Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Dialog Ayah, Anak, dan Sekolah Tatap Muka

Pendidikan dan proses belajar dalam situasi darurat ini harusnya bisa dilakukan di mana saja.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA 

"Saya tidak izinkan anak ke sekolah." Begitu ujar Ronal, sopir kami menanggapi rencana sekolah tatap muka yang secara serentak segera diselenggarakan seluruh institusi pendidikan.

Benarkah ini berarti berakhirnya momen pendidikan secara daring yang diberlakukan seluruh jenjang pendidikan, sejak pandemi menyentuh Tanah Air?

Kenapa?” Satu kata itu tetap saya lontarkan, walaupun sudah menduga jawabannya, sekadar memastikan. Menurutnya, pelonjakan angka positif Covid-19 saat ini terjadi di mana-mana.

Lelaki paruh baya itu lalu menyebutkan nama kelurahan, kecamatan, dan jumlah pertumbuhan angka penderita covid di berbagai wilayah.

“Tahu dari mana, Pak? Internet, kah?"

Terus terang saya belum mendengar informasi resmi tiap daerah secara mendetail dari pihak berwenang, hanya kabar beberapa  saja, selain keramaian di media sosial.

 
Kalimat terakhir membuat ibu pengajar tersebut terdiam. Tentu saja tidak ada yang bisa menjamin, tidak di situasi saat ini. 
 
 

Sambil mengemudi lelaki itu menjawab, "Dari teman di dinas kesehatan, di berita belum ada. Silakan cek dinas kesehatan dan rumah sakit di sekitar. Jumlah pasien meningkat pesat."

Benar, banyak berita mengungkap peningkatan kasus di daerah tujuan mudik, selain  kabar daerah yang diisolasi. Namun info  detail di tiap kecamatan di daerah saya, belum ramai diberitakan, wajar jika banyak yang tak tahu. Atau saya yang terlewat tentang ini?

“Guru anak saya juga sempat meminta penjelasan, alasan saya melarang.” Barangkali, dari pihak sekolah, termasuk para  guru  sangat yakin, situasi di daerahnya baik-baik saja.

Sang ayah lalu memaparkan informasi dan data yang diterimanya, sebelum mengakhiri penjelasan dengan sebuah tantangan,  "Lagi pula, ibu berani jamin, anak saya tidak bakal tertular  di sekolah?”

Kalimat terakhir membuat ibu pengajar tersebut terdiam. Tentu saja tidak ada yang bisa menjamin, tidak di situasi saat ini. Walau melalui dialog panjang, akhirnya keinginan sang ayah diterima.

Sebenarnya  keberatan ini bukan hanya milik ibu guru,  juga muncul dari ananda. Remaja putri itu  sudah tidak sabar hendak ke sekolah,  sebab  ini tahun pertamanya di bangku  SMA. Ia khawatir jika tidak  mengikuti pelajaran secara tatap muka, ia tidak akan naik kelas.

Bagaimana jika seisi kelas semua hadir dan hanya dia sendiri yang absen? Namun ayahnya terus meyakinkan. Bahkan siap menerima konsekuensinya. “Lebih baik kamu tidak naik kelas, Nak daripada terkena Covid.”

 
Pendidikan dan proses belajar dalam situasi darurat ini, harusnya bisa dilakukan di mana saja. 
 
 

Pendidikan dan proses belajar dalam situasi darurat ini, harusnya bisa dilakukan di mana saja. Sementara keluar rumah, berada dalam kelas walaupun menurut penjelasan sekolah hanya selama empat jam sehari, dan jumlah siswa dikurangi, tetap berisiko.

“Selain nyawa taruhannya, kita tidak bakal sanggup membayar biaya pengobatan." Ia pernah mendengar obrolan antara satu ulama terkemuka yang mewawancarai seorang dokter. Konon biaya perawatan karena Covid-19 bisa sampai Rp 250 juta!

Uang dari mana? Mencari nafkah sehari-hari membawa taksi daring pun sudah sulit, sebab banyak kantor menerapkan WFH, bagaimana jika ada anggota keluarga terpapar Covid dan isoman saja tidak cukup? Walau berat, lambat laun anak bungsunya itu mengerti.

Biaya barangkali jika dipaksakan, setiap ayah pasti akan berjuang habis-habisan tetapi membayangkan nyawa yang hilang, orang tua mana yang sanggup menempuh risiko ini?

Setelah mengecek ke sekolah, ternyata bukan cuma putrinya yang absen.  Dari  15 siswa per kelas, ternyata hanya empat orang  yang menyetujui memenuhi belajar kembali ke sekolah.

Sebagian orang tua barangkali berpendapat, satu kelas memang terlihat sedikit, hanya  10 atau 15 orang, tapi jika menghitung  ada 20 kelas lebih dalam satu angkatan, berarti  ratusan siswa memenuhi sekolah.

 
Setelah semua pengorbanan besar itu, lantas bagaimana jika dia ke sekolah lalu terpapar korona?
 
 

Percakapan antara ayah dan anaknya, di atas menurut saya menarik. Mungkin mewakili sebagian  ayah atau orang tua yang berpendapat sama. Setidaknya beliau tidak sendiri, sejumlah kawan juga menceritakan obrolan dengan ananda.

Salah satunya, seorang produser yang sedang bekerja sama dengan saya untuk pembuatan  sekuel sebuah film.

Jika jadi, insya Allah menjadi film kedua belas atau ketiga belas, Asma Nadia, sebab pada saat yang sama buku saya yang diterbitkan  Republika, berjudul OTW Nikah, juga dalam proses akhir penulisan skenario.

Berbeda dengan dialog ayah anak sebelumnya, kali ini keberatan justru muncul dari ananda, saat ditanyakan apakah akan mengikuti belajar tatap muka yang rencana dimulai Juli ini. Sang anak menolak keras.

Menurutnya dia berkorban sejak pandemi terjadi, hanya diam di rumah. Tidak ada kumpul-kumpul, pesta ulang tahun, dan lain-lain. Setelah semua pengorbanan besar itu, lantas bagaimana jika dia ke sekolah lalu terpapar korona? “Sia-sia dong aku jaga diri setahun lebih, Pa?”

Akhirnya sang ayah mengalah, malah terbersit kagum akan sikap kritis anaknya. Beragam memang reaksi banyak pihak sejak pertama rencana belajar tatap muka awal Juli ini ditetapkan. Cukup banyak yang berkeberatan.

Barangkali mengingat pandemi masih berlangsung, belum mereda meski jumlah pasien sembuh bertumbuh, namun bila dibandingkan kenaikan kasus setiap harinya, jujur angkanya masih mengerikan.

Anda sendiri termasuk yang mana kah? Saya pribadi percaya, sekolah  tatap muka seharusnya tak ditentukan berdasarkan jadwal, melainkan tetap mencermati situasi dan kondisi yang ada. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat