Ilustrasi santri mempelajari mahfuzhat. | ANTARA FOTO

Kitab

Mahfuzhat: Buku 2.000 Mutiara Hikmah Penenang Hati

Buku Mahfuzhat sangat cocok dibaca di tengah pandemi Covid-19

OLEH MUHYIDDIN

Sejak zaman dahulu, Arab dikenal sebagai bangsa dengan ingatan dan hafalan yang sangat kuat. Orang Arab umumnya dapat menyampaikan silsilah nasabnya hingga lebih dari dua generasi di atasnya. Jangankan untuk manusia.

Dengan hewan ternaknya, seperti kuda atau unta, pun mereka sangat memperhatikan asal-usulnya. Misalnya, unta yang dinilai tidak memiliki garis keturunan yang baik maka akan mereka tandai hidungnya dengan cara memotong atau melukainya.

Menghafal (memorizing) tidak hanya dipakai bangsa Arab untuk perkara nasab. Mereka juga menggunakannya dalam proses belajar-mengajar. Nabi Muhammad SAW pun mengandalkan teknik memorizing saat menerima wahyu Ilahi.

Ayat-ayat Alquran berasal dari sisi Allah SWT, lalu turun ke langit dunia, untuk kemudian disampaikan kepada Rasulullah SAW melalui perantaraan Jibril. Dalam waktu-waktu tertentu, beliau membacakan ayat-ayat Alquran yang dihafalnya di hadapan malaikan tersebut untuk menjaga hafalannya.

Begitu pula dengan para sahabat Nabi SAW. Mereka mengingat banyak perkataan Rasulullah SAW yang berkaitan dengan syariat. Dari sanalah lahir ilmu hadis. Barulah pada zaman Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah dari Dinasti Umayyah, penulisan hadis digencarkan. Itu terjadi berpuluh-puluh tahun sesudah era pembukuan Alquran, yang dimulai pada zaman khulafaur rasyidin.

Sebelum dibukukan, Alquran pun umumnya masih berwujud hafalan-hafalan di dalam benak para sahabat. Sepeninggalan Nabi SAW, umat Islam menghadapi beberapa peperangan untuk melawan kaum pembangkang. Banyak sahabat beliau yang gugur dalam jihad tersebut. Untuk menjaga Alquran agar tidak ikut “hilang” bersamaan dengan wafatnya para hafiz, amirul mukminin kala itu pun mengambil kebijakan penulisan Alquran. Hasil upaya ini adalah mushaf Utsmani.

Jelaslah bahwa dua sumber Islam—Alquran dan hadis—pada mulanya tampil sebagai hafalan. Maka wajar kiranya teknik menghafal diberi perhatian lebih dalam pedagogi Islam. Cara tersebut masih saja berlaku bahkan hingga saat ini di lembaga-lembaga pendidikan Islam walaupun percetakan buku-buku sudah sedemikian marak. Di pesantren, misalnya, para santri masih diharuskan untuk menghafal materi-materi pelajaran tertentu.

Bagi kalangan santri, istilah mahfuzhat tentunya tidak asing lagi. Secara bahasa, artinya ialah ‘kata-kata untuk dihafal.’ Ini merupakan tradisi literasi di pesantren untuk menyebut kalimat-kalimat indah dalam bahasa Arab yang penuh hikmah dan falsafah hidup.

Sumber mahfuzhat bisa beraneka macam, tetapi yang utama ialah petuah-petuah Nabi Muhammad SAW, para sahabat beliau, dan kaum sufi. Kalangan penyair boleh jadi dimasukkan sebagai narasumber, tetapi yang karya-karyanya berkenaan dengan Islam.

photo
Buku yang disusun tim Rene Islam ini merupakan salah satu contoh kitab mahfuzat, yang berisi kata-kata mutiara dan penuh hikmah. - (DOK PRI)

Banyak pesantren di Indonesia yang menetapkan mahfuzhat sebagai mata pelajaran. Alhasil, para murid atau santri diwajibkan untuk menghafal untaian kalimat-kalimat indah, sebagaimana terhimpun dalam kitab-kitab mahfuzhat terpilih. Tentu, kewajiban itu seturut dengan level mereka masing-masing. Semakin tinggi levelnya, maka mereka diharuskan untuk membaca, menghafal, dan memahami mahfuzhat yang kian dalam kandungan filosofisnya.

Lebih lanjut, mayoritas mahfuzhat berisi kalimat-kalimat yang ritmis sehingga mudah dihafal. Maka, banyak pula syair atau puisi berbahasa Arab yang dinukil kitab-kitab mahfuzhat. Semua itu tidak melulu buah tangan para penyair. Ada pula yang merupakan hasil karya ulama-ulama besar. Sebab, banyak ulama yang memiliki kemampuan sastrawi.

Dalam hal ini, salah satu kitab yang bisa menjadi acuan ialah Mahfuzhat: Kumpulan Kata Mutiara Islam-Arab yang Diajarkan di Pondok Pesantren dan Madrasah (2020). Buku yang disusun dan diterbitkan Rene Islam itu sangat membantu para pembelajar yang tertarik mengenal atau mendalami genre mahfuzhat. Bagi orang biasa, kitab yang terdiri atas 372 halaman ini dapat menjadi teman duduk untuk mengisi waktu luang. Ditulis dengan bahasa Indonesia, karya tersebut tentunya dapat dibaca siapa saja.

Konten buku

Dalam prolog buku ini dijelaskan bahwa mahfuzhat adalah sebutan untuk serangkaian ungkapan bijak bahasa Arab yang bersumber dari tokoh-tokoh terkemuka. Mereka dapat berasal dari berbagai latar belakang. Sebut saja, para ahli hikmah, ulama, kaum bijak bestari, penyair, sufi, dan sahabat Nabi SAW.

Tim Rene Islam menjelaskan, buku ini ditulis atas setelah mengamati sistem pengajaran di pesantren-pesantren. Menurutnya, mahfuzhat selama ini menjadi metode yang efektif dalam mengajarkan akhlak dan adab. Para santri pun terbiasa menghafalkata-kata mutiara, gaya bahasa dan susunan-susunan kalimat bahasa Arab yang indah. Tiap bait mahfuzhat pun memberikan asupan gizi rohaniah yang baik kepada jiwa mereka.

Salah satu contoh mahfuzhat yang cukup populer diajarkan di pesantren adalah kalimat “Man jadda wajada.” Artinya, “Siapa yang sungguh-sungguh, pasti akan berhasil. Saat akan masuk pesantren, kalimat inilah yang biasa ditanamkan kepada para santri agar serius dalam belajar sehingga kelak mereka bisa mencapai kesuksesan.

Sebelum menyelami berbagai mahfuzhat, di awal buku ini juga dijelaskan cara mempelajari dan mengajarkannya. Setidaknya, ada dua syarat yang diperlukan untuk mengkaji mahfuzhat. Pertama, kemampuan berbahasa Arab, sekurang-kurangnya secara tulisan. Barulah kemudian, membangun kemauan untuk menghafalnya. Pada akhirnya, pemaknaan atas tiap teks mahfuzhat mendorong seseorang untuk berubah menuju keadaan yang lebih baik.

Pembahasan buku kumpulan kata-kata mutiara Arab-Islam ini terdiri atas tiga bagian. Pertama, ribuan entri mahfuzhat yang disusun secara alfabetis, yakni berdasarkan huruf hijaiyah. Pada bagian ini, buku tersebut tampak menunjukkan sifat ensiklopedisnya.

Bagian kedua berisi ratusan konten mahfuzhat yang terinspirasi dari ayat-ayat Alquran, hadis-hadis, dan bait-bait hikmah kaum ulama. Semuanya disusun secara tematik. Sebagai contoh, satu mahfuzhat dari hadis Rasulullah SAW, yakni perkara kesopanan dalam bertutur kata. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang bertutur kata manis, maka ia akan mulia; dan barangsiapa memahami, maka akan bertambah pemahamannya.”

Yang cukup menarik dari buku ini adalah pada pembahasan yang termaktub dalam bagian ketiga. Di dalamnya, terdapat ratusan entri mahfuzhat yang bersumber dari nasihat-nasihat para ulama, semisal Ali bin Abi Thalib atau Imam Syafii. Banyak pula mahfuzhat yang dinukil dari kata-kata puitis para pujangga, semisal Abu Atahiyah, Amru bin al Wardi, dan lainnya.

Paling banyak mahfuzhat yang ungkapkan pada bagian ini adalah karya Imam Syafii. Ulama kelahiran Gaza, Palestina, ini tidak diragukan lagi peran besarnya dalam peradaban Islam, khususnya yang berkaitan dengan fikih. Bagaimanapun, salah satu imam mazhab itu juga piawai merangkai kata-kata untuk menyampaikan nasihat Islami. Salah satu aforismanya, yang diucapkannya menjelang wafat, ialah sebagai berikut.

“Bertakwalah kepada Allah dan ingatlah selalu akhirat dalam hatimu. Jadikan kematian selalu di (depan) matamu dan jangan lupa keadaanmu kelak di hadapan Allah. Jadilah selalu bersama Allah dan jauhi larangan-Nya. Tunaikan kewajiban-Nya dan berjalanlah di jalan keberanan di mana pun kau berada.” Sang imam wafat di Fusthat, Mesir, pada 204 Hijriyah atau 819 Masehi.

Tentang semangat berilmu, Imam Syafii juga menasihati pengikutnya. Dalam buku ini, beragam mahfuzhat darinya berkaitan dengan perkara tersebut. Misalnya, “Ilmu itu seperti buruan, dan tulisan itu seperti ikatannya. Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Adalah sikap bodoh ketika kau berhasil menangkap kijang, namun kemudian membiarkannya bebas tanpa diikat.”

Selain itu: “Apabila orang dungu mengajakmu diskusi. Maka sikap terbaik adalah diam tidak menanggapinya. Kalau kau melayaninya, maka kau akan susah sendiri. Dan jika kau berteman dengannya, maka ia akan selalu menyakiti hati.”

Buku ini juga menyertakan mahfuzhat dari beberapa penyair. Penyair zuhud yang terkenal di era khalifah Harun ar-Rasyid, Abu Atahiyah misalnya memberikan nasihat tentang kemuliaan orang yang berakal dan beradab. Katanya, “Di alam ini, segala sesuatu ada perhiasannya. Perhiasan seseorang adalah kesempurnaan adabnya. Allah tidak memberikan apa pun kepada manusia yang lebih mulia daripada akal dan adabnya.”

Walaupun hadir dalam bahasa Indonesia, keseluruhan mahfuzhat di dalam buku ini juga selalu dilengkapi dengan teks bahasa Arab. Ini tentu seiring dengan tradisi mahfuzhat sendiri di pesantren-pesantren. Para santri memang dituntut untuk menghafal teks Arab, bukan terjemahannya.

Setidaknya, buku ini memuat lebih dari 2000 kata entri kata hikmah dan nasihat. Buku ini bisa menjadi referensi bagi pembaca yang ingin menyelami khazanah sastra Arab, baik sebagai hafalan maupun petuah-petuah untuk diamalkan.

DATA BUKU:

Judul: Mahfuzhat: Kumpulan Kata Mutiara Islam-Arab yang Diajarkan di Pondok Pesantren dan Madrasah

Penyusun: Tim Rene Islam

Penerbit: Rene Turos Indonesia

Tebal : 370 halaman

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat