Adiwarman Karim | Daan Yahya | Republika

Analisis

Yang Bertambah Kaya Setelah Covid

Meroketnya defisit anggaran pemerintah akibat pengeluaran mengatasi dampak pandemi Covid.

Oleh ADIWARMAN A KARIM

 

OLEH ADIWARMAN A KARIM

Creon Butler dan Stephen Pickford, peneliti Chatham House, dalam artikel mereka “International economic cooperation must be a priority” menjelaskan tiga hal terpenting dalam bekerja sama membangun kembali perekonomian dunia.

Pertama, koordinasi dan pemilihan waktu yang tepat untuk kebijakan-kebijakan ekonomi masing-masing negara akan menimbulkan sinergi. Bertindak sendiri-sendiri hanya akan menimbulkan permainan “tit for tat” yang tidak akan membantu menciptakan saling percaya.

Kedua, berbagi informasi dan menyatukan sumber daya akan menjadi kekuatan besar dalam membuat strategi perekonomian global. Ketiga, kerja sama internasional membantu negara-negara berkembang untuk segera pulih aspek kesehatan dan ekonominya. Dalam ekonomi pandemi berlaku kaidah “no one is safe until everyone is safe”.

John Gathergood, profesor University of Nottingham, dalam artikelnya “The economy after Covid-19” menjelaskan dua perubahan radikal dalam kebijakan ekonomi. Pertama, adanya remote revolution akibat adanya kebijakan jaga jarak yang telah membuka mata semua pihak tentang efektivitas bekerja dari rumah. Menurunnya permintaan gedung perkantoran, perubahan alokasi waktu para pekerja, misalnya, adalah sedikit dari dampak revolusi bekerja dari rumah.

 
Menurunnya permintaan gedung perkantoran, perubahan alokasi waktu para pekerja, misalnya, adalah sedikit dari dampak revolusi bekerja dari rumah.
 
 

Kedua, meroketnya defisit anggaran pemerintah akibat pengeluaran mengatasi dampak pandemi. Bahkan diperkiran pada akhir tahun fiskal 2020/2021, Pemerintah Inggris akan memiliki utang lebih besar dari nilai semua produksi ekonomi dalam satu tahun.

Dhruv Sharma dan tim riset Sorbonne Université dalam riset mereka “V–, U–, L– or W–shaped economic recovery after Covid-19: Insights from an Agent Based Model” menjelaskan tiga hal. Pertama, kebijakan “helicopter money” yaitu menyuntikkan uang baru ke masyarakat dan kelonggaran kredit hanya akan efektif bila jumlahnya cukup besar. 

Kedua, terlalu cepat mengakhiri kebijakan tersebut berpotensi merugikan perekonomian, antara lain, karena inflasi telah naik tapi transmisi pendorong pertumbuhan belum berjalan baik. Ketiga, mereka juga menghitung dampak lockdown kedua.

Max A Mosley, periset mandiri, dalam risetnya “The Importance of Being Earners: Modelling the Implications of Changes to Welfare Contributions on Macroeconomic Recovery” menjelaskan dua temuan penting. Pertama, dampak stimulus fiskal harus dimaksimalkan melalui jalur penunjang kesejahteraan masyarakat. Dengan menggunakan model makroekonomi Keynesian, Mosley mendapatkan angka multiplier fiskal sebesar 1,5.

Kedua, konsolidasi fiskal, sebaliknya, akan mengurangi produksi nasional. Dengan model yang sama didapat multiplier negatif sebesar 1,8.

Christopher Cotton, Vaishali Garga, dan Justin Rohan, peneliti Center for economic Policy Research, dalam riset mereka di AS “Consumption Spending and Inequality during the Covid-19 Pandemic” menjelaskan segmen komunitas Hispanik dan mahasiswa penurunan konsumsi relatif mereka secara signifikan dan persisten. Ketimpangan konsumsi secara nyata dan persisten muncul berdasarkan afiliasi politik, umur, pendidikan, dan faktor Covid. Pembeda yang kuat adalah afiliasi politik dan faktor Covid.

 
Hal ini sangat menarik karena setelah pandemi berakhir, peta kekuatan ekonomi akan berubah.
 
 

Hal ini sangat menarik karena setelah pandemi berakhir, peta kekuatan ekonomi akan berubah. Mereka yang memiliki akses terhadap kekuasaan karena afiliasi politiknya akan mempunyai posisi ekonomi yang lebih baik.

Begitu pula karena akses yang mudah untuk segala hal yang berkaitan dengan Covid, segmen ini memiliki risiko Covid yang lebih rendah dan probabilitas sembuh yang lebih besar karena kemudahan akses fasilitas kesehatan.

Francisco Ferreira, profesor London School of Economics, dalam artikelnya “Inequality In The Time Of Covid-19” menyimpulkan tiga hal. Pertama, ketimpangan di dalam negeri akan meningkat. Kedua, dengan kondisi pendidikan dan dinamika pasar tenaga kerja, ketimpangan itu akan berlangsung lebih dari satu generasi. Ketiga, ketimpangan antar negara juga akan meningkat akibat tidak meratanya penyebaran vaksin.

 
Dengan kondisi pendidikan dan dinamika pasar tenaga kerja, ketimpangan itu akan berlangsung lebih dari satu generasi.
 
 

Oriol Aspachs, Ruben Durante dan tim riset Caixabank dan Universitat Pompeu Fabra, dalam riset mereka “Tracking the impact of COVID-19 on economic inequality at high frequency” menjelaskan pentingnya kehadiran pemerintah atau adanya kebijakan yang cenderung menguntungkan satu kelompok. Dengan sampel tiga juta penduduk Spanyol, tidak hadirnya pemerintah akan menaikkan ketimpangan 30 persen hanya dalam satu bulan.

Ruth Hill dan Ambar Narayan, periset World Bank, dalam riset mereka “What COVID-19 can mean for long-term inequality in developing countries” menekankan pentingnya pemerintah menggunakan kaca mata pemerataan dalam menyusun kebijakan ekonominya sebagai upaya menghindari naiknya ketimpangan setelah pandemi berlalu.

Ian Goldin dan Robert Muggah, masing-masing profesor University of Oxford dan Igarapé Institute, dalam riset mereka “COVID-19 is increasing multiple kinds of inequality” menjelaskan meningkatnya ketimpangan ekonomi di beberapa segmen.

Pertama, ketimpangan antara pekerja yang dapat terus bekerja dari rumah dengan pekerja yang harus tetap keluar rumah untuk bekerja. Kedua, ketimpangan antara pekerja yang industrinya paling terpukul sehingga terpaksa dirumahkan dengan pekerja yang industrinya tetap berjalan sehingga tetap bekerja.

Ketiga, ketimpangan akibat gender di mana lebih banyak wanita yang kehilangan pekerjaan. Keempat, ketimpangan akibat etnis. Mereka menemukan 17 persen bisnis yang dimiliki komunitas kulit putih terpaksa tutup. Sedangkan bisnis yang dimiliki komunitas kulit hitam 41 persen terpaksa tutup. Secara umum bisnis milik komunitas kulit hitam adalah UMKM.

 
Yang diperlukan adalah kebijakan yang bersifat afirmatif, yaitu kebijakan yang berpihak kepada mereka yang kurang beruntung.
 
 

Kebijakan intervensi pemerintah harus benar-benar didesain, dikalibrasi, disempurnakan untuk memastikan kebijakan dan kucuran dana pemerintah tidak malah meningkatkan ketimpangan ekonomi. Kajian di beberapa negara menunjukkan kebijakan nondiskriminasi saja tidak cukup. Yang diperlukan adalah kebijakan yang bersifat afirmatif, yaitu kebijakan yang berpihak kepada mereka yang kurang beruntung.

Rasulullah SAW menerapkan kebijakan afirmatif untuk kaum Muhajirin yang kehilangan seluruh hartanya karena hijrah ke Madinah. Kaum Anshar juga diuntungkan dengan kebijakan afirmatif tersebut karena kemandirian ekonomi kaum Muhajirin tidak membebani kaum Muhajirin. Kebijakan afirmatif yang berdasarkan cinta kasih. Ini saatnya Indonesia bangkit dan sekaligus mengurangi ketimpangan.

Rasulullah SAW mengingatkan bila orang yang berada di bagian atas kapal yang lebih mudah mengambil air, membiarkan orang yang berada di lambung kapal kesulitan mendapat air sehingga mereka melubangi lambung kapal untuk mendapat air, maka “mereka semua akan binasa”. Sebaliknya, bila yang di atas memperhatikan yang di bawah, maka “mereka semua akan selamat”.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat