Korban perundungan (ilustrasi) | Jcomp Freepik

Keluarga

Yuk, Peduli pada Korban Perundungan

Perundungan terjadi ketika salah satu pihak merasa puas dan pihak lain merasa tersakiti.

'Bercanda'.

Kata ini paling sering digunakan sebagai 'tameng' ketika seseorang melakukan perundungan terhadap orang lain. Sayangnya, tak jarang orang dewasa juga melihat kasus perundungan yang dialami oleh anak sebagai perilaku bercanda biasa antaranak. Tak heran bila kemudian sebagian kasus perundungan tak ditanggapi dengan serius dan dianggap enteng.

"Padahal bullying (perundungan) dan bercanda merupakan sesuatu yang berbeda jauh," ujar aktivis antiperundungan dan inisiator organisasi Sudah Dong Malang Goldi Senna Prabowo dalam webinar #HebatdenganTerlibat: Merundung atau Dirundung, Anak adalah Korban, yang diselenggarakan oleh GREDU.

Goldi sendiri  merupakan salah satu penyintas perundungan di masa kecil. Berkaca pada pengalamannya itulah, Goldi mengatakan pelaku perundungan sering bersembunyi di balik kata 'bercanda' itu tadi untuk menutupi perbuatannya.

Menurut Goldi, sebuah interaksi bisa disebut sebagai bercanda bila kedua belah pihak sama-sama merasa senang, terhibur, dan tertawa. Sedangkan perundungan terjadi ketika salah satu pihak merasa puas dan pihak lain merasa tersakiti atau tersudut oleh perlakuan yang dia terima. Tindakan perundungan ini biasanya terjadi secara terus-menerus atau berulang.

Ada beberapa kondisi pula di mana sebuah candaan sudah bisa dikategorikan sebagai perundungan. Misalnya, candaan dengan konteks yang merendahkan, menghina, atau menjadikan salah satu pihak sebagai bulan-bulanan.

Candaan juga dapat disebut sebagai perundungan bila memberikan perasaan tidak nyaman kepada salah satu pihak. Ketidaknyamanan ini bahkan bisa sampai menyakiti fisik maupun psikologis pihak yang menjadi objek candaan tersebut. "Membuat salah satu pihak menjadi bulan-bulanan dan dilakukan secara terus-menerus, itu sudah disebut bullying. Bukan bercanda lagi," ujar Goldi.

 
Membuat salah satu pihak menjadi bulan-bulanan dan dilakukan secara terus-menerus, itu sudah disebut bullying. Bukan bercanda lagi.
GOLDI SENNA PRABOWO
 

Goldi menilai kasus perundungan bisa menjadi bibit atau benih dari banyak tindakan kekerasan di kemudian hari. Oleh karena itu, kasus perundungan perlu mendapatkan penanganan yang tepat sejak dini.

Bisa dibilang kasus perundungan merupakan permasalahan yang kompleks dan masih menjadi momok. Menurut Program Penilaian Siswa Internasional atau OECD Programme for International Student Assessment (PISA) misalnya, sekitar 41 persen siswa di Indonesia dilaporkan pernah mengalami perundungan, setidaknya beberapa kali dalam sebulan.

Angka perundungan siswa di Indonesia tersebut terbilang cukup tinggi. Alasannya, angka tersebut telah melebihi persentase rata-rata perundungan siswa di negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama dan Pembangunan (OECD) yaitu sekitar 23 persen.

Perundungan itu sendiri dinilai bisa terjadi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu yang disoroti oleh Goldi adalah lingkungan rumah yang kurang kondusif.

Perundungan juga bisa terjadi karena pelakunya ingin menunjukkan popularitas atau status sosial. Tak jarang, perundungan terjadi karena adanya tekanan dari lingkungan, pembalasan akan intimidasi sebelumnya, kurang rasa empati, atau kurang perhatian.

Di sisi lain, dampak dari perundungan itu sendiri sangat luas. Korban perundungan bisa mengalami depresi, perubahan pola hidup, hinga mengalami penurunan kondisi kesehatan dan prestasi yang dipicu oleh kecemasan terhadap perundungan.

Perundungan pun tak hanya berdampak pada kehidupan korban, tetapi juga pelaku dan saksi perundungan. Tanpa penanganan yang tepat, pelaku perundungan bisa terjerumus ke dalam dunia kriminalitas yang lebih besar di kemudian hari. Sedangkan untuk saksi perundungan, mereka bisa mengalami trauma.

Oleh karenanya, upaya pencegahan perlu dilakukan agar perundungan tak lagi terjadi. Salah satu di antaranya adalah dengan saling menjaga lisan dan perbuatan masing-masing. Hal ini perlu dilakukan karena setiap orang tak akan pernah bisa menebak kondisi psikologis atau perasaan yang sedang dialami oleh orang lain. "Jadi apa salahnya kalau kita bisa menjaga sikap dan juga respek terhadap satu sama lain untuk tidak menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain," papar Goldi.

 

photo
Sejumlah siswa mengikuti kampanye Stop Bullying di Medan, Sumatera Utara (ilustrasi) Septianda Perdana/pras. - (ANTARA FOTO)

Kenali Reaksi Korban

Perundungan juga tak hanya bisa terjadi secara langsung, tetapi juga secara daring di dunia maya. Perundungan di dunia maya ini lebih dikenal dengan istilah cyberbullying atau perundungan siber.

Pada masa pandemi di mana beragam kegiatan dialihkan secara daring, risiko untuk terjadinya perundungan siber perlu semakin diwaspadai. Pendiri Bullyid App Agita Pasaribu mengatakan perubahan perilaku perundungan dari secara langsung menjadi daring bukanlah sesuatu yang menggembirakan.

Agita mengatakan perundungan siber memiliki keterlibatan yang lebih sedikit, namun dampak yang ditimbulkan bisa lebih besar dibandingkan perundungan secara langsung. Alasannya, perundungan siber bisa terjadi kapan dan di mana saja.

Selain itu, perundungan siber pun mudah untuk menjadi viral. Meski meninggalkan jejak digital, pelaku perundungan siber kerap tidak merasa bersalah karena dia bisa berlindung di balik anonimitas atau tanpa identitas. "Perundungan siber bisa terjadi bukan hanya di ranah sosial media, tetapi bisa di WhatsApp, Facebook Messanger, dan lainnya," ujar Agita.

 
Perundungan siber bisa terjadi bukan hanya di ranah sosial media, tetapi bisa di WhatsApp, Facebook Messanger, dan lainnya.
AGITA PASARIBU, Pendiri Bullyid App
 

Menurut Agita, setiap orang memiliki reaksi yang berbeda ketika mengalami perundungan. Oleh karenanya, dampak dan ciri-ciri perundungan pada setiap orang pun akan berbeda.

Terkadang, anak korban perundungan tidak memperlihatkan perubahan pola tingkah laku ketika di rumah. Akan tetapi, dia mengalami kesulitan bergaul ketika di sekolah akibat perundungan. Dalam hal ini, peran guru sebagai orang tua kedua sangat dibutuhkan.  "Selain mengajar yang berlandaskan kurikulum, guru harus mampu mengenali murid-muridnya, terutama ketika terjadi perubahan sikap pada anak," ungkap Agita.

Sebagai rumah kedua bagi anak, sekolah memberikan pengaruh yang signifikan dalam perkembangan karakter anak. Dalam hal perundungan, upaya pencegahan dari pihak sekolah akan sangat diperlukan. Salah satunya adalah dengan membudayakan kebiasaan baik di lingkungan sekolah, tak hanya melibatkan murid tetapi semua pihak yang ada di lingkungan sekolah tersebut.

Di sisi lain, peran orang tua pun tak kalah penting untuk mencegah terjadinya perundungan. Pola asuh yang tepat dari orang tua dapat membantu membangun karakter antiperundungan pada anak sejak dini.

"Orang tua perlu menekankan kepada anak bahwa mereka menyenangkan, dicintai, berharga, kuat dan hebat, serta tetap kuat dan hebat tanpa merendahkan yang lainnya," ungkap Pemimpin Redaksi Kumparan Mom Prameshwari Sugiri.

Orang tua dan anak juga perlu memiliki kesepakatan dan pemahaman yang sama mengenai apa saja yang dapat dikategorikan sebagai perundungan. Hal ini penting untuk dilakukan karena terkadang orang tua dan anak memiliki persepsi yang berbeda mengenai perundungan.

Di era internet of things, Prameshwari mengatakan anak memiliki peluang untuk memperluas pergaulan mereka melalui aplikasi daring. Orang tua perlu menyadari bahwa bentuk-bentuk perundungan ikut berubah seiring dengan berkembangnya zaman.

Saat ini, Prameshwari menilai orang tua tak cukup hanya berperan untuk membatasi waktu anak dalam menggunakan gawai atau perangkat teknologi lain. Orang tua juga perlu memiliki pemahaman yang cukup mengenai gawai atau perangkat teknologi lain yang digunakan oleh anak.

Selain pola asuh, Prameshwari menilai pola komunikasi turut berperan penting dalam mencegah terjadinya perundungan. Pola komunikasi yang baik di antara orang tua dan anak akan menciptakan keterbukaan di antara keduanya. Keterbukaan tersebut nantinya akan membantu orang tua untuk mengenali, memberikan pengarahan, kekuatan, hingga mengembangkan keterampilan anak.

Budaya di rumah pun tak kalah penting. Budaya yang baik seperti tidak pernah menjatuhkan pencapaian anak atau menumbuhkan dukungan tanpa menjatuhkan dapat membantu menghilangkan bibit perundungan sejak dini. Budaya lain yang juga sebaiknya diterapkan dalah menumbuhkan rasa kepedulian pada anak. "Tidak hanya dukungan yang diberikan, tetapi kita harus tumbuh bersama anak," ungkap Prameshwari.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat