Syekh Abdurrahman Siddiq merupakan seorang ulama besar dari Kalimantan Selatan abad ke-19. | DOK REPRO BUKU Syekh Abdurrahman Siddiq,

Mujadid

Syekh Abdurrahman Siddiq, Ulama Kreatif dari Banjar

Tak lama setelah pulang dari Tanah Suci, Syekh Abdurrahman Siddiq diangkat menjadi mufti kesultanan.

OLEH MUHYIDDIN

Dalam perjalanan bangsa Indonesia, Kalimantan Selatan telah melahirkan banyak ulama besar. Di antara mereka adalah Syekh Abdurrahman Siddiq. Alim ini dikenang akan jasa-jasanya dalam penyebaran syiar Islam di Nusantara, khususnya Tanah Banjar.

Bahkan, reputasinya tidak hanya di dunia dakwah. Sang syekh pun dikenal sebagai seorang pujangga dan sastrawan. Syair-syairnya mampu memukau orang-orang yang hidup pada zamannya. Generasi-generasi sesudahnya hingga kini pun terus mengkaji buah tangannya itu. Di antara kekhasan karangan dai tersebut ialah kandungan petuah-petuah agama dalam tiap karyanya.

Tentunya, Syekh Abdurrahman juga produktif menulis kitab-kitab keislaman. Sosok yang pernah menjadi pengajar di Masjidil Haram, Makkah al-Mukarramah, itu telah menghasilkan banyak karya. Sebut saja, Fathul’ Alim, Aqaid al-Iman, serta Asror ash-Shalat min Uddah Kutub al-Mu’tamadah. Adapun karyanya yang bisa dikatakan monumental ialah Risalah Amal Ma’rifah.

Abdurrahman Siddiq lahir di Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan Selatan, pada 1857 M. Waktu itu, Tanah Banjar diperintah oleh Sultan Adam al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mu’tamidillah. Abdurrahman merupakan putra dari pasangan Muhammad Afif dan Shafura. Kedua orang tuanya merupakan keturunan ulama besar setempat, yaitu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Saat baru lahir, cicit Syekh Muhammad Arsyad itu hanya diberi nama Abdurrahman. Adapun nama lengkapnya yang dikenang hingga saat ini diperolehnya sejak menuntut ilmu di Tanah Suci. Salah seorang gurunya, Sayyid Bakri Syatha, memberikan gelar tambahan di belakang namanya sehingga menjadi Abdurrahman Siddiq.

Saat usianya baru tiga bulan, ibunda Abdurrahman meninggal dunia. Anak lelaki ini kemudian dirawat oleh kakek dan neneknya. Ia memperoleh pendidikan dasar agama Islam tidak hanya dari keduanya. Salah satu gurunya yang paling awal adalah bibinya sendiri, Siti Saidah. Dari perempuan tersebut, keahlian membaca Alquran dipelajarinya dengan sungguh-sungguh.

Selain itu, Abdurrahman kecil juga belajar kepada beberapa guru agama di kampungnya. Gurunya yang pertama kali mengajarkan tata bahasa Arab kepadanya adalah Masri, seorang santri yang pernah belajar di Dalam Pagar Martapura. Adapun guru-gurunya yang lain adalah Tuan Guru Muhammad Said Wali, Tuan Guru Muhammad Khatib, dan Tuan Guru Abdurrahman Muda.

Ketika menginjak usia dewasa, ia berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Peluang ke Tanah Suci itu juga dimanfaatkannya untuk memperdalam ilmu-ilmu agama. Setibanya di kota kelahiran Nabi Muhammad SAW itu, Abdurrahman muda langsung bergabung dengan majelis-majelis ilmu setempat. Guru-gurunya merupakan para ulama besar pada masa itu. Misalnya, Syekh Bakri Syatha, Syekh Ahmad Dimyati, dan Syekh Ahmad Bafadhil. Ada pula, Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Sayyid Bahasyil, Syekh Nawawi al-Bantani, dan Syekh Umar Sambas.

Selain berguru secara formal kepada para syekh terkemuka di Masjidil Haram, Abdurrahman juga mengunjungi berbagai pengajian yang digelar di Makkah. Mereka rata-rata adalah kaum sufi dan ahli fikih terkemuka. Maka dari itu, tak mengherankan jika di kemudian hari putra daerah Banjar ini banyak berkarya dalam bidang ilmu tasawuf, tauhid, dan fikih.

Setelah lima tahun belajar di Makkah, Abdurrahman akhirnya mendapat pengakuan dari salah seorang gurunya. Hal itu disebabkan sang guru mengakui daya tangkap dan pahamnya dalam ilmu agama Islam serta akhlaknya. Kendati demikian, ia tetap melanjutkan masa belajarnya dengan menuntut ilmu di Madinah al-Munawwarah.

Beberapa teman seperjuangannya saat belajar di Tanah Suci, antara lain, adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Ahmad Dimyati, Syekh Abdullah Zawawi, dan Syekh Said al-Yamani. Kawan-kawan seangkatannya dari pelbagai daerah Nusantara—untuk menyebut beberapa—ialah Syekh Abdul Qodir Mandailing, Syekh Umar as-Sumbawi, Syekh Awang Kenali, Syekh Hasyim Asy’ari, Syekh Jamil Jaho, Syekh Ali Junaidi Berau, serta Syekh Sulaiman ar-Rasuli.

Kira-kira, tujuh tahun lamanya Syekh Abdurrahman Siddiq bermukim di Makkah dan Madinah. Rentang waktu itu terdiri atas lima tahun menimba ilmu dan dua tahun mengajar di Masjidil Haram. Setelah itu, ia pun kembali ke Tanah Air. Dalam perjalanan pulang, dirinya disertai seorang temannya, Syekh Ahmad Khatib. Keduanya telah berjanji untuk menyebarkan ilmu-ilmu agama di daerah masing-masing.

Setelah tiba di Batavia (Jakarta), kedua calon ulama besar ini pun berpisah menuju daerah yang berbeda. Syekh Ahmad Khatib bertolak ke Sumatra Barat, sedangkan Syekh Abdurrahman Siddiq menuju Martapura, Kalimantan Selatan.

photo
Syekh Abdurrahman Siddiq dan para santrinya. - (DOK FACEBOOK Muhibbin Bani Arsyadi al-Banjari)

Mufti kerajaan

Setelah hampir satu tahun berada di Martapura, Syekh Abdurrahman Siddiq kemudian merantau ke Pulau Sumatera dan sekitarnya. Pada 1898, ia bermukim di Bangka untuk mengembangkan ilmunya. Di pulau penghasil timah itu, dirinya pun sibuk berdakwah sembari memulai menulis kitab-kitab.

Pada saat berkunjung ke Temasek (Singapura), Syekh Abdurrahman bertemu dengan Haji Muhammad Arsyad, saudagar kaya asal Banjar yang bermukim di Indragiri, Kepulauan Riau. Pebisnis Muslim itu lantas memohon kepada sang syekh agar bersedia tinggal di Indragiri. Sebab, perannya dibutuhkan untuk membimbing masyarakat di sana.

Setelah mempertimbangannya, Syekh Abdurrahman akhirnya hijrah ke Indragiri. Di sana, ia tinggal di sebuah kampung yang bernama Sapat—sekarang menjadi ibu kota Kecamatan Kuala Indragiri. Di kampung tersebut, awalnya ia membuka lahan perkebunan dan pertanian serta membuka irigasi untuk pengairan sawah-sawah.

Selama tujuh tahun tinggal di Sapat, Syekh Abdurrahman juga berprpfesi sebagai penjual emas sambil mengajar dan membimbing masyarakat. Saat itu, ia pun dikenal dengan nama Tukang Emas Durrahman.

Suatu waktu muncullah perselisihan pendapat antara dua kelompok masyarakat tentang persoalan agama. Karena kedua kelompok tak ada yang mau mengalah dan hampir terjadi pertumpahan darah, akhirnya Syekh Abdurrahman turun tangan menjadi penengah.

 
Suatu waktu muncullah perselisihan pendapat antara dua kelompok masyarakat tentang persoalan agama. Syekh Abdurrahman jadi penengah.
 
 

Berbekal ilmu pengetahuannya, Syekh Abdurrahman akhirnya mampu menyelesaikan masalah itu berdasarkan dalil Alquran dan hadits, serta penjelasan para ulama. Sejak itu, orang-orang pun semakin tertarik untuk belajar agama kepadanya.

Rumahnya di Sapat Hilir sampai tidak dimuat lagi dari saking banyaknya murid yang ingin berguru kepadanya. Setelah itu, Syekh Abdurrahman mulai berpikir untuk mencari tempat yang dapat dijadikan sebagai pusat pendidikan dan pengembangan agama Islam.

Setelah itu, barulah Syekh Abdurrahman membuka pengajian. Namanya pun semakin tersebar di segenap pelosok kerajaan negeri Indragiri, bahkan sampai ke pulau Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Semenanjung Malaya.

Hingga pada suatu hari, datanglah utusan dari kerajaan menemui Syekh Abdurrahman Sidddiq yang menyampaikan undangan agar Syekh Abdurrahman bersedia datang ke Istana Sultan Rengat. Setelah sampai di istana, ia pun disambut dengan penuh suka cita dan penuh persaudaraan oleh Sultan Rengat yang bernama Sultan Mahmud Syah.

 
Syekh Abdurrahman Siddiq diminta oleh Sultan agar bersedia menjadi mufti Kesultanan Indragiri.
 
 

Dalam pertemuan itu, Syekh Abdurrahman Siddiq diminta oleh Sultan agar bersedia menjadi mufti Kesultanan Indragiri. Awalnya, Syekh Abdurrahman Siddiq menolak tawaran itu, tapi atas dasar pertimbangan yang matang untuk kemaslahatan umat dan agama akhirnya ia setuju diangkat menjadi mufti kerajaan.

Jauh sebelum itu, sebenarnya Syekh Abdurrahman juga sudah diminta oleh Habib Utsman bin Yahya untuk menggantikannya sebagai mufti di Jakarta. Begitu juga saat berkunjung ke Semenanjung Tanah Melayu, Syekh Abdurrahman juga ditawari oleh Sultan Johor di Malaysia untuk menjadi mufti di sana. Namun, dengan sangat halus dan bijak, kedua tawaran tersebut ditolak oleh Syekh Abdurrahman.

Pengangkatan Syekh Abdurrahman Siddiq sebagai mufti Kerajaan Indragiri yang pertama oleh Sultan Mahmud Syah yang bekedudukan di Rengat sejak 1337 Hijriah. Ia menduduki posisi terhormat ini selama 20 tahun.

Kehadirannya di Indigari tidak hanya membawa perubahan besar dalam bidang dakwah, tetapi juga sosial-ekonomi masyarakat lokal. Sebab, dirinya terus bergiat dalam membuka perkebunan-perkebunan. Sang syekh memiliki 120 baris atau 4.800 batang kelapa. Sebanyak 70 baris ia wakafkan untuk kepentingan umat.

Panen pertama dari kebunnya itu digunakan untuk membangun masjid yang terletak di sebelah rumah. Selain itu, hasil jerih payahnya juga digunakan untuk membangun madrasah dan tempat tinggal para santri. Anak-anak itu dapat belajar di madrasah tersebut tanpa dipungut biaya.

Selama menjadi mufti, Syekh Abdurrahman Siddiq memang tidak pernah mengambil atau menggunakan gaji dari jabatannya itu untuk kepentingan pribadi. Gaji tersebut ia bagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya. Untuk memenuhi keperluan rumah tangganya, ia memanfaatkan hasil kebun milik sendiri. 

Berdakwah dengan karya

Syekh Abdurrahman Siddiq tidak hanya berdakwah melalui lisan dan perbuatan, tetapi juga tulisan. Ulama yang lahir pada 1857 M ini telah menulis banyak kitab. Karya-karya tulisnya itu membahas tentang banyak hal keislaman, termasuk akhlak, tasawuf, dan fikih.

Hingga akhir hayatnya, cicit Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tersebut telah menghasilkan sekurang-kurangnya 18 kitab. Melalui tulisan-tulisan itu, dirinya mendakwahkan ajaran Islam di pelbagai daerah yang disambanginya.

Namun, beberapa kitab karangannya tidak sampai pada masa sekarang. Hal itu disebabkan terjadinya agresi militer Belanda pada 1948. Sebuan pasukan musuh telah memporak-porandakan pula kompleks pesantren yang diasuhnya di Indragiri, Riau. Salah satu sasaran amuk tentara kolonial itu ialah ruangan tempat penyimpanan kitab-kitab karangannya.

Kendati demikian, banyak juga karyanya kitabnya yang terselamatkan karena disembunyikan di rumah-rumah penduduk sekitar pesantren. Apalagi, sebelum agresi militer tersebut, sebagian besar kitabnya telah tersebar di berbagai daerah, seperti Bangka, Riau atau di Kalimantan Selatan.

Di samping itu, sejumlah tokoh ulama dan keturunannya juga masih menyimpan dan memelihara kitab karangan Syekh Abdurrahman Siddiq. Di antara kitab-kitabnya yang terselematkan itu adalah Asrarus Shalah, Fath al-‘Alim, Risalah Tazkirah li Nafsi wa lil Qashirin Mitsli, dan Risalah Amal Ma’rifah.

 
Sejumlah tokoh ulama dan keturunannya juga masih menyimpan dan memelihara kitab karangan Syekh Abdurrahman Siddiq.
 
 

Selain itu, ada pula kitab yang menceritakan tentang Hari Kiamat yang ditulis dalam bentuk sastrawi, yaitu Syair Ibarat dan Khabar Kiamat. Ada pula kitab-kitab karyanya yang berjudul Aqaidul Iman, Syajaratul Arsyadiyah, Risalah Takmilah Qaulil Mukhtashar, Mau’izah li Nafsi wa li Amtsali minal Ikhwan, dan masih banyak lagi.

Syekh Abdurrahman telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk penyebaran agama Islam. Hingga akhirnya, ia pun jatuh sakit setelah melakukan melakukan safari dakwah ke Martapura dan Banjarmasin. Sejak itu, kondisi fisiknya terus menurun beberapa hari lamanya.

Dai tersebut berpulang ke rahmatullah pada 10 Maret 1939 M dalam usia sekitar 82 tahun. Jenazahnya dimakamkan di di Kampung Hidayah, Sapat, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Makamnya hingga kini masih kerap diziarahi kaum Muslimin.

Syekh Abdurrahman tercatat memiliki sembilan orang istri. Dari istri-istrinya tersebut, ia memiliki 35 orang anak. Keturunannya tersebar di berbagai daerah, seperti Bangka dan Riau. Di antara mereka, ada yang kemudian meneruskan perjuangannya dalam syiar Islam.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat