Pekerja memberi minum sapi yang dijual Rp 12,5 juta hingga Rp 25 juta per ekor, di Jalan George Obos, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu (22/7/2020). Kurban merupakan ibadah yang sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. | Makna Zaezar/ANTARA FOTO

Khazanah

Hukum Berkurban untuk Orang yang Sudah Wafat

Kurban merupakan ibadah yang sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi.

OLEH UMAR MUKHTAR

Saat berkurban, ada kalanya umat Islam meniatkannya untuk anggota keluarganya yang telah wafat. Apa hukumnya, dan bagaimana Islam memandang hal ini?

Dosen Pascasarjana Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ustaz Dr Hari Susanto MA, menjelaskan, mayoritas ulama Ahlussunah waljamaah membolehkan berkurban untuk orang yang sudah meninggal. Seperti ketika Rasulullah SAW membolehkan seorang anak berpuasa untuk orang tuanya, menghajikan orang tuanya, atau bersedekah untuk orang tuanya.

“Demikian juga dengan kurban. Jadi, seorang Muslim bisa saja berkurban untuk orang yang telah meninggal. Meskipun, mazhab Malikiyah mensyaratkan adanya wasiat sehingga kalau yang meninggal itu mewasiatkan, baru kemudian kita wajib melaksanakan kurban tersebut. Jika tidak ada wasiat, maka hukumnya makruh," ujarnya.

Namun, jumhur ulama berpendapat bahwa justru perbuatan itu merupakan bentuk kebaikan, tetapi mereka tidak menyampaikan dalil secara spesifik. Sebab, hadis yang secara perinci menyebut dibolehkannya berkurban untuk orang yang meninggal memang tidak ada.

 "Yang ada hanyalah hadis yang sifatnya umum, sebagaimana diriwayatkan Muslim dari Aisyah," ucapnya.

Dalam hadis itu disebutkan, Rasulullah SAW datang membawa hewan untuk disembelih, lalu diletakkan di tempat penyembelihan, kemudian beliau menyembelihnya. Kemudian beliau mengucapkan, "Dengan nama Allah, ya Allah, terimalah ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad."

Ustaz Hari menegaskan, hadis itu sahih dan memang masih umum. “Hadis ini mungkin saja untuk yang sudah meninggal maupun yang masih hidup sehingga tidak juga bisa dipahami bahwa hadis ini untuk yang hidup saja," kata pengajar fikih muamalah kontemporer itu.

Imam Kasani dari mazhab Hanafiyah, kata dia, berpendapat hadis tersebut sangat mungkin meliputi yang hidup dan yang sudah meninggal. "Maka dari situ menunjukkan bahwa orang yang sudah meninggal boleh kita sembelihkan hewan kurban untuk kebaikan mayit," tutur dosen tetap di pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor itu.

Salah seorang fuqaha, Ibnu Abidin, berkata, "Siapa yang berkurban atas nama orang yang sudah meninggal, kemudian dia memperlakukannya seperti ia berkurban, lalu dia sedekahkan ke orang lain, dan dia sendiri juga memakan sebagian dari daging kurbannya, maka pahalanya untuk si mayit."

Bahkan ulama dari mazhab Hanabilah, lanjut Ustaz Hari, menyampaikan bahwa berkurban atas nama orang yang sudah meninggal itu lebih utama. Sebab, orang yang sudah meninggal tidak bisa beramal lagi sehingga butuh pahala dari orang yang masih hidup, dalam hal ini dengan berkurban. Setelah itu, bisa disedekahkan atau memakannya. 

Mantan mufti Arab Saudi, Syekh Abdul Aziz bin Baz, berpendapat, tidak ada alasan yang cukup untuk mengatakan bahwa berkurban untuk orang yang meninggal itu tidak boleh. Sebab, dalilnya sendiri bisa meliputi yang hidup maupun yang sudah meninggal.

"Kata beliau, berkurban untuk yang meninggal adalah bagian dari sedekah pahala kepada si mayit. Sedangkan jika untuk orang yang masih hidup, maka itu bentuk kebaikan kepada sesama manusia," kata Ustaz Hari.

Karena itu, Ustaz Hari menyimpulkan, berkurban untuk orang yang sudah meninggal itu dibolehkan karena ada banyak sekali ulama yang membolehkannya, meski dalilnya bersifat umum. "Namun, tidak bisa disalahkan karena juga tidak ada dalil yang khusus melarang berkurban untuk yang sudah meninggal.”

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat