggut orang-orang yang kita kenali dan kita kasihi. Bahkan, setiap saat layar handphone kita dihiasi berita duka dan berita terkonfirmasi positif handai taulan dan para kolega.

Hingga kini, sebagaimana dilansir di laman covid-19.go.id, ada 2.527.203 pasien yang terkonfirmasi positif korona (11/7/2021). Bahkan, setiap hari terjadi penambahan kasus yang semakin meningkat dan melebihi masa-masa awal pandemi.

Dari jumlah yang terkonfirmasi positif, ada selisih korban yang saling berdekatan bahkan melampaui antara jumlah orang meninggal dunia akibat Covid-19 dan yang sembuh dari dampak Covid-19.

 

 
Dari jumlah yang terkonfirmasi positif, ada selisih korban yang saling berdekatan bahkan melampaui antara jumlah orang meninggal dunia akibat Covid-19 dan yang sembuh dari dampak Covid-19.
 
 

Keranda kematian begitu masif hilir mudik dari satu kuburan ke kuburan hingga sesak. Beranda informasi sudah menyajikan eskalasi kematian terdampak Covid-19 setiap waktu yang sangat menyiutkan nyali.

Apakah kematian itu masih kurang bertaji untuk menjadi peringatan bagi kita. Bukankah kematian itu, sebagaimana dilansir dalam sebuah hadis, dihadirkan ke tengah-tengah kita untuk menjadi peringatan dalam kehidupan kita?

Mencermati krisis multipenyikapan Covid-19 yang sarat dengan kerentanan, bukan berarti kita harus putus asa dengan memasrahkan segalanya pada keadaan.

Meskipun tragedi kematian yang ditimbulkan oleh paparan Covid-19 semakin tak menentu, kita tetap berharap di tengah-tengah masyarakat masih ada tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh organisasi, dan para panutan lainnya yang tulus mendermakan dirinya sebagai sosok yang mencerahkan dan meluruskan pandangan tentang dampak Covid-19.

Lalu, bagaimanakah para tokoh dan panutan perlu memerankan dirinya di tengah-tengah masyarakat yang dilingkupi oleh sebaran Covid-19?

 

 
Mencermati krisis multipenyikapan Covid-19 yang sarat dengan kerentanan, bukan berarti kita harus putus asa dengan memasrahkan segalanya pada keadaan.
 
 

Peran tokoh

 

Dalam kaitan ini, ada dua hal yang sepatutnya dilakukan oleh para tokoh dan panutan masyarakat untuk membangkitkan kesadaran masyarakat dalam menyikapi sebaran Covid-19.

Pertama, para tokoh dan panutan yang mempunyai kemampuan literasi keberagamaan maupun kecakapan sosial, perlu menggunakan akal sehatnyanya sebagai dasar penyampaian data dan fakta tentang kedaruratan dan kemudaratan wabah.

Sebagaimana wabah lainnya yang pernah terjadi dalam kehidupan manusia dan menelan banyak korban jiwa, tak terkecuali pada zaman Nabi Muhammad yang pernah dipapar wabah tha’un hingga menggugurkan banyak sahabat Nabi, Covid-19 pun mempunyai kesamaan daya sebar dan daya papar yang mematikan.

Oleh karena itu, sebagai sebuah data, seharusnya para tokoh dan panutan perlu menyampaikan secara jujur bagaimana perjalanan wabah yang pernah melintasi kehidupan manusia dan seperti apa tuntunan para nabi dan kitab suci menjelaskan kepada setiap umatnya agar menghindar dari sebaran wabah.

Setidaknya, dengan cara demikian, kapasitas akal sehat yang dimiliki para tokoh dan panutan berfungsi sebagai medan pencerahan kepada masyarakat agar mereka bisa menerima fakta adanya Covid-19 dan tidak menyangkalnya sebagai rekayasa.

 
Melalui teks-teks keagamaan maupun ilmu lain yang dikuasai para tokoh, masyarakat perlu diajak berpikir secara objektif dan empiris bagaimana memahami keadaan yang sudah dilingkupi dengan sebaran Covid-19.
 
 

Sebab, merujuk pada tulisan Sean Martin dalam buku “A Short History of Disease: Pluges, Paxes, and Civilization” salah satu kerentanan masyarakat ketika menghadapi wabah adalah menyeruaknya modus penyangkalan yang bisa membuyarkan perhatian masyarakat.

Kedua, ketika masyarakat mulai menyadari dan meresapi tentang kebenaran data perjalanan wabah termasuk Covid 19, secara perlahan para tokoh dan panutan perlu memberikan penjelasan dan pemahaman yang intensif bagaimana mencegah kemudaratan dan kedaruratan Covid-19.

Melalui teks-teks keagamaan maupun ilmu lain yang dikuasai para tokoh, masyarakat perlu diajak berpikir secara objektif dan empiris bagaimana memahami keadaan yang sudah dilingkupi dengan sebaran Covid-19.

Dengan cara pendampingan persuasif yang dilakukan tersebut, maka masyarakat akan mudah diajak saling bergandengan tangan dan saling bahu membahu untuk melakukan setiap anjuran pencegahan demi melindungi keselamatan jiwa masing-masing.

Selain itu, para tokoh dan panutan perlu memahami poin penting protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah dan menyampaikannya kepada masyarakat dengan bahasa kalbu yang santun dan mudah dimengerti agar mereka bisa mematuhi.

Dua langkah yang dilakukan tokoh agama dan panutan tersebut, sangat bermanfaat bagi masyarakat yang selama perjalanan Covid-9 sejak awal 2020 hingga kini, selalu diterpa oleh kebingungan informasi dan serbuan hoaks tentang Covid.

 
Untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap data dan fakta tentang sebaran Covid-19, tentu tidak hanya dilakukan dalam satu atau dua kali pertemuan.
 
 

Setidaknya, melalui dua langkah tersebut, nihilitas kepercayaan masyarakat tentang kedaruratan dan kemudaratan wabah seperti Covid-19 akan semakin pulih dan tak terjebak lagi dengan penyangkalan-penyangkalan picisan.

Namun demikian, untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap data dan fakta tentang sebaran Covid-19, tentu tidak hanya dilakukan dalam satu atau dua kali pertemuan. Diperlukan proses pendampingan berpengetahuan dan pengajian secara berkelanjutan.

Sebab, di setiap jengkal kebenaran informasi yang disampaikan para tokoh dan panutan, ada derap langkah para netizen dan orang tak bertanggung jawab yang sangat kencang menggoyahkan pikiran setiap orang tentang kebenaran Covid-19.

Setidaknya, dengan pendampingan secara terus menerus, semua lapisan masyarakat akan melek dan sadar betapa pentingnya melakukan pencegahan di berbagai tempat ibadah dan ruang publik lainnya agar dirinya dan keluarganya selamat dari paparan Covid-19.n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat