Pengunjung membaca kitab kuno bertema Islam di perpustakaan Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Solo, Jawa Tengah, Jumat (16/4/2021). Perpustakaan yang berisi koleksi naskah kuno, kitab kuning dan buku-buku bertema Islam tersebut menja | ANTARA FOTO/Maulana Surya

Opini

Kiai Affandi Mochtar dan Kekayaan Intelektual Pesantren

Khazanah kitab kuning dan karya ulama pesantren adalah modal intelektual luar biasa.

 

MUKTI ALI QUSYAIRI, Ketua LBM PWNU DKI Jakarta dan Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat

Tahun 2009-2010 adalah tahun Gus Dur. Sebab, 30 Desember 2009 Gus Dur wafat dan sehari kemudian memasuki 2010, berbagai pemberitaan dan tulisan tentang Gus Dur membahana di seantero jagat Indonesia dan bahkan dunia.

Pada saat hiruk pikut tentang Gus Dur itulah saya pertama kalinya bertemu langsung dengan Kiai Affandi Mochtar—selanjutnya disebut Kiai Affandi. Kebetulan pada saat itu saya masih berprofesi pedagang pakaian, belum masuk ke arena wacana dan narasi.

Saat itu sambil dagangan, saya menyempatkan diri silaturahim ke Kang Jamaluddin Mohammad —selanjutnya disebut Kang Jamal—yang sedang kuliah di UIN Jakarta, Ciputat, Jakarta Selatan. Di kosan dan warung makan Kang Jamal bersama teman-teman mahasiswa asyik berdiskusi tentang berbagai persoalan terkini, soal Gus Dur, soal pemikiran Cak Nur, Masdar F Masudi, diskusi buku-buku dan kitab-kitab, dan berbagai isu lain.

Sebagai pedagang yang sejak kecil kutu buku, saya karuan saja terpancing dan mulut saya ‘gatel’ ikut nimbrung dalam diskusi warung kopi itu. Saban saya datang ke Ciputat, saya selalu terlibat dalam diskusi warung kopi bersama Kang Jamal dan kawan-kawan. 

Mungkin Kang Jamal merasa ‘eman’ dengan potensi saya kalau hanya dihabiskan untuk dagangan. Lalu, Kang Jamal mengajak silaturahim ke rumah Kiai Affandi di Bekasi. Di teras depan rumahnya yang asri, saya dikenalkan oleh Kang Jamal dengan Kiai Affandi. Ngobrol dan diskusi sekitar 30 menitan. Waktu berlalu.

 
Di teras depan rumahnya yang asri, saya dikenalkan oleh Kang Jamal dengan Kiai Affandi.
 
 

Suatu ketika, saya sedang dagangan pakaian, ada telepon dari Kiai Affandi agar saya datang ke rumah. Tanpa banyak ba-bi-bu, saya dan Kang Jamal diminta melakukan penelitian ke pesantren-pesantren se-Jawa.

Terus terang, disuruh penelitian lapangan pada saat itu saya dan Kang Jamal merasa ibarat orang disuruh berenang tanpa latihan terlebih dahulu bagaimana cara berenang. Ya sudahlah jalani saja.

Singkat cerita, ketika sampai di lokasi pesantren, kami memberi kabar kepada Kiai Affandi. Lalu beliau memberi arahan agar kami membeli semua kitab kuning dan karya-karya para kiai dan santri yang ada di pesantren tersebut.

Selain itu, kami diarahkan untuk mengamati sistem pendidikan yang berlaku di pesantren tersebut. Dalam sebulan, 15 hari keliling pesantren, 15 hari yang lain untuk input judul-judul kitab dan buku serta nama pesantren. Berlangsung selama empat bulan. 

Terkumpullah 1.000 judul kitab dan buku. Langkah selanjutnya, Kiai Affandi mengarahkan agar kami meresume seluruh kitab itu. Kami berdua kewalahan. Lalu ada tiga teman yang bergabung, yaitu Kang Ali Mursyid Ridwan, Kang Abdul Muiz Syaerozie, dan Roland Gunawan.

Kita berlima menjadi satu tim yang setiap hari kerjanya meresensi 1.000 judul kitab. Tentu saja kerjaan resensi tak mudah. Mesti terlebih dahulu membaca dan memahami isi kitab, baru kemudian diresensi. Kami berlima pada saat itu tiada hari tanpa baca kitab dan meresensi. Cukup lama. Seingat saya, 1.000 halaman baru selesai empat bulanan.

 
Kita berlima menjadi satu tim yang setiap hari kerjanya meresensi 1.000 judul kitab. Tentu saja kerjaan resensi tak mudah.
 
 

Kategori kitab yang diresensi, yaitu kitab kuning karya ulama klasik Islam Arab Timur Tengah, karya ulama klasik Nusantara dalam bentuk cetak maupun manuskrip, karya ulama pesantren setempat baik dalam bahasa Arab maupun bahasa daerah seperti Jawa atau Melayu dengan tulisan Arab pegon. Karya ulama pesantren yang ditulis dengan bahasa Indonesia dan huruf latin dan karya para santri yang ada di pesantren.

Dari 1.000 judul itu menjadi 1.000 halaman. Selain daftar judul kitab dan nama pengarang yang mencapai 250 halaman. Cukup tebal.

Ini hasil pertapaan intelektual kami berlima di bawah arahan Kiai Affandi. Saya ingat betul, Kiai Affandi bilang bahwa “Kita harus memulai kajian kitab kuning pasca Gus Dur”. Logis sekali ide itu, sebab penelitian kitab kuning kami berlima ini direalisasikan tepat setelah Gus Dur wafat.

Kiai Affandi adalah pencinta Gus Dur kelas berat. Pernah suatu ketika saya bercerita kalau saya punya The Zohar dari Gus Dur. Beliau langsung bertanya, punya berapa set? Mau dong kalau ada lebih dari satu set. Saya pun memberikan satu set ke beliau karena secara kebetulan saya punya beberapa set. 

Dalam obrolan warung kopi, kami berlima sering berimajinasi bahwa ini adalah kekayaan intelektual pesantren yang luar biasa. Kadang kami juga berimajinasi bahwa dari 1.000 kitab ini kita bisa memahami dinamika pemikiran Islam Nusantara.

 
Dalam obrolan warung kopi, kami berlima sering berimajinasi bahwa ini adalah kekayaan intelektual pesantren yang luar biasa.
 
 

Nah, pada waktu itu istilah Islam Nusantara sejatinya sudah muncul dalam diskusi warung kopi sambil melepas lelah seharian baca dan meresensi kitab.

Di waktu libur, kadang bertemu dengan teman saya Salamun Ali Mafaz, Ajengan Faiq Ihsan Anshori, dan Kiai Mulawarman Hannase. Bersama mereka ini, saya juga punya ide membuat wadah diskusi di Ciputat yang diberi nama Yasin (Yayasan Islam Nusantara). Mereka bertiga ini kebetulan punya kesibukan di Ciputat dan sekitarnya.

Kembali ke Kiai Affandi. Dalam obrolan empat mata, saya diberi arahan dan nasihat agar saya berpikir kreatif dan strategis.

Kiai Affandi yang mantan Sekdirjen Pendis Kemenag ini berkata, “Coba ente perhatikan, tepung itu bisa dijadikan berbagai macam makanan karena kreativitas akal manusia. Tepung bisa dijadikan roti, gorengan, mi, serabi, pizza, donat, dan berbagai macam kue. Satu bahan tepung bisa dibikin berbagai macam warna warni makanan. Tinggal tepung itu dikolaborasi dengan bahan lain lalu menjadi kue lain dan seterusnya. Begitu pun kitab kuning, bisa ente jadikan bahan dasar untuk membuat berbagai macam tulisan dan bisa menghasilkan berbagai macam pemikiran.”

Perkataan tersebut masih sangat membekas sampai detik ini. Artinya bahwa modal khazanah kitab kuning dan karya ulama pesantren dan ulama Nusantara adalah modal intelektual yang tiada tara kayanya dan harus mampu mendayagunakan agar dapat melahirkan pemikiran-pemikiran brilian, relevan, dan bermanfaat bagi peradaban manusia kontemporer.

 
Modal khazanah kitab kuning dan karya ulama pesantren dan ulama Nusantara adalah modal intelektual yang tiada tara kayanya.
 
 

Lalu beliau pun memberi arahan dan nasihat agar saya berpikir strategis. Beliau berkata bahwa “Berpikir dan bersikap itu ada tiga, Mukti. Pertama, idealis. Kedua, pragmatis. Ketiga, strategis. Nah ente mesti ambil cara berpikir dan bertindak yang ketiga, yaitu strategis. Sebab berpikir dan bertindak strategis itu yang mempertemukan antara idealisme dan pragmatisme. Coba ente pikir."

Lalu beliau memasuki mobilnya untuk berangkan kerja. Dan saya pun kembali ke ruangan teman-teman Kang Jamal, Kang Muzi, Kang Ali Mursyid dan Keh Roland Gunawan yang sedang bertungkus lumus dengan kitab kuning.

Kiai Affandilah orang yang menarik saya dari dunia berdagang ke dunia wacana, penelitian, dan membangun narasi hingga saat ini. Dulu pernah berandai-andai, dagangan bisa disambi dengan menulis dan penelitian.

Akan tetapi ternyata benar kata kaidah fikih, al-masyghul ya yusghal; sibuk dengan satu pekerjaan, tidak akan bisa mengerjakan pekerjaan yang lain dalam satu waktu.

Pada Jumat al-Mubarak, 9 Juli 2021, Kiai Affandi yang pernah menjabat wakil Sekretaris Tanfidziyah PBNU ini berpuang ke haribaan Allah. Engkau adalah pahlawan kami, purna sudah janji bakti. al-Fatihah.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat